Salin Artikel

Cerita Mantan Pemburu TN Way Kambas, Tobat Berburu dan Bakar Hutan Setelah Diajak Usir Gajah Liar (2)

Mereka adalah Sunarto dan Misngat. Keduanya bisa membakar tiga hingga lima lokasi di hutan untuk mengepung hewan buruannya.

Baik Sunarto maupun Misngat kini sudah tidak lagi berburu satwa di dalam kawasan konservasi TNWK.

Keduanya kini aktif sebagai personel pengusir gajah yang masuk pemukiman penduduk.

Sunarto menjadi penghalau gajah liar sejak sekitar 2009 lalu. Sedangkan Misngat menyusul masuk sekitar 2012.

Malu dan tidak enak

Bagi Sunarto, rasa malu dan tidak enak kepada tim patroli hutan membuatnya ‘gantung tombak’ dan tidak berburu lagi.

“Malu, Mas. Sudah kenal semua sama (tim) yang sering patroli,” kata Sunarto.

Sunarto diajak ikut menghalau gajah saat dia masih aktif berburu. Di sela patroli, anggota patroli sering menyebut nama seorang pemburu liar yang sering merepotkan tim keamanan hutan.

“Tapi mereka nggak tau kalau yang mereka bicarakan itu saya. Orang yang namanya disebut ada di depan mereka,” kata Sunarto dengan logat jawa yang medok.

Lantaran sering berinteraksi, Sunarto menjadi paham akan pentingnya menjaga kelestarian ekosistem hutan. Dia pun menjadi semakin tidak enak, begitu pulang kembali ke rumah, tombak dan anjing-anjing berburunya masih tersimpan.

“Wis, ta’ jual kabeh kirik (anjing). Kalau masih ada, mungkin saya masih berburu,” kata Sunarto.

Sedih lihat rusa mati meneteskan air mata

Selain itu, ada peristiwa lain yang membuatnya semakin memantapkan hati untuk berhenti berburu.

“Rusa, kijang itu kalau mau mati, meneteskan air mata. Dulu waktu masih berburu, saya nggak perhatikan, kasihan, Mas,” kata Sunarto.

“Selain kondisi tahun kemarin itu sangat kering, ada juga orang yang membakar. Kalau tahun ini, belum ada kasus. Mudah-mudahan, jika hujan terus tidak ada kasus kebakaran,” kata Sukatmoko.

Sukatmoko mengatakan, kasus kebakaran di TNWK termasuk unik.

Jika di daerah lain, kebakaran lahan dan hutan disebabkan pembukaan lahan untuk pertanian, di TNWK tidak terjadi seperti itu.

“Kalau membuka lahan untuk bertani, tidak ada. TNWK ini salah satu taman nasional yang tidak ada perambahan maupun masyarakat di dalam kawasan,” kata Sukatmoko.

Sukatmoko mengatakan, kebakaran di kawasan TNWK adalah karena orang cenderung sengaja membakar untuk kegiatan perburuan liar, maupun mempermudah akses perburuan.

“Tujuannya, karena kondisi sangat kering, alang-alang, jadi nggak ada satwa. Ketika sudah dibakar dan tumbuh tanaman, satwa akan berkumpul. Di situ baru mereka (pemburu) berburu, baik itu pasang jerat ataupun pakai anjing dan tombak,” kata Sukatmoko.

Celeng, kijang, menjangan, jadi buruan favorit

Jenis –jenis satwa yang menjadi ‘favorit’ para pemburu liar diantaranya babi rusa (celeng), rusa, hingga kijang atau menjangan. Sukatmoko mengatakan, para pemburu ini berburu untuk konsumsi daging.

“Sehingga, jika bicara tentang kebakaran di TNWK tidak bisa dilepaskan dari aktivitas perburuan liar,” kata Sukatmoko.

Kebakaran Sulit Diungkap
Namun, kasus pembakaran di TNWK ini termasuk sulit untuk diungkap. Sukatmoko mengakui, dibanding perburuan liar, kasus kebakaran hutan sering membuat jajarannya dan aktivis peduli kawasan konservasi harus ‘garuk-garuk kepala’.

“Kalau perburuan liar masih bisa ditangkap, dengan bukti yang jelas kelihatan. Orangnya bawa daging, ada senjata yang digunakan,” kata Sukatmoko.

Sulit menangkap pelaku pembakar hutan

Tetapi ketika terjadi pembakaran, Sukatmoko mengakui sulit untuk membuktikan maupun menangkap pelakunya.

“Orang itu bakar di sini, misalnya, terus ditinggal, terbakar lahan itu. Kita tahu setelah ada api, tetapi orangnya sudah nggak ada, buktinya juga nggak ada. Jadi memang sulit,” kata Sukatmoko.

Kesulitan lain, kata Sukatmoko, adalah tidak terbacanya pola atau waktu para pelaku membakar hutan.

“Berburu itu tidak ada waktu tertentu, terjadi hampir sepanjang tahun,” kata Sukatmoko.


Pun begitu dengan lama terjadinya kebakaran di TNWK membuat pengusutan menjadi semakin sulit.

Sukatmoko menjelaskan, kasus kebakaran di TNWK tidak terjadi seperti kebakaran di daerah Sumatera Selatan ataupun Riau, dimana lahan yang terbakar adalah lahan gambut yang kering.

“DI TNWK, sebagian besar yang terbakar adalah area alang-alang, hanya kebakaran permukaaan. Satu dua jam terbakar, sesudah alang-alang habis, ya mati apinya,” kata Sukatmoko.

Didekati, bukan ditangkapi

Hubungan yang erat antara perburuan liar dengan kasus kebakaran di TNWK membuat beberapa pihak terkait berusaha menggunakan sejumlah strategi, selain menindak secara pidana.

Sukatmoko mengungkapkan, jika mengedukasi para pemburu yang sudah ‘berumur’, hal itu bisa dikatakan sangat sulit.

“Lebih baik mengedukasi anak-anak sekarang, memberikan pemahaman akan pentingnya menjaga ekosistem hutan,” kata Sukatmoko.

Sementara itu, aktivis Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia wilayah Way Kambas, Sugiono mengatakan, pendekatan personal kepada para pemburu liar bisa mendapatkan hasil yang efektif di masa depan.

“Kalau bicara efektif hasil, pendekatan itu lebih efektif, karena berdampak pada perubahan perilaku yang signifikan,” kata Sugiono.

Namun, pendekatan ini memerlukan waktu yang panjang. Karena mengenal orang tidak hanya berlangsung satu atau dua bulan saja.

Sedangkan jika bicara efektif proses, kata Sugiono, bisa dilakukan penangkapan dengan jerat tindak pidana.

“Pertanyaannya, apakah setelah dimasukkan ke penjara, paling lama 5 bulan, mereka tidak mengulangi perbuatannya?” kata Sugiono.

(Selesai)

https://regional.kompas.com/read/2020/07/17/07460091/cerita-mantan-pemburu-tn-way-kambas-tobat-berburu-dan-bakar-hutan-setelah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke