Salin Artikel

Kisah Siswa di Pulau Seram, Jalan Kaki 3 Kilometer hingga Bertaruh Nyawa Seberangi Sungai Demi Bisa Sekolah

AMBON, KOMPAS.com - Perjuangan para siswa SMP di Desa Tobo, Kecamatan Werinama, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku untuk meraih cita-citanya bukanlah sebuah perkara yang mudah.

Demi mendapatkan pendidikan di sekolah, para siswa di desa tersebut harus rela menempuh perjalanan sejauh lebih dari tiga kilometer ke desa seberang sambil berjalan kaki menyusuri pesisir pantai yang bergelombang.

Selain harus berjalan kaki menempuh jarak yang jauh, para siswa di desa Tobo ini harus melewati rintangan teramat berat.

Mereka harus menyeberangi aliran sungai yang sangat deras untuk sampai ke sekolah mereka yang berada di Desa Batuasa.

Jika sedikit saja salah melangkah, maka akibatnya pun akan sangat fatal, para siswa bisa hanyut terbawa aliran sungai ke laut.

Seperti yang dialami oleh Nanda, siswa SMP Negeri 16 Seram Bagian Timur asal Desa Tobo yang nekat menyeberangi sungai Ulil bersama teman-temannya untuk bisa sampai ke sekolah pada Kamis (16/7/2020).

Zubaidah, orangtua Nanda mengaku, meski merasa sangat khawatir, namun demi cita-cita anaknya, ia rela putrinya itu tetap ke sekolah walaupun harus berjalan kaki dan melewati aliran sungai yang sangat deras.

“Saya sangat khawatir, tapi mau bagaimana lagi, itu satu-satunya jalan menuju ke sekolah,” kata Zubaidah, kepada Kompas.com, saat dihubungi dari Ambon, Kamis malam.

Zubaidah menuturkan, putrinya bersama para siswa lain di desa tersebut harus berjalan kaki menyusuri pesisir pantai ke sekolah karena tidak ada jalan darat yang menghubungkan desa mereka dengan Desa Batuasa tempat putrinya bersekolah.

Padahal, dalam beberapa pekan terakhir ini, hujan deras telah menyebabkan sungai-sungai di desa tersebut meluap hingga sulit dilewati.


Kondisinya semakin memprihatinkan karena tidak ada jembatan di sungai-sungai tersebut.

“Kali-kali banjir, anak-anak pergi sekolah itu menyebrang sungai yang banjir, jadi kami sebagai orangtua takutnya saat mereka lewat lalu hanyut terbawa banjir,“ kata dia.

Ia mengungkapkan, beberapa tahun lalu ada anak-anak yang hanyut karena terbawa derasnya air sungai tersebut.

Kondisi itu membuatnya merasa khawatir karena saat ini sungai yang akan dilewati anak-anak desa juga sedang kebanjiran.

Karena itu, mulai besok, Zubaeda akan mengantar putrinya langsung ke sekolah supaya bisa membantunya melewati aliran sungai yang deras di perbatasan desa tersebut.

“Besok itu mungkin kami akan antar anak-anak karena takut juga,” ujar dia.

Prihatin

Salah seorang guru SMP Negeri 16 Seram Bagian Timur, Werto Wailissahalong mengatakan, siswa di sekolah tersebut mulai kembali bersekolah seperti biasa sejak tanggal 13 Juli 2020.

Namun, sayangnya, saat mulai masuk sekolah, para siswa harus melewati jalan terjal dengan melewati aliran sungai yang deras demi bisa mendapatkan pelajaran di sekolah.

“Tiap hari seperti begini, siswa jalan kaki sepanjang tiga kilo karena jalan raya memang tidak ada, di sini juga tidak ada jembatan,” kata Werto, saat dihubungi secara terpisah.

Werto sendiri mengakui ia juga setiap hari harus berjalan kaki dari kampungnya ke sekolah bersama para siswanya tersebut.


Saat musim penghujan tiba, kata dia, sungai-sungai yang ada di wilayah itu kebanjiran sehingga mereka harus rela menyeberangi sungai yang deras.

“Tadi itu syukurnya air sedang surut, jadi bisa lewat. Tapi, kalau airnya pasang itu sudah tidak bisa lewat lagi. Jadi, kita prihatin juga, kami merasa sangat kasihan kepada mereka (siswa) ini karena mereka kan masih sangat kecil,” ujar dia.

Berjalan kaki menyusuri pantai dan menyeberangi sungai yang deras telah menjadi kebiasaan para siswa dan guru di desa tersebut selama ini.

Dia menuturkan, orangtua para siswa kadang merasa khawatir dengan kondisi anaknya sehingga mereka kerap memutuskan tidak mengizinkan anak-anaknya anaknya ke sekolah.

“Kami guru juga ada empat orang yang selalu menyeberangi sungai ini, kadang hanyut apalagi anak-anak yang masih kecil, jadi kalau anak-anak sudah tidak ke sekolah itu kami para guru sudah paham sudah mengerti, pasti mereka tidak bisa menyeberangi sungai,” kata dia.

Ia berharap pemerintah daerah dapat membangun akses jalan darat di wilayah itu agar anak-anak di desa tersebut tidak lagi kesulitan untuk mengecam pendidikan demi mencapai masa depan mereka.

“Harapan kami itu, pemerintah bisa memperhatikan kami di sini, bisa bangun jalan dan jembatan agar masyarakat dan anak-anak di sini bisa lepas dari penderitaan ini,” harap dia.

Senada dengan Werto, tokoh masyarakat setempat, Azrul Wailissa berharap, pemerintah dapat membuka keterisolasian di desa tersebut yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya itu.


Ia berharap pemerintah dan pihak berwenang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat di desa tersebut, sehingga mereka dapat menikmati pembangunan dan mengenyam pendidikan secara layak.

“Kondisi ini sudah puluhan tahun lamanya, di sini tidak ada akses jalan tidak ada jembatan, jadi kami berharap pemerintah bisa memperhatikan kami di sini,” ujar dia.

Desa Tobo sendiri berada tepat di perbatasan antara kabupaten Seram Bagian Timur dan Maluku Tengah.

Sayangnya meski berada di perbatasan kedua kabupaten itu, namun akses penghubung desa tersebut dengan desa-desa lainnya belum dibangun sampai saat ini.

Kondisi tersebut menyebabkan banyak warga desa tidak bisa menjual hasil kebun karena tidak ada akses jalan yang bisa dilewati.

“Mau lewat laut juga saat ini cuaca sangat buruk dan gelombang tinggi jadi mau bagaimana lagi,” kata dia. 

https://regional.kompas.com/read/2020/07/17/12464261/kisah-siswa-di-pulau-seram-jalan-kaki-3-kilometer-hingga-bertaruh-nyawa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke