Salin Artikel

Menyoal Kematian Ipar Edo Kondologit di Tahanan

Catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pengaduan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat di Papua terus menggunung dalam lima tahun terakhir. Sepanjang 2019 saja jumlahnya mencapai 154 aduan.

Terus berulangnya praktik kekerasan, kata pegiat HAM, disebabkan cara pandang polisi yang menganggap orang Papua sebagai separatis dan tak ada mekanisme penyelidikan independen untuk menghukum berat pelaku kekerasan.

Ehud Edward Kondologit atau Edo Kondologit masih tak terima dengan dalih kepolisian yang menyebut adik iparnya, George Karel Rumbino alias Riko, tewas dalam tahanan Mapolres Sorong karena dianiaya sesama tahanan.

Dengan suara meninggi, politikus PDI Perjuangan ini berkata, polisi tak bisa mengalihkan tanggung jawabnya pada tahanan sebab itu sama dengan pembiaran.

"Dia disiksa di tahanan, padahal di Mapolres ada CCTV. Kalian [polisi] nggak tahu dan dibiarkan saja? Terus mau salahkan ke tahanan juga? Kan nggak bisa begitu," ujar Edo kepada BBC News Indonesia, Senin (31/8/2020).

Keluarga korban, kata Edo, mendesak polisi melakukan penyelidikan secara transparan dalam kasus tersebut. Mulai dari saat Riko ditangkap hingga sampai tahanan.

Ia yakin, yang menimpa laki-laki 19 tahun itu, adalah tindakan kekerasan oleh polisi.

Pasalnya, ketika jenazah korban hendak dikubur, sekujur tubuh penuh luka lebam. Tangan kiri patah dan ada dua bekas tembakan di kedua kaki.

"Kami menuntut keadilan. Teroris saja tidak diperlakukan kejam begitu untuk mengaku. Nah ini kok begini?"

Keterlibatan itu muncul lantaran Riko menenggak minuman keras yang sama persis dengan yang ada di kamar korban pemerkosaan. Riko dan korban tinggal bersebelahan.

"Bapaknya curiga terus bilang, 'Riko ini minuman yang ko (kau) pegang ini kan dari dia pu (punya) kamar. Ini apa?'" kata Edo meniru ucapan ayah Riko.

Saat dipergoki itu, polisi tengah memeriksa rumah korban. Ibu Riko pun langsung meminta polisi memeriksa kamar anaknya.

Di bawah kasur Riko, polisi menemukan telepon genggam dan pengisi daya milik korban. Ibunya kemudian mempersilakan polisi membawa anaknya untuk diperiksa.

Tak sampai 24 jam setelah Riko ditangkap, keluarga menerima kabar bahwa adik iparnya itu meninggal di Rumah Sakit Mutiara, Sorong.

Belakangan ia mendapat informasi, Riko sudah meninggal sejak Kamis (27/8/2020) malam.

Setibanya di Polres, Riko diduga dipukuli dan dianiaya tahanan lain.

"Yang kami tidak terima, belum 24 jam ada kabar dia disiksa dan kehilangan nyawa. Kaki ditembak, tangan diborgol dengan alasan mau merampas senjata polisi."

"Ini kan ngawur. Apa dasarnya? Masa tangan diborgol lalu mau merampas senjata? Ini kan cara-cara intimidasi untuk mendapat informasi yang biadab dan melanggar HAM."

Edo juga berharap kasus yang menimpa kerabatnya tersebut menjadi momentum untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap orang Papua.

Termasuk ketika dalam proses-proses pemeriksaan di tahanan kepolisian. Para pelaku yang merupakan anggota polisi pun, katanya, harus ditindak secara hukum pidana.

Jika ditemukan kelalaian terhadap polisi dalam mengamankan tahanan akan dikenakan sanksi sesuai bentuk pelanggarannya.

"Pasti (anggota) ditindak kalau ada kelalaian. Kemudian si pelaku yang menganiaya tahanan akan dipidana," ujar Awi kepada BBC.

Kendati demikian, Awi menegaskan, tidak ada anggota Polres Sorong yang melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan seperti yang disangka Edo Kondologit.

Luka tembak di kedua kaki Riko, kata Awi, dilakukan polisi karena ia mencoba kabur dan merebut senjata anggota.

Saat itu juga Riko dibawa ke rumah sakit untuk mengeluarkan peluru. Setelahnya dikembalikan ke tahanan.

"Di dalam sel, (Riko) dipukuli sama tahanan, bukan sama polisi."

Pegiat Hak Asasi Manusia yang pernah meneliti kasus kekerasan dan penyiksaan di Papua, Papang Hidayat, mengatakan Polri tidak bisa lepas tanggung jawab atas kasus-kasus kekerasan yang terjadi dalam tahanan meskipun pelaku penganiayaan bukan dilakukan oleh anggota polisi.

"Semua orang di bawah kuasa yuridiksi kepolisian menjadi tanggung jawab dia. Pelakunya bisa saja bukan kepolisian langsung dan death in custody punya kewajiban generik bahwa setiap orang yang mati di bawah tahanan polisi harus dibuat investigasi independen," ujar Papang Hidayat kepada BBC.

Sepanjangan pengamatannya, kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat dan diadukan ke propam tidak jelas tindak lanjutnya.

Sebab polisi, katanya, kerap menggunakan langkah 'damai' dengan memberikan ganti rugi kepada keluarga korban.

"Kesannya damai, padahal itu tindak pidana serius."

Hal itu diakui Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay. Pada 2019, ia melaporkan seorang polisi Polda Papua atas dugaan penyiksaan dan pemerkosaan terhadap Teresta Tega Iyaba, seorang pendemo anti-rasisme akhir tahun lalu di Papua.

Hingga kini, aduan itu tak membuahkan hasil.

"Dilaporkan November tahun lalu tapi sampai saat ini belum ada tanggapan polisi. Katanya sudah diperiksa tapi tidak tahu perkembangannya," ujar Emanuel Gobay.

Menurut Papang, untuk memutus segala tindakan kekerasan oleh anggota polisi harus ada lembaga independen yang menyelidiki kasus-kasus tersebut. Ia mencontohkan Komnas HAM atau Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Penyelidikan independen itu bisa menghukum berat pelaku, tak hanya etik.

"Sejauh tidak ada mekanisme yang independen, kasus ini bakal sering terjadi."

Lebih jauh ia menilai berulangnya kasus kekerasan dan penyiksaan oleh polisi terhadap orang Papua disebabkan cara pandang aparat yang melihat mereka sebagai ancaman atau kelompok separatis.

https://regional.kompas.com/read/2020/09/04/12520071/menyoal-kematian-ipar-edo-kondologit-di-tahanan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke