Salin Artikel

"Selama 30 Tahun, Kami di Lembongan Diselamatkan Rumput Laut"

Di tengah terik matahari yang menyengat, Luh Widiani menjemur rumput laut. Sambil berjongkok, perempuan berusia 38 tahun itu menaruh rumput laut basah pada terpal lalu membolak-balik sebagian lainnya agar tersebar merata.

Bersama suaminya, Widiani membudidayakan rumput laut di teluk yang memisahkan Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, dua pulau di sebelah tenggara Denpasar yang dapat dijangkau menggunakan kapal cepat (speed boat) sekitar 30 menit dari Sanur.

Widiani adalah pekerja vila, suaminya juga bekerja di sektor pariwisata. Namun, tanpa ada turis datang ke Bali akibat pandemi Covid-19, mereka dirumahkan pada Maret lalu.

Sejak akhir Mei, Widiani dan suaminya kembali menggeluti komoditas yang sekian lama mereka tinggalkan.

"Capeknya luar biasa, tetapi keadaan yang memaksa saya begini. Keadaan ekonomi yang membuat saya memilih pekerjaan ini," kata Widiani pada awal September lalu, sambil tetap jongkok dan meratakan rumput laut.

Saat masih bekerja di sektor pariwisata, Widiani dan suaminya mendapatkan gaji setidaknya Rp5 juta masing-masing. Kini, mereka berdua mendapat sekitar Rp 4 juta per bulan untuk semua rumput laut yang dikelola.

Jumlah itu lebih kecil. Namun, menurut Widiani, itu tetap lebih baik daripada tidak ada pendapatan sama sekali.
bali

I Nyoman Sulitra, salah satu perintis pariwisata di Nusa Lembongan, adalah saksinya.

"Mulai 2008 masyarakat lokal membangun vila. Orang-orang Lembongan berduyun-duyun bikin vila. Kalau punya uang, pasti bikin vila," kata Sulitra kepada wartawan BBC News Indonesia di Bali.

Bangkitnya pariwisata dibarengi dengan kerugian yang diderita petani rumput laut. Hal ini membuat semakin banyak warga yang meninggalkan komoditas tersebut.

"Rumput lautnya murah, harganya sampai Rp 3.000-Rp 4.000. Kalau dihitung antara pekerjaan dan hasilnya kan tidak match ya. Lebih baik dia lari ke pariwisata mumpung pariwisata berkembang pesat. Mulai itulah pelan-pelan ditinggalkan rumput laut," paparnya.

Selain vila yang dikelola bersama keluarganya, Sulitra mengelola restoran dan vila bersama teman karibnya yang kini jadi pemodal.

Mengandalkan tamu dari Eropa, terutama Belanda, uang mengalir lancar ke rekening Sulitra dan para pemilik usaha pariwisata lainnya di Nusa Lembongan.

Namun, ketika pandemi Covid-19 menghantam Bali, aliran pendapatan terhenti sama sekali.

Laut yang biasanya riuh dengan para penyelam dan penikmat snorkling, kini hanya berisi tongkang kosong. Restoran dan kafe tiada pengunjung.

Deretan sepeda motor teronggok berdebu di tempat-tempat penyewaan.

"Sekarang penghasilan tidak ada sama sekali. Susah sekarang, Pak. Aduuh. Benar-benar susah," kata Sulitra.

Siang itu dia sekadar memeriksa restoran dan vilanya. Satu staf yang masih masuk baru saja pamit untuk pulang. Tanpa turis sama sekali, tak banyak pekerjaan bisa dilakukan.

Sebagai wakil pemilik sekaligus manajer LGood Villa dan Restaurant, Sulitra sudah merumahkan karyawannya.

Sembilan kamar di vila milik Sulitra yang bertarif paling murah Rp 1 juta per malam, kosong tanpa tamu sejak Maret lalu.

Nihil pekerjaan, Sulitra yang sebelum pandemi bisa mendulang sampai ratusan juta rupiah per bulan itu pun kembali membudidayakan rumput laut.

"Saya tidak malu. Penghasilan sekarang nol. Akan nol sama sekali kalau tidak ada rumput laut. Untungnya ada rumput laut," kata Sulitra.

Dengan modal Rp 15 juta, dia membeli 450 tali bibit rumput laut dan patok.

Bersama istri dan buruh dia terjun ke laut menanam, merawat, dan memanen rumput laut jenis katoni (Kappaphycus alvarezii) dan sakul (Eucheuma spinosum) itu. Dia sudah sekali panen dengan hasil Rp 3,3 juta.

Ketika ditanya apa artinya nilai itu dibandingkan pendapatannya dari pariwisata, Sulitra menjawab dengan tertawa, "Jauh, Pak. Jauuuh..."

Dia mengaku tetap berharap pariwisata akan kembali pulih di Bali.

"Kalau disuruh memilih antara pariwisata dan rumput laut, saya lebih memilih pariwisata, tetapi rumput laut juga jangan ditinggalkan. Karena kalau hanya mengandalkan pariwisata, sangat riskan terhadap ekonomi," lanjutnya.

Bahkan, alumni Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali ini mengajarkan tentang cara bertani rumput laut ke Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, hingga Papua.

Sebelum pandemi melanda, dia bisa mendapatkan sekitar Rp 35 juta dari menjual bibit rumput laut. Itu belum termasuk hasil penjualan rumput laut kering, sekitar Rp 3 hingga Rp 5 juta per bulan.

Namun, Suarbawa berinvestasi pada waktu yang tidak tepat. Tergiur oleh keuntungan sektor pariwisata, dia membangun vila dan kolam renang untuk disewakan. Modal sebesar Rp 800 juta dia peroleh dari hasil jual aset dan berutang.

Belum sempat balik modal, pandemi muncul.

"Saya bercerita kepada istri, 'kok bisa ya kita bodoh seperti ini?' Karena uang saya habis untuk itu, kolaps, sekarang saya nggak punya uang. Tabungan saya sudah habis untuk membangun vila. Saya bersyukur ada rumput laut sehingga bisa beli beras," tutur Made Suarbawa dengan mata berkaca-kaca.

Kini, Suarbawa telah belajar dari pengalamannya dan fokus menekuni komoditas rumput laut.

Dengan dukungan beberapa lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah, Suarbawa melakukan pembibitan dan pengembangan rumput laut.

Saat ini dia mengelola 1.700 m2 lahan rumput laut.

"Selama 30 tahun, kami di Lembongan telah diselamatkan rumput laut. Tidak mungkin komoditas yang sudah menyelamatkan kami 30 tahun, kami abaikan begitu saja. Lalu kenapa kami tidak rawat dengan baik untuk keberlangsungan kehidupan kami di Lembongan," pungkas Suarbawa.

https://regional.kompas.com/read/2020/09/17/10220031/-selama-30-tahun-kami-di-lembongan-diselamatkan-rumput-laut-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke