Salin Artikel

Kisah Guru Honorer yang Rela Gaji Minus untuk Berdayakan Lansia

Kompetensi dan waktu yang mereka curahkan bagi pendidikan di Indonesia tidak sebanding dengan kompensasi yang diterima.

Seperti yang dialami Muhammad David Mauli Niam (31), seorang guru honorer di MTs Negeri 4 Demak, Jawa Tengah.

Pengabdian selama 6 tahun dijalaninya dengan tabah meski gaji tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari.

"Pertama mengajar dulu saya terima honor Rp 300.000. Sekarang sih sudah Rp 700.000," kata David saat ditemui Kompas.com, Jumat (11/9/2020).

Tidak ada kesan dia mengeluhkan kondisi tersebut.

Lelaki yang juga terlibat dalam berbagai organisasi ini mengaku gaji dari sekolahnya tak pernah dinikmati sebab sudah habis untuk angsuran koperasi sekolah.

Bahkan sudah beberapa bulan ini, ada minus yang harus dibayarkan.

Pinjaman koperasi sekolah tersebut diajukan David dengan tujuan sebagai modal usaha pemberdayaan warga lanjut usia di tanah kelahirannya, Desa Cangkring, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak.

David merintis usaha pembuatan pot tanaman dengan media sabut kelapa. Tenaga produksi yang direkrut semua berusia lebih dari 60 tahun.


Para lansia yang selama ini hanya duduk berpangku tangan sambil menunggu kepulangan anak cucu, kini kembali bisa merasakan nikmatnya bekerja sesuai kemampuan tubuh mereka yang renta.

Berawal dari tidak berkegiatan pada masa pandemi Covid-19, laki-laki berputra dua yang masih aktif di Komunitas Gusdurian ini harus memutar otak cara mengisi waktu luang setelah mengajar secara online.

Sementara kondisi ekonomi juga makin sulit. Belum lagi melihat nasib para lansia yang hampir tanpa harapan karena tidak beraktivitas selama di rumah.

"Motivasi saya merintis usaha ini karena gaji minus dan nelangsa melihat para lansia miskin,"ucap David tersendat.

Meski disebut bekerja, tapi David tidak mematok target jumlah produksi. 

Semua produk mulai dari pot tanaman, turus, media cangkok dan berbagai produk kerajinan berbahan dasar limbah sabut kelapa, dikerjakan sesuai dengan kondisi para lansia.

Kebetulan memang barang-barang tersebut tidak membutuhkan tenaga besar untuk pembuatannya.

Mbah Paidi (80) mengaku senang sebab di usia senja, tenaganya masih bisa berguna.

Kakek lima orang cucu ini sangat berterima kasih kepada David karena diberi kesempatan untuk tetap berkarya.

"Wong boten kesel, enteng kerjane, kalih lenggah. Upahe ngge tumbas rokok ( Tidak capek, pekerjaan ringan, sambil duduk. Honornya bisa untuk membeli rokok.)," ujar Mbah Paidi girang.

Untuk pot berukuran kecil, David memberi upah Rp 1.500 per unit.

Para lansia yang mengisi plastik kecil dengan media cangkok berbahan dasar sabut kelapa juga menerima ganti jasa Rp 100 per bungkus.

David mengaku modalnya memang belum memadai untuk bisa memberikan upah lebih. 

Dari hasil penjualan, dia baru bisa memetik laba sekitar Rp 1000 per item yang laku.


Laba tersebut didapat setelah menghitung bahan baku dan ongkos produksi.

Bahan baku sabut kelapa, dipasok dari Jepara seharga Rp 1,5 juta per truk. Sementara untuk penggilingan sabut, mesinnya masih meminjam.

"Meski belum ada pasar tetap tapi kami tetap berproduksi karena motivasi awalnya memang pemberdayaan lansia," terang David.

Senada dengan apa yang disampaikan oleh David, Mbah Temu (60) yang sehari-hari tinggal sendiri di gubuk reyot juga merasa bersyukur ada pemuda yang peduli lansia.

Berkat David sekarang dia tidak lagi merasa kesepian tanpa kegiatan.

Mimpi David ke depan adalah makin meluaskan usaha supaya para lansia makin banyak yang bisa bergabung.

Saat ini konsep pembuatan peci berbahan sabut sudah mulai dirintis tapi David masih membutuhkan dukungan moral dan modal untuk mengembangkannya.

https://regional.kompas.com/read/2020/09/12/15412301/kisah-guru-honorer-yang-rela-gaji-minus-untuk-berdayakan-lansia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke