Salin Artikel

Legenda di Balik Lumpur Kesongo yang Telan 17 Ekor Kerbau, Kisah Ular Raksasa Jaka Linglung

BLORA, KOMPAS.com - Gunung lumpur (mud vulcano) Kesongo di  kawasan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Randublatung, Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ternyata menyimpan cerita rakyat yang tragis

Menurut mitologi masyarakat, asal muasal "Kesongo" erat kaitannya dengan kisah Prabu Ajisaka dan putranya yang berwujud ular naga raksasa, Jaka Linglung pada masa kerajaan Medang Kamulan

Kepala Desa Gabusan, Parsidi, menyampaikan, dari cerita turun temurun leluhur setempat, keberadaan lumpur Kesongo bermula dari antipati Prabu Ajisaka dengan fisik dan tabiat sang anak, Jaka Linglung

Ajisaka pun berupaya menyingkirkan putranya itu dengan cara yang halus. Salah satunya Ajisaka berjanji akan mengakui Jaka Linglung sebagai anak asalkan Jaka Linglung sanggup  menumpas Bajul Putih (siluman buaya putih) yang menebar teror di pantai selatan.   

Di luar perkiraan, Jaka Linglung berhasil membunuh dan membawa serta kepala bajul putih yang merupakan penjelmaan dari Prabu Dewata Cengkar, seorang Raja Kanibal yang dahulu pernah dikalahkan oleh Ajisaka.

Ajisaka kemudian memerintahkan Jaka Linglung untuk bertapa di tengah hutan dengan  tidak diperbolehkan makan dan minum.

Patuh dengan ayahandanya, Jaka Linglung pun lantas bersemedi dengan membuka lebar-lebar mulutnya menyerupai sebuah gua.

Ratusan tahun kemudian wujud naga Jaka Linglung pun sudah tak kentara akibat telah dipenuhi dengan lumut, semak dan tumbuhan merambat.    

Suatu ketika terjadi hujan lebat disertai badai, sepuluh anak desa yang kebetulan menggembala ternak di hutan kemudian berupaya mencari tempat berteduh hingga berujung berlindung di gua yang tak lain adalah mulut Jaka Linglung.

Saat itu, seorang anak yang berpenyakit kulit dipaksa keluar oleh kesembilan anak lainnya yang merasa jijik.

Dan saat itu pula Jaka Linglung langsung menelan sembilan anak tersebut karena kesakitan dengan keusilan mereka yang membacok-bacokkan golok ke dinding gua.

 "Saat itu salah satu anak penggembala yang berada di luar berlari meminta pertolongan kepada warga hingga terdengar ke telinga Prabu Ajisaka," terang Parsidi saat dihubungi Kompas.com melalui ponsel, Minggu (30/8/2020).

Ajisaka pun murka dan saat itu Jaka Linglung yang merasa bersalah kemudian masuk ke dalam perut bumi untuk melanjutkan pertapaannya. Seketika itu juga muncul fenomena ledakan lumpur di lokasi tersebut.

"Tempat itu akhirnya dinamai Kesongo jika diartikan dalam bahasa Jawa yaitu cah songo yang artinya sembilan anak," ungkap Parsidi.

Versi lain

Sementara itu, pemerhati sejarah Kabupaten Blora, Eko Arifianto (43) menyebut ada versi lain yang mencatat kisah Kesongo, salah satunya tertulis di buku Babat Kanung, sejarah perjalanan orang Jawa 230 SM-1292 M.

Diceritakan, dahulu pada tahun 725 Masehi ada tokoh yang bijaksana berasal dari Medang Kamulyan, Teluk Lusi Blora. Pemuda tampan dan berkarisma tersebut bernama Hang Sanjaya 

"Masih garis keturunan Datsu Dewi Simaha," kata Eko. 

Sanjaya adalah anak dari pasangan Sanaha dan Saladu. Ia dilahirkan di Sucen, Doplang atau sekarang dikenal Kecamatan Jati, Blora, Jawa Tengah atau dahulu disebut Medang Pakuwon pada akhir abad ke-7 Masehi.

 Pada waktu itu pamannya yakni bernama Sana baru saja diangkat menjadi datu di Galuh Kerajaan Tarunanegara. Namun tak selang berapa lama, Sana meninggal secara tiba-tiba.

 "Sana meninggal dunia akibat diracun oleh konspirasi yang terjadi di Istana Galuh karena perebutan kekuasaan," jelas Eko.

Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara ini ingin merebut tahta dari tangan Sana, lalu ia dibantu istrinya berhasil meracun Sana.

Mayat Sana oleh para pengikutnya dibalsam agar tidak menimbulkan bau tidak sedap. Kemudian mayatnya dibawa pulang ke kampung halamannya di Sucen, Doplang, Medang Pakuwon, Blora.

"Jenazahnya diantar oleh sembilan orang pengawalnya dan seorang pekathik atau pelayannya yang bertugas memelihara kuda," Ungkapnya. 

Namun sesampai di Medang Pakuwon, kakak perempuan Sana yang bernama Sanaha menjadi murka dan memerintahkan 9 orang pengawalnya dibunuh karena dianggap tidak mampu melindungi keselamatan adiknya.

Hanya satu orang yang dibiarkan tetap hidup yakni seorang pemelihara kuda yang dianggap orang kecil dan tidak tahu duduk perkaranya.

"Dari situ muncul kisah cerita tutur tentang Kesongo, yaitu matinya sembilan orang yang tragis dan dramatis," jelasnya. 

Tempat 9 orang pembantu Sana dibunuh sekarang dinamakan Kesongo, yang sekarang oleh warga disebut Oro - Oro Kesongo, di Desa Gabus, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Tempat terbunuhnya 9 orang sekarang berupa hamparan dataran rendah dengan tanah berlumpur. 

"Di tempat itu ada tanah berlumpur yang sering menyemburkan lumpur yang disertai gas belerang yang menyebabkan banyak burung dan hewan mati karena keracunan. Akibat semburan lumpur dengan bau gas belerang itu banyak hewan mati dan penduduk tidak perlu susah-susah berburu mencari makanan," terang Eko.

Pada tahun 416 M, Keraton Medang Kamulyan di hilir sungai Lusi Blora sudah padat penduduknya. Sebagian penduduk berpindah ke arah barat daya menyusuri Sungai Lusi hingga mencapai hutan jati di wilayah Blora Selatan.

Para pendatang membangun pemukiman baru. Wilayah tersebut diberi nama Pakuwuan atau Pakuwon dengan lokasi kedaton di Sucen.

Kedaton dipimpin oleh seorang perempuan bernama Sanaha. Sanaha adalah kakak perempuan Sana penguasa Galuh Kerajaan Tarumanegara yang merupakan garis keturunan Kandayun.

"Medang Pakuwon sekarang terletak di Desa Kesongo, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sanaha menjadi jatuh di Medang Pakuan pada tahun 696 Masehi," jelasnya.

Sementara itu sejarawan Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono, mengatakan, mitologi atau legenda tercipta dan mengalir begitu saja dari pitutur atau lisan masyarakat setelah muncul peristiwa fenomena alam besar yang tak bisa dijelaskan secara logis di masa lampau.

"Jadi ada peristiwa besar ada dulu baru muncul dongeng, mitos dan legenda. Termasuk kesongo, itu artinya peristiwa di Kesongo itu sudah ada sejak dulu dan setelah itu baru muncul cerita rakyat," kata Dwi saat dihubungi Kompas.com melalui ponsel, Senin (31/8/2020) malam.

Menurut Dwi, terlepas dari benar dan tidaknya mitologi atau legenda menunjukkan jika bahasa oral untuk menjelaskan maupun penyampaian informasi sudah ada sejak dulu.

Umumnya, sebuah peristiwa alam besar yang muncul dan tak bisa dijelaskan menggunakan bahasa saat itu akan dikaitkan dengan eksistensi tokoh kesohor yang sakti mandraguna.

"Tak mungkin juga peristiwa besar seperti letupan lumpur kesongo bisa muncul karena peran manusia biasa. Jadi narasi yang ada saat itu tidak sembarangan dan selalu pas jika dikaitkan.Tak perlu dibahas benar atau tidaknya, kita ambil sisi positifnya saja dan patut dilestarikan. Toh tidak merugikan," kata Dwi.

Dijelaskan Dwi, genre mitologi atau legenda biasanya alurnya serumpun dan selaras dengan "nama" obyek kejadian. Sebut saja bledug kuwu dan bledug kesongo yang tercipta akibat pengaruh Jaka Linglung yang beruwujud ular raksasa menembus perut bumi.

"Tak mungkin juga dinamakan kesongo namun yang dikaitkan dalam mitos itu berjumlah lima belas. Jadi genrenya hampir sama di setiap mitologi atau legenda dan selalu peristiwa besar nan misterius muncul atas peran tokoh yang punya kaluwihan atau kesaktian," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/09/01/10052841/legenda-di-balik-lumpur-kesongo-yang-telan-17-ekor-kerbau-kisah-ular-raksasa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke