Salin Artikel

Ruwetnya Birokrasi Keuangan Negara untuk Layanan Kesehatan di Masa Pandemi

BEBERAPA waktu lalu beredar video Presiden marah-marah, gara-gara anggaran kesehatan penanganan pandemi Covid-19 yang sebesar Rp 75 triliun itu baru terserap 1,5 persen.

Ini membuat saya, dokter yang bertugas di Puskesmas sebuah kota kecil, ingin bercerita tentang manajemen kelembagaan yang terkait dengan keuangan negara.

Dalam manajemen kelembagaan atau organisasi yang bersumber pada keuangan negara, salah satu rapor kinerja yang diukur adalah persentase serapan anggaran.

Bagaimana penyerapan anggaran dijalankan secara tepat, cepat, dan tentu dapat dipertanggungjawabkan. Semua itu akan menunjukkan bahwa kinerja birokrasi sehat, leadership bagus, para staf pun pintar-pintar.

Di lingkup kecil UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah), termasuk fasilitas kesehatan milik pemerintah yaitu Puskesmas dan RSUD, ada kewajiban membuat laporan keuangan setiap bulan.

Pelaporan ini menggunakan sistem jaring laba-laba yang mencakup 4 komponen penilaian, yaitu besaran serapan anggaran, realisasi kegiatan, target serapan anggaran, dan target kegiatan.

Dengan sistem pelaporan seperti itu, apabila ditemukan kegiatan dengan serapan anggaran yang tidak memenuhi target, evaluasi akan segera dilakukan.

Sistem seperti itu mungkin memang sudah dirancang dengan rapi dan matang, tapi pada praktiknya seringkali membuat kami kelabakan.

Sebab di lapangan, yang kerap terjadi adalah target-target kegiatan sudah tercapai dengan baik, namun justru target keuangan kedodoran di mana-mana. Pelayanan sudah berjalan dengan maksimal, tapi dana masih belum habis dibelanjakan.

Kenapa bisa begitu? Inilah penyebabnya: kemampuan melakukan pekerjaan oleh petugas di lapangan tidak diiringi dengan kemampuan membuat laporan pertanggungjawaban.

Dan di sinilah birokrasi anggaran menunjukkan tingkat kerumitannya, sehingga pada titik tertentu para tenaga kesehatan akhirnya “mengikhlaskan saja” bila pekerjaannya seolah tidak dihargai oleh negara.

Bukan cuma soal pelaporan. Selain aspek yang satu itu, kepemimpinan dan manajemen yang andal juga diuji dengan keberanian mengambil risiko, di saat situasi mendesak dan menuntut penyikapan segera.

Sementara itu, berupaya mencari aturan hukum dan perundang-undangan yang mendukung sebuah kebijakan baru untuk disinkronkan dengan kebutuhan mendesak organisasi bukan perkara mudah dan sederhana. Walhasil, tidak semua manajemen mau mengambil tindakan tersebut.

Menurut aturan, belanja kebutuhan harus dilakukan dengan mengacu kepada sistem e-katalog. Namun, di masa krisis dan mendesak, seringkali belanja-belanja keperluan medis tidak lagi bisa mengacu kepada sistem tersebut.

Iyalah, jelas. Dalam sistem e-katalog pada umumnya, bila pemesanan barang dilakukan bulan ini, barang baru akan tersedia 3-4 bulan ke depan.

Apakah itu mungkin dijalankan di masa krisis? Bisakah Anda membayangkan seorang pasien dengan kondisi membutuhkan penanganan segera, tapi alat bantu yang dia perlukan baru akan datang 4 bulan lagi?

Maka, dalam situasi semacam itu, pimpinan mau tak mau harus berani mengambil sikap. Caranya adalah dengan melakukan praktik belanja di luar sistem, yang celakanya harga-harga di masa pandemi juga naik tidak terkendali.

Dengan praktik seperti itu, kekhawatiran atas tuduhan mark-up pengadaan barang sulit sekali dihindari. Tapi apa boleh buat, kan?

Di sinilah terjadi tarik ulur antara keinginan untuk mengikuti peraturan dengan kewajiban kemanusiaan untuk segera membantu pasien yang benar-benar sangat memerlukan bantuan.

Dengan gambaran seperti ini, kritik terhadap lambatnya akses sistem e-katalog pada transaksi pengadaan alat-alat kesehatan jadi cukup terjelaskan.

Itu belum semua. Pemberian insentif untuk tenaga kesehatan lebih berbelit-belit lagi aturannya.

Jadi, dana untuk alokasi ini sebagian dikucurkan melalu pemerintah daerah. Ada memang dana insentif yang langsung diberikan oleh Kementerian Kesehatan untuk jaringan linier di bawahnya.

Pelayanan kesehatan di Wisma Atlet, contohnya. Kita bisa melihat para relawan di sana lebih lancar untuk proses ini.

Sayangnya, hal semacam itu tidak terjadi untuk fasilitas kesehatan di daerah. Aturan pemerintah daerah dan dinas kesehatan setempat, dengan segala keruwetannya, sudah menanti.

Peraturan rata-rata hanya mengacu pada jumlah PDP (pasien dalam pengawasan), ODP (orang dalam pemantauan), OTG (orang tanpa gejala), dan jumlah positif Covid-19 di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Itulah yang dijadikan dasar untuk menentukan besaran dana insentif.

Aneh, bukan? Bagi saya itu aneh, terutama untuk fasilitas kesehatan setingkat Puskesmas. Sebab, kami mengutamakan tindakan preventif. Dan sewajarnya kinerja tim penanggulangan pandemi pun bukan hanya memburu jumlah kasus melalui banyaknya angka kesakitan yang terjadi.

Adapun yang paling repot adalah surveilans, petugas yang melacak semua kelompok warga berisiko, entah karena kontak dengan Covid-19 positif atau memang punya riwayat bepergian dari daerah endemis.

Kegigihan mereka di lapangan untuk mengedukasi masyarakat dan mengevaluasi penerapan protokol kesehatan secara ketat tidak masuk di poin penerimaan insentif.

Pendek kata, insentif memang lebih diprioritaskan bila angka kasus kesakitan terkonfirmasi banyak di suatu wilayah, sembari mengabaikan pihak-pihak yang berjuang keras untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Pun sampai sekarang perjalanan insentif tersebut masih dalam proses verfikasi melulu, belum menunjukkan titik terang.

Oh ya, satu lagi. Sampai saat ini, belanja penanganan pandemi Covid-19 di fasilitas kesehatan sebagian besar masih bersumber dari dana-dana yang sudah ada, yaitu dari dana pendapatan murni UPTD dan dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan).

Adapun dana khusus Covid-19 yang digembar-gemborkan mencapai triliunan itu sama sekali belum menyentuh pelayanan kesehatan terutama di pelayanan kesehatan tingkat pertama.

Tapi itu soal lain, sebenarnya. Yang lebih mendesak dilakukan terkait problem penyerapan anggaran adalah penyederhanaan birokrasi. Itulah satu-satunya jalan. (dr. Puspa Ayu Lestari, Kepala Puskesmas Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah)

https://regional.kompas.com/read/2020/07/16/06535671/ruwetnya-birokrasi-keuangan-negara-untuk-layanan-kesehatan-di-masa-pandemi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke