Engkim menceritakan, tidak ada ada lagi ikan yang bisa hidup di kolam miliknya. Sebab, air dari Sungai Cileleuy yang biasa mengaliri kolamnya kini kotor tercemar limbah buangan pengeboran terowongan incline shaft construction atau terowongan infrastruktur penunjang Kereta Cepat Jakarta-Bandung nomor 6-3.
"Kalau masukin ikan kesini (kolam), enggak lama pasti langsung pada mati ikannya. Ini warnanya airnya agak lumayan, sebelumnya warnanya putih, seperti campuran semen," kata Engkim saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Kamis (3/9/2020).
Tak bisa buat MCK, sawah jadi keras
Kampung Sukamanah sejak dulu hingga sekarang memang tidak pernah kekurangan meski dalam kondisi musim kemarau. Namun menurut Engkim, saat ini aliran air Sungai Cileuleuy yang mengalir melewati Kampung Sukamanah, tidak bisa dipergunakan.
"Air di Kampung Sukamanah banyak, tapi sejak ada proyek terowongan kereta cepat, airnya enggak bisa dipakai. Kalau dipakai buat pertanian, sawahnya jadi keras," ucap Engkim.
Tidak hanya dari Sungai Cileuleuy, warga Kampung Sukamanah tidak pernah kekurangan air lantaran sejak dulu ada tiga mata air yang biasa dimanfaatkan untuk air minum, mencuci, hingga keperluan MCK.
Tapi sejak ada proyek pembuatan terowongan kereta cepat, tiga mata air yang bahkan bisa menghidupi 400-an Kepala keluarga (KK) di beberapa kampung di Desa Puteran jumlahnya terus berkurang.
"Sekarang tinggal satu mata air. Itu juga sedikit keruh, kena air limbah itu," jelasnya.
Hanya 1 mata air yang masih aktif
Warga lainnya, Sumarni (52), mengatakan, satu mata air yang masih aktif tersebut kini dibagi bergiliran. Dari 15 penampungan yang tersebar, masing-masing penampungan dua hari sekali hanya diberi waktu empat jam.
"Empat jam nampung paling cuma dapat empat ember. Dipakai buat dua hari. Enggak cukup. Akhirnya ya terpaksa pakai air yang kotor ini," ungkap Sumarni.
Ketika air bersih tak lagi cukup sementara air alternatif dari Sungai Cileuleuy terkontaminasi limbah buangan pengeboran terowongan kereta cepat, Sumarni bersama warga lainnya terpaksa membeli air bersih dengan harga Rp.100.000 per kubik.
"Tetap saja kurang. Terpaksa pakai juga air ini. Efeknya kalau dipakai buat mandi kulit jadinya gatal-gatal, terus jadi keras, seperti kena semen," tuturnya.
Engkim dan Sumarni mengaku tidak mau jika diberikan ganti rugi uang. Mereka hanya berharap tidak lagi kekurangan air bersih seperti dulu.
"Kita enggak nuntut apa apa, yang penting air banyak lagi dan jernih kembali," kata Engkim dan Sumarni.
https://regional.kompas.com/read/2020/09/03/19070501/kampung-kami-banyak-air-tapi-tidak-bisa-digunakan-gara-gara-proyek-kereta