Salin Artikel

Kisah Pengubur Jenazah Covid-19, Menangis Lihat Keluarga Pasien

Petugas pengantar dan pengubur jenazah Covid-19 juga berjuang tanpa lelah.

Mereka bekerja dalam diam. Menjemput jenazah Covid-19 di ruang jenazah rumah sakit, membawanya ke TPU, lalu mengubur.

Kompas.com menemui beberapa petugas pemakaman jenazah Covid-19 di Samarinda, Kalimantan Timur.

Mereka adalah pegawai dan staf di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda yang ditugaskan mengurus jenazah Covid-19. Tim ini diisi 10 orang.

Nusa Indah (43), salah satunya. Dia menuturkan, dirinya menjalani aktivitas tersebut dengan tulus.

“Kalau capek. Semua orang kerja pasti capek, apalagi kami. Tapi, kami menjalaninya dengan ikhlas, jadi enggak ada mengeluh,” ungkap Nusa kepada Kompas.com, Rabu (30/9/2020).

Justru yang dirasakan, kata Nusa, kesedihan mendalam. Hampir setiap hari dia bersama rekannya mengubur jenazah dengan protokol Covid-19 tanpa henti.

“Tertinggi pernah sembilan jenazah kami kubur sehari. Kadang juga tidak ada. Tapi, kalau mau rata-rata, setiap hari bisa empat jenazah,” terang dia.

Untuk proses pengambilan jenazah Covid-19, Nusa dan rekannya biasa menunggu panggilan Dinas Kesehatan Kota Samarinda dan rumah sakit tempat pasien Covid-19 meninggal.

“Begitu ada panggilan, kami dari kantor sudah lengkap alat pelindung diri (APD),” jelas dia.

Tiba di lokasi jenazah Covid-19, Nusa bersama rekannya biasa mendoakan sebentar.

Jenazah Covid-19 yang mau diangkat menuju ambulans biasanya sudah diatur rapi dalam peti.

“Kami tinggal angkat, naikin ke ambulans, terus bawa ke TPU Raudlatul Jannah, Tanah Merah,” jelas Nusa.


Begitu alurnya ketika ada pasien positif Covid-19 yang meninggal dan dimakamkan menggunakan protokol.

“Kadang beriringan lima sampai enam mobil ambulans sekali jalan bawa jenazah. Sedih rasanya,” tutur Nusa.

Hingga Rabu (30/9/2020), jumlah kasus kematian karena Covid-19 di Samarinda mencapai 104 orang.

Angka tersebut terbesar kedua setelah Kota Balikpapan, yakni 175 orang.

Rasa panas dan gerah saat pakai APD

Tak ada yang dikeluhkan dari rutinitas itu. Tim Nusa selalu gerak cepat menunaikan tugasnya jika ada pasien positif Covid-19 meninggal.

“Hanya panas dan pengap saat kami pakai APD. Itu yang enggak tahan,” tutur Nusa.

Tak ada sirkulasi udara lancar saat mengenakan APD. Di bagian hidung dan mulut hanya satu-satunya keluar masuk udara, itu pun harus dilapisi masker.

“Keringat biasa tertampung di sepatu bot dan sarung tangan. Jadi gerah sekali,” jelas dia.

Situasi itu mereka alami sejak menjemput jenazah hingga usai mengubur dan menimbun.

“Satu jenazah butuh waktu kurang lebih satu jam sampai selesai penguburan. Itu kalau keluarganya enggak permasalahkan. Kalau keluarga tolak, tarik ulur, kami tunggu kadang sampai tiga empat jam bertahan panasnya APD,” terang dia.

Jika dalam sehari ada sembilan jenazah yang dikubur, Nusa dan rekannya harus bertahan dengan panas dan gerah APD selama lebih kurang sembilan sampai 10 jam.

“Tapi, kami nikmati. Siapa lagi yang mau berbuat?” pungkasnya.


Saat jenazah tiba di TPU, tim penggali kubur dari Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman (Disperkim) Samarinda sudah menyiapkan lubang makam.

Jenazah tidak langsung dimakamkan. Secara singkat, tim pemakam dan tim penggali kubur memberi penghormatan terakhir.

“Setelah itu kami turunkan. Kami kerja sama sampai ke penimbunan tanah makam,” tutur dia.

Seusai penguburan, APD yang digunakan lebih dahulu disemprot untuk sterilisasi, baru dilepas perlahan agar tak terjangkit.

“Begitu kami lepas APD itu rasanya lega minta ampun. Kadang teman-teman tiduran di aspal saking leganya,” tandas dia.

Nusa bersama rekan-rekannya mengaku tidak merasa kendala apa pun terkait rutinitas tersebut.

Stok APD dan ambulans pengangkut jenazah Covid-19 tercukupi.

“Jadi aman saja,” tuturnya.

Sejak terlibat dalam penanganan Covid-19, Nusa dan rekan-rekannya jarang pulang ke rumah. Mereka tinggal di kantor BPBD Samarinda.

Itu agar mengurangi kontak erat dengan anggota keluarga di rumah masing-masing.

Soal insentif selama pandemi pun Nusa mengaku lancar.

Keluhan gerahnya saat menggunakan APD juga dirasakan Nanang Arifin (41), rekan Nusa.

Menurut Nanang, problem yang dirasakan rekan-rekannya hanya gerah saat menggunakan APD berjam-jam.

“Di luar itu kita nikmati. Teman-teman semua selalu semangat,” ungkap Nanang.


Tetes air mata melihat keluarga jenazah

Selama menjadi tim pemakaman jenazah Covid-19, Nanang mengaku sedih karena tingkat kematian yang terus meningkat.

“Saya sering meneteskan air mata melihat keluarga jenazah yang tak bisa berbuat-buat selain meratapi kesedihan saat jenazah kami angkat,” terang dia.

Oleh karena itu, dia berharap pandemi ini segera berakhir.

“Kami tetap semangat demi kemanusiaan, tapi situasi ini entah sampai kapan. Sedih, tapi kami tetap semangat,” tutup Nanang.

Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Samarinda Ifran selaku koordinator tim menuturkan, di awal pandemi, tugas tim ini melakukan penyemprotan disinfektan dan evakuasi pasien Covid-19 ke rumah sakit.

Namun, berjalannya waktu, tugas kemudian bertambah jadi pengubur jenazah sejak angka kematian meningkat.

“Sejak awal personel ini saja. Belum pernah diganti. Biar menghindari potensi terpapar,” terang dia.

Selama menjalani tugas, Ifran mengaku, pihaknya selalu ketat menerapkan protokol Covid-19, termasuk tata cara pemakaman jenazah.

Selain itu, tim yang bertugas dan bersentuhan langsung dengan pasien Covid-19 pun sengaja dikhususkan di kantor.

“Mereka tidak pulang ke rumah. Tinggal di kantor biar keluarga mereka terjaga juga,” tutup Ifran.

https://regional.kompas.com/read/2020/10/01/08391781/kisah-pengubur-jenazah-covid-19-menangis-lihat-keluarga-pasien

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke