Salin Artikel

Cerita Dingo, Anjing Bernyanyi Papua yang Viral, Dianggap Sakral Suku Moni di Pegunungan Carstensz

JAYAPURA, KOMPAS.com - Informasi mengenai Papua Singing Dog yang hidup di wilayah yang berada pada ketinggian di atas 3.000 meter di atas permukaan laut (MDPL) masih sangat minim.

Spesies anjing yang diyakini tidak bisa mengonggong tersebut sangat jarang ditemui sehingga masyarakat Papua yang berada di kawasan pesisir pun tidak mengetahui keberadaan satwa tersebut.

Tetapi, hal tersebut tidak berlaku bagi masyarakat adat Suku Moni yang umumnya tinggal di sekitar Pegunungan Cartensz yang juga menjadi habitat bagi Papua Singing Dog.

Maximus Tipagau, salah satu tokoh adat Suku Moni, menyebut anjing tersebut dengan sebutan Dingo dan dianggap sakral oleh sukunya.

"Iya Dingo sakral di Mepago khususnya di keluarga kami, (suku) Ugimba, Intan Jaya, benar-benar sakral, kami anggap sebagai nenek moyang," ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Kamis (30/7/2020).

Keberadaan Dingo, menurut Maximus, hanya ada di kawasan puncak Cartensz, yaitu di Gunung Somatua, Putigapa, Balebale Kelapa, Yiginagau, Kabanagau, dan beberapa lainnya.

"Di sana dia hidup hanya dengan makanan dari alam, seperti kuskus dan sebagainya, tetapi mereka sangat bersahabat dengan alam Khususnya kami orang Moni, (marga) Tipagau, Kobogau, Senamba dan lain-lain," kata dia.

Cerita rakyat Dingo

Mitos atau cerita rakyat tentang Dingo pun masih terus dikisahkan oleh masyarakat suku Moni secara lisan kepada keturunannya.

Maximus menceritakan, bagi Suku Moni, Dingo dianggap hewan yang memiliki kekuatan mistis dan dapat mengontrol cuaca.

Yang paling ekstrim, Dingo diyakini bisa berubah menjadi manusia dan menjadi kanibal.

"Dia kalau malam hari bisa berubah jadi manusia dan siang hari jadi anjing. Dia bisa makan manusia, tetapi bukan langsung datang makan manusianya, dia kirim angin atau es dulu, baru orangnya secara alamiah dia tewas atau tertidur, baru (Dingo) dia datang makan. Tetapi orang tertentu yang dianggap musuh, biasanya marga-marga lain. Sementara marganya kami, dia berbagi kasih, dia datang minta makan, hebatnya dia bisa kumpul di suatu gunung dan bernyanyi," tuturnya.

Namun untuk beberapa marga dari Suku Moni, sambung Maximus yang juga berprofesi sebagai pemandu bagi pendaki puncak Carstensz, Dingo kerap datang dan meminta makan.

Makanan yang diberi pun bukan berupa daging, melainkan umbi-umbian yang menurut Maximus, juga disukai oleh Dingo.

Kisah Dingo harus dibukukan

Berapa populasi Dingo, hingga kini masih menjadi misteri karena sejauh ini belum ada penelitian yang secara khusus dilakukan untuk mengungkap hal tersebut.

Maximus sendiri meyakini bila Dingo sudah terancam punah sehingga perlu ada segera penelitian ilmiah untuk menentukan tindakan apa yang paling tepat untuk menyelamatkan spesies tersebut.

"Dingo sangat terancam punah, itulah kita perlu segera buat penelitian dan perlu ada sponsor dari berbagai pihak terutama Pemprov Papua bekerja sama dengan akademisi Uncen dan masyarakat adat, ini berbicara tentang jati diri Papua," kata dia.

Selain untuk menyelamatkan populasinya, cerita rakyat/mitos tentang Dingo pun ia anggap perlu segera dibukukan agar kisahnya tidak lenyap.

DIngo, menurut Maximus, bukan hanya sekedar hewan, tetapi juga menjadi pelengkap bagi jati diri Papua yang memiliki kekayaan alam melimpah.

"Kita ingin segera melakukan penelitian karena ini sebuah cerita rakyat dan ada fakta di balik kekayaan emas kita, ada flora fauna yang luar biasa, tetapi ada hewan yang menjadi saksi hidup, yaitu anjing Dingo," ujarnya.

"Walau sudah ada penelitian dari Uncen, dari luar negeri, tetapi kita dari Papua harus punya tanggung jawab moral tentang alam kita. Ini sebuah cerita yang harusnya diceritakan kepada keturunan kita, tetapi jangan cerita yang mengarang dan harus yang benar," sambung Maximus.

Hal ini pun diamini oleh Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Papua, Christian Sohilait, yang menjuga melihat Dingo sebagai bagian dari cerita rakyat yang harus segera didokumentasikan dengan baik.

"Dingo ini juga merupakan cerita rakyat yang harus dilestarikan sehingga kisahnya bisa diturunkan ke anak cucu kita," kata dia.

Christian mengakui baru sedikit cerita rakyat asli dari Papua yang sudah dibukukan, namun kini sudah ada beberapa lembaga yang peduli dan mulai melakukan hal tersebut.

Menurut dia, kekayaan alam Papua juga dibarengi dengan cerita rakyat yang jumlahnya belum dapat dipastikan.

"Baru sekitar 20 (cerita rakyat) yang sudah dibukukan dan yang belum sangat banyak," kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2020/08/02/13534031/cerita-dingo-anjing-bernyanyi-papua-yang-viral-dianggap-sakral-suku-moni-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke