Salin Artikel

Dua Buruh Bangunan Mengaku Dianiaya Polisi Saat Pembubaran Aksi Mahasiswa di Kendari

KENDARI, KOMPAS.com – Dua buruh bangunan di kota Kendari, yakni La Duma (29) dan La Iwan (29) diduga menjadi korban kekerasan polisi saat aksi mahasiswa memperingati satu tahun kematian dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi.

Aksi yang dikenal September Berdarah (Sedarah) digelar pada Sabtu (26/9/2020).

Aksi penganiayaan oleh sejumlah polisi bermula saat La Duma dan La Iwan berboncengan untuk membeli makanan. Keduanya melintasi Bundaran Gubernur usai shalat maghrib.

La Iwan yang tengah mengendarai motor saat itu, sempat diminta untuk berbalik arah karena ada pembubaran demo mahasiswa oleh polisi.

Keduanya baru saja menyelesaikan pekerjaan sebagai buruh di sebuah pembangunan gedung di wilayah Anduonohu.

Saat itu, ia mengaku dipukuli pakai pentungan oleh sejumlah polisi yang menggunakan pakaian seragam lengkap dan ada yang mengenakan pakaian sipil.

“Belum lama putar motor, dari samping sini (kiri-kanan) pukul saya punya helm, baru tulisannya itu helm Taknik. Ada yang pukul, ada juga yang larang memukul. Saya bilang saya tidak tahu apa-apa ini,” kata Iwan dihubungi, Senin (28/9/2020).

Ia sempat berteriak sebagai buruh bangunan, namun dirinya tetap saja dibawa ke Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Sultra.

Akibat pukulan itu, tangan kanan ayah dua anak ini bengkak dan merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya.

“Saya sempat ditanya-tanya di Bundaran Gubernur, tapi mereka bilang saya dibawa saja di kantor, nanti saya kasih keterangan di sana,” ujarnya.

Hal yang sama juga dialami La Duma. Ia tiba-tiba dipukul dan dikeroyok oleh sejumlah polisi, padahal ia tak mengetahui aksi demo yang dilakukan oleh mahasiswa.

Duma menceritakan, ia bersama iparnya La Iwan hendak melintas di bundaran kantor gubernur membeli ayam potong untuk adiknya.

“Ada yang pukul di belakang langsung saya jatuh setelah itu dikeroyok, turun mi darah dari kepala. Saya berteriak saya bukan mahasiswa, saya pekerja bangunan,” ungkap Duma.

Usai dipukul, ia megalami pusing sehingga tak tahu berapa banyak pukulan dan tendangan yang dihujamkan polisi ke tubuhnya.

Akibat aksi polisi tersebut, La Duma mengalami luka dua jahitan di kepala, dan sakit di tulang ekor hingga tak bisa berdiri.

Kendaraan milik sepupunya yang dikendarai saat itu juga dihancurkan oleh polisi. Keduanya dilepaskan oleh polisi ketika keluarga mereka menjemput di kantor Mapolda Sultra.

Pihak keluarga meminta Polda Sultra untuk bertanggung jawab atas kejadian ini.

Wa Tumi, adik La Duma yang juga istri La Iwan meminta pihak kepolisian membiayai perawatan dan pengobatan terhadap kakak dan suaminya.

Ia mengatakan, akibat kejadian itu, kakaknya tidak bisa bekerja lagi. Sementara sang kakak merupakan tulang punggung di keluarganya.

“Karena tulang ekornya sakit, kakakku tak bisa berdiri lagi, tidak bisa kerja. Akhirnya sampai sekarang tidak kita tahu bagaimana kondisi tulang ekornya karena tidak punya uang ke dokter atau puskemas," terangnya.

"Motor juga minta diganti kerusakannya,” ujar dia.

Dalam peristiwa itu, tak hanya dua buruh bangunan yang diamankan di Mapolda Sultra, ada 17 mahasiswa yang juga digiring ke Polda Sultra.

Mereka dibebaskan setelah pihak kampus UHO dan keluarga melakukan negosiasi dengan pihak Polda Sultra.

Sementara itu, pihak Polda Sultra yang dikonfirmasi KOMPAS.com terkait aksi kekerasan yang dialami dua buruh bangunan belum memberikan tanggapan terkait hal itu. 

https://regional.kompas.com/read/2020/09/28/12353411/dua-buruh-bangunan-mengaku-dianiaya-polisi-saat-pembubaran-aksi-mahasiswa-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke