Salin Artikel

Menyoal Semburan Lumpur di Blora, Ahli Sebut Fenomena Alam

Mengapa fenomena gunung api lumpur di Kesongo, Blora, pada Kamis (27/8/2020), disebut sebagai fenomena alam dan bukan akibat eksplorasi minyak?

Apa bedanya dengan semburan lumpur di Sidoarjo? Dan mengapa volume letupan terkadang besar dan sesekali kecil?

Apakah kemunculan gas dari setiap terjadi lumpur gunung api berbahaya bagi manusia dan hewan?

Berikut rangkuman dari hasil wawancara wartawan untuk BBC News Indonesia, dengan dua ahli geologi dari Universitas Diponegoro, Semarang, Tri Winarno, dan Angga Jati Widiatama dari program studi teknik geologi Institut Teknologi Sumatera, Lampung.

"Untuk bisa menjadi mud volcano harus ada pemicunya. Biasanya pemicunya [faktor] panas, yaitu sumber panas di bawah permukaan bumi," kata Tri Winarno BBC Indonesia pada Jumat (28/8/2020).

Menurutnya, sumber panas itu bisa macam-macam, tapi biasanya "[berupa] magma, karena ada pemanasan di bawah permukaan bumi."

Dia menganalisa gunung api lumpur itu bisa juga terjadi karena faktor lumpur yang jenuh dan ada faktor tekanan yang tinggi. "Sehingga akan muncul ke permukaan, apalagi di dorong [faktor] panas dari bawah."

Fenomena mud volcano di Kabupaten Blora ini, tidak terlepas dari faktor bahwa pulau Jawa merupakan bagian dari jalur gunung api yang sangat aktif (ring of fire).

"Nah kita bayangkan, kalau misalnya lumpur yang sudah penuh air, dan kalau ada panas di bawahnya, lalu mendidih, [maka] otomatis akan meledak," paparnya.

"Apalagi kalau didukung adanya jalur berupa rekahan-rekahan di permukaan bumi yang menghubungkan antara yang di permukaan dengan yang ada di dalam bumi. Rekahan itu bisa karena sesar atau rekahan batuan," tambah Tri Winarno.

Dia kemudian menganalisa secara spesifik tentang kejadian di Kesongo, Blora. Jenis bebatuan yang berada di bawah permukaan kawasan Kesongo adalah "bebatuan lempung".

Sementara, ahli geologi dari program studi teknik geologi Institut Teknologi Sumatera, Lampung, Angga Jati Widiatama, mengatakan, gunung lumpur di Kesongo itu "terbentuk dari adanya kubah garam atau istilah geologi disebut mud diapir".

Disebut sebagai batuan formasi kerek, yang terdiri batu pasir dan lempung, diendapkan secara cepat sehingga "menjebak" air di dalam pori-pori batuan.

"Karena ada air dalam pori-pori batuan, tertimbun terus menerus hingga tebal. Batuan yang tertimbun itu akan memunculkan gradien panas bumi," ungkap Angga kepada wartawan di Semarang, Nonie Arnee.

"Makin terendam, makin panas. Tekanan makin besar. Saat air di pori batuan terkena panas dan sumber suhu dan tekanan tinggi akan berubah jadi uap. Itu yang menyebabkan jadi campuran batuan, air dan uap. Hingga berubah menjadi kubah garam," paparnya.

Hal itu terbentuk "biasanya ada kaitannya dengan patahan geologi atau struktur geologi."

"Jadi wilayah dari Semarang hingga Sidoarjo (Jatim) itu sebenarnya batas lempeng mikro kontinen Jawa Timur yang ada di selatan. Karena batas lempeng, maka menjadi titik lemah, banyak patahan atau sesar. Patahan ini yang bisa menjadi jalan keluar dari mud volcano," papar Angga.

"Kalau di zona tektonik jalur ring of fire itu hal biasa. Di luar negeri, seperti Italia, fenomena mud volcano juga terjadi.

Dia kemudian menekankan bahwa fenomena ini bukanlah hal baru di pulau Jawa.

Dia mencontohkan "bleduk Kuwu" alias gunung api lumpur di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, serta satu kawasan di Cepu, Jawa Tengah.

"Ini tidak ada kaitan dengan eksplorasi minyak," katanya, karena di sekitarnya tidak ada aktivitas penambangan minyak dan gas.

"Intinya adalah lempung, air dan panas. Ditambah ada celah dan rekahan sehingga bisa muncul ke permukaan berupa semburan itu," jelasnya lebih lanjut.

Sementara, ahli geologi dari program studi teknik geologi Institut Teknologi Sumatera, Lampung, Angga Jati Widiatama, mengatakan, pembentukan mud diapir di Kesongo tidak berkaitan dengan eksplorasi tambang atau migas di sekitar kawasan Cepu.

"Peristiwa alami, itu siklus alami. Ada letupan kemudian tenang, lalu muncul lagi. Dalam siklus 1-2 tahun ada letupan besar, setelah itu kecil lagi. Yang kemarin itu ketinggian semburan sekitar empat meter dengan durasi sekirat 10 menit," papar Angga.

Dia mengakui, belum ada riset geologi yang intensif di Kesongo, meski disebutnya wilayah tersebut memiliki "keunikan geologi".

"Hanya saja kalau di Sidoarjo itu pemicunya adalah pengeboran minyak. Pengeboran minyak itu membuat celah atau jalan atau rekahan, [sehingga] bisa menjadi jalan untuk lumpur itu keluar."

Banjir lumpur panas Sidoarjo alias lumpur Lapindo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 29 Mei 2006.

Apakah terkait dengan keberadaan gunung berapi?

"Ini sama sekali tidak ada ada kaitan dengan gunung api," kata ahli geologi Angga Jati Widiatama.

Menurutnya, hal itu merupakan fenomena alami dan sudah ada sejak dahulu. "Hanya saja dalam beberapa waktu intensitas semburan meningkat,"tambahnya.

Adapun ahli geologi Tri Winarno mengatakan memang kawasan Kesongo jauh dari gunung berapi.

"Tapi perjalanan magma di bawah permukaan bumi tidak selalu harus berwujud atau membentuk gunung api," jelas Winarno.

"Yang penting di dalam permukaan ada celah yang menghubungkan daerah tersebut dengan dapur magma atau sumber magmatismenya. Kalau di lihat di selatan Jawa itu zona subduksi," katanya lebih lanjut.

Di sepanjang selatan Jawa dan barat Sumatera merupakan jalur ring of fire.

"Karena zona tumpukan lempeng-lempeng itu terhubung dengan jalur rekahan bisa kemana-mana. Jadi kalau misal kemudian volume magma besar bisa membentuk jalur-jalur api."

"Kalau pasokan magma tidak besar, tidak selalu dalam bentuk gunung api. Tapi bisa bentuk mata air panas, sumber gas," jelasnya.

"Kalau volume besar dipicu panas terus menerus akan menghasilkan tekanan yang besar dengan volume yang besar juga," jelasnya.

Dia mengatakan periode semburan sangat terkait dengan faktor lumpur dan sumber panas.

"[Semburannya] Bisa berhenti, [tapi] suatu saat nisa terbuka kembali, karena pergeseran lapisan bumi atau efek gempa."

Apakah benar mud volcano mengandung gas beracun?

Ahli geologi dari Universitas Diponegoro, Semarang, Tri Winarno mengatakan, kandungan gas di dalam magma "akan ikut mengalir" bersama letusan lumpur. Dia menyebut mud volcano mengandung gas beracun.

"Jadi, mud volcano mengandung gas beracun, karena kandungan gas di dalam magma itu bermacam-macam," ujarnya.

"Ada gas karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), SO2 (sulfur dioksida), dan HCl (Asam hidroklorida), hidrogen fluorida (HF), hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3), dan metana (CH4).

"[Semuanya] sifatnya beracun. Itu semua ada di dalam magma. Kalau gas itu keluar di dalam magma bersamaan dengan ledakan itu akan mengandung racun dan berbahaya," jelasnya.

Namun demikian, menurutnya, volume gas beracun itu tergantung "besar atau kecilnya semburan".

"Gas beracun tergantung besar-kecil semburan, ketinggian semburan... Jadi kalau terbawa angin kemudian efeknya bisa sejauh mana itu berkaitan dengan kadar gas," papar Tri.

"Kalau efek kadar gas tinggi, bisa menimbulkan kematian. Dilhat dari volumenya, yang terjadi di Kesongo, [ada warga yang] muntah dan pusing," katanya.

Dia kemudian meminta otoritas terkait di Kabupaten Blora untuk membuat pembatas di lokasi semburan. "Dan harus ada ketentuan, warga bisa memasuki area hanya dalam radius tertentu," demikian Tri.

Apakah semburan mud volcano bisa diprediksi?

"Kalau ini sulit diprediksi," kata Tri Winarno.

"Seperti gempa bumi, tidak bisa diprediksi, karena itu berkaitan dengan ketersediaan faktor panas dari bawah."

"Sama seperti memprediksi gunung api bisa meletus berapa tahun sekali... Artinya itu bisa terulang, tapi prediksi secara tepat kapan terjadi lagi, itu hanya perkiraan," tambah Tri.

Pada hari Kamis (27/08), sekitar pukul 05.30 WIB pagi, ada seorang warga, Marno, melepaskan beberapa kerbau miliknya di pinggiran padang rumput di kawasan rerumputan Keno.

Lalu muncul retakan di kawasan tanah terus keluar semburan gas dan lumpur di kawasan itu.

Kerbau milik Marno sampai terkubur lumpur, dan Marno berusaha lari sampai jungkir-balik mencoba menyelamatkan diri dan dia sempat menghirup gas.

Dia kemudian dilarikan ke puskesmas setempat untuk mendapat perawatan, diberi oksigen dan setelah tiga jam dirawat dibolehkan pulang.

"Sampai Jumat (28/8/2020) siang, banyak warga yang mengunjungi lokasi - menjadi tempat wisata dadakan," kata Choirul Imam.

Ada 17 ekor kerbau yang terkubur lumpur. Satu ekor kerbau berhasil diselamatkan warga.

Sebelumnya, letusan seperti ini sering terjadi, tapi tidak besar seperti ini.

Dulu setiap tahun ada dua atau tiga letusan, dengan ketinggian semburan kisaran antara satu dan dua meter.

Tapi letusan pertama pada Kamis pagi kemarin, ketinggiannya mencapai sekitar 20 meter lebih.

Adapun letusan kedua pada Jumat (28/8/2020) pagi, rata-rata ketinggian sekitar delapan dan 10 meter.

Sampai Jumat siang, banyak warga yang mengunjungi lokasi - menjadi tempat wisata dadakan.

Sekarang diberi police line (garis polisi) dan warga dilarang mendekati lumpur atau pusat semburan. Jarak ke pusat semburan sekitar 200 meter.

Dan pada Jumat sore, tidak ada lagi letupan. Yang kita takutkan apabila letuasan itu tiba-tiba muncul.

Terakhir kali ada semburan sebesar ini kira-kira 14 tahun lalu. Warga di sini menyebut kejadian letupan ini sebagai "kraton-kraton yang sedang tidur".

https://regional.kompas.com/read/2020/08/31/06070081/menyoal-semburan-lumpur-di-blora-ahli-sebut-fenomena-alam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke