Salin Artikel

Perjuangan Anastasia, Menjual Kayu Api untuk Hidupi Keluarga dan Menyekolahkan Anak

BORONG, KOMPAS.com - Anastasia Mbela (52), warga Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, ditinggal sang suami sejak tahun 2008 silam. 

Sejak merantau, sang suami, tidak pernah memberi kabar, apalagi untuk mengirim uang untuk biaya hidup anak-anak. 

Anastasia dan suami memiliki 4 orang anak yakni 2 laki dan 2 perempuan.

Sejak suami merantau, Anastasia membesarkan keempat anak itu secara mandiri. Ia jadi tulang punggung ekonomi keluarga.

Anastasia menuturkan, untuk menghidupkan anak-anak, ia bekerja serabutan. Ia sering jadi buruh kasar di kebun orang dan masak di kantor pemerintah. 

Dari pekerjaan itu, ia mendapat upah sebesar Rp 35.000 per hari.

Tetapi, kerja menjadi buruh itu tidak stabil. Kadang ada yang orang pakai jasanya, kadang pula tidak.

Ketika tidak ada orang yang memintanya untuk kerja, Anastasia mengisi waktu dengan mencari kayu mentah di kebun yang letaknya tidak jauh dari rumah. 

Kayu mentah itu di bawanya ke rumah, lalu dipotong sesuai ukuran, dikupas kulitnya, dan dijemur.

Saat kering, kayu itu diikat dan diletakan di atas tenda yang ada di depan rumah. 


Kayu yang dijualnya jarang dibeli lantaran letaknya cukup jauh dari jalan raya dan pemukiman warga.

Akses menuju rumah Anastasia pun masih jalan tanah. 

“Satu bulan hasil jual kayu tidak sampai Rp 100.000. Paling tinggi itu Rp 50.000. Uang itu saya gunakan untuk beli beras dan minyak tanah,” tutur Anastasia, kepada Kompas.com, di halaman rumahnya, Rabu (5/6/2020). 

Anastasia mengatakan, uang hasil kerjanya sebenarnya sangat tidak cukup untuk biaya hidup keluarganya.

Ia berusaha dengan segala cara mengatur uang hasil kerja untuk membeli kebutuhan rumah dan uang sekolah salah satu anaknya.

Sering kali keluarganya mengalami ketiadaan beras untuk makan.

Beruntungnya, di setiap saat susah, selalu saja ada tetangga yang peduli dengan keadaan mereka dengan menyumbang beras. 

Tahun 2020 ini, anaknya yang keempat sudah masuk sekolah menengah atas. Tentu, tanggung jawabnya semakin bertambah, tetapi pemasukan tidak meningkat. 

Meski dengan segala kekurangan, Anastasia tetap ingin anaknya yang bungsu itu harus sekolah sampai selesai.

Karena, dari keempat anaknya, hanya satu yang sekolah. 

“Kalau untuk uang sekolah mungkin bisa ditalang dengan bantuan Program Indonesia Pintar (PIP). Yang saya pikir ini, uang untuk belanja kebutuhan sekolah seperti beli dan foto kopi buku. Tetapi, itu bukan halangan. Saya akan usaha agar anak ini harus tamat SMA,” kata Anastasia.


Hidup tanpa listrik dan air bersih

Meski Anastasia dan anak-anaknya tinggal di kelurahan yang ada di Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, rumahnya belum juga teraliri listrik negara dan air minum bersih. 

Anastasia mengungkapkan, kondisi itu tentu bukan karena diabaikan pemerintah.

Lagi-lagi soal uang. Untuk makan saja mereka susah.

Apalagi, mau pasang meteran listrik dan air minum yang butuh dana jutaan rupiah. 

Ia menceritakan, sudah puluhan tahun hidup tanpa listrik. Malam hari, mereka mengandalkan lampu pelita untuk penerangan rumah.

Sering juga mereka hidup tanpa terang di malam hari. Itu teruatama saat minyak tanah habis. 

“Kalau minyak tanah habis, ya, malam hari saat makan, kami makan dekat api saja supaya terang. Setelah itu, tidur sampai pagi gelap terus,” ungkap Anastasia. 

Anastasia melanjutkan, untuk air minum, mereka harus menimba air kali yang letaknya sekitar 2 kilometer dari rumah.

Kadang-kadang juga mereka menimba air di rumah tetangga yang berbaik hati.

Ia bersama anaknya tetap bermimpi, suatu saat nanti, rumah bisa teraliri listrik negara dan mengakses air minum bersih.

https://regional.kompas.com/read/2020/08/06/08194571/perjuangan-anastasia-menjual-kayu-api-untuk-hidupi-keluarga-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke