Salin Artikel

Menyoal Dugaan Perkosaan dan Penjualan Bocah 14 Tahun Korban Pencabulan oleh Kepala P2TP2A

Di Lampung Timur, seorang anak korban dugaan pemerkosaan kembali mengalami dugaan kekerasan seksual, bahkan dijual, yang disebut dilakukan petugas Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur berinisial DA.

Petugas yang seharusnya memberikan perlindungan dan rehabilitasi diduga menjadi predator bagi korban selama hampir setengah tahun.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak pemerintah untuk melakukan perbaikan kualitas unit pelayanan rehabilitasi dari tingkat daerah hingga nasional.

Kini, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) tengah mencari tahu titik lemah mengapa hal ini bisa terjadi untuk kemudian segera dibenahi agar kasus ini tidak terulang di kemudian hari.

Menteri Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, meminta aparat penegak hukum untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku, bahkan hingga hukuman kebiri.

N yang tinggal bersama ayahnya karena ibunya bekerja di luar negeri dijanjikan akan tinggal di rumah aman, dan mendapatkan pendampingan psikologis. Pihak keluarga pun percaya.

"Pada Januari tahun ini, korban bukan tinggal di rumah aman malah dibawa pulang ke rumah DA dan sejak itu terjadilah pelecehan seksual sampai terakhir 28 Juni lalu," kata Chandra.

"Korban diperkosa, diancam dibunuh, dicincang-cincang jika melawan dan mengadu," katanya.

DA, kata Chandra, juga diduga menjual N ke temannya berinisial B dan pihak lainnya.

"Korban dikasih uang Rp 700 ribu oleh B. Rp 200 ribu dikasih ke DA, dan penuturan korban ada beberapa pihak lainnya, tapi korban tidak tahu siapa," katanya.

Merasa tidak kuat, korban berinsial N melaporkan dugaan pelecehan seksual ke kerabatnya dan dan pihak LBH Bandar Lampung sehingga kemudian DA dilaporkan ke polisi, kata Chandra.

"Kami minta pelaku dihukum seberat-beratnya, setimpal dengan perbuatannya, dan mendapatkan hukuman pemberatan," katanya.

"Masa bisa korban tinggal di rumah pelaku, di mana pengawasannya? Lalu masa orang model DA bisa menjadi sukarelawan atau pengabdi di P2TP2A yang seharusnya melindungi dan memberikan pelayanan kepada perempuan dan anak.

"Ini ada masalah di kelembagaan dimana struktur dan orang-orang di P2TP2A harus diisi mereka yang berkualifikasi tentang perlindungan perempuan dan anak. Pelayanannya pun harus terintegrasi jangan hanya jargon-jargon saja ramah anak dan perempuan," tambah Chandra.

Berdasarkan hasil survei KPAI pada 2019 lalu, unit layanan rehabilitasi - yang salah satunya P2TP2A - bermasalah akibat tidak adanya sistem standar yang baku sehingga menyebabkan munculnya peluang penyelewengan di daerah.

"Hasilnya sumber daya manusia direkrut tidak maksimal dan tidak profesional. Jumlah pekerja sosial, tenaga medis dan psikolog minim, ditambah lagi minimnya anggaran dan infrastruktur untuk mereka. Akibatnya terjadilah kasus seperti yang di Lampung." Kata komisioner KPAI Jasra Putra.

"Hampir 60% dari yang disurvei tidak bisa menjawab tuntas dan tidak tuntasnya layanan rehabilitasi mereka karena tidak adanya standar penilaian, kemampuan orang yang rendah," katanya.

Sebab lain kasus N terjadi, tambah Jasra, akibat lemahnya fungsi pengawasan dan evaluasi Kementerian PPPA terhadap unit P2TP2A di daerah.

"Ini berlangsung hampir setengah tahun, apakah Kementerian PPPA melakukan evaluasi P2TP2A? Kalau tidak berarti kecolongan karena tidak terpantau proses rehabilitasinya yang seharusnya meringankan penderitaan korban malah berlanjut bahkan diduga dijual.

"Ini semua pihak dari daerah hingga pusat harus bertanggung jawab, jangan cuci tangan dengan menyalahkan pihak lain.

"Ini momen tepat bagi pemerintah melakukan evaluasi dan perbaikan sistem serta meningkatkan layanan. Jangan sampai tempat rehabilitas yang harusnya aman menjadi predator itu sendiri untuk anak. Jangan sampai kasus ini terjadi di tempat lain," katanya.

"Pelaku bisa dijerat dengan mengacu Perppu Nomor 1 Tahun 2016 dengan ancaman hingga dikebiri," kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga.

Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar, menjelaskan P2TP2A dibentuk oleh kepala daerah dan dilaksanakan secara bersama dengan melibatkan unsur masyarakat.

Kini Kementerian PPPA melakukan perbaikan sistem pelayanan sehingga penyedia layanan resmi perlindungan perempuan dan anak berada di Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).

"Ketika UPTD PPA dilaksanakan maka semua layanan harus terstandar mulai dari kelembagaan, SDM, fasilitas hingga metode layanannya," kata Nahar.

"Di kasus N, harusnya yang melayani itu UPTD PPA namun belum ada petugasnya di Lampung Timur sehingga yang mengelola itu masyarakat dan P2TP2A," kata Nahar.

Kementerian PPPA juga sedang mengumpulkan informasi tentang kronologi peristiwa untuk melihat dimana titik kelemahannya, apakah karena kelalaian atau di luar kontrol P2TP2A.

"Harusnya tidak terjadi karena semua instrumen itu mencegah terjadinya hal-hal ini, makanya kami sedang mencari info apakah ada kaitan dalam rangka melaksanakan fungsi atau dalam rangka penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu," katanya.

Tahun 2016, LPSK menerima 66 permohonan perlindungan terkait kasus kekerasan seksual. Jumlah itu naik menjadi 111 permohonan pada 2017 dan melonjak ke angka 284 pada tahun 2018.

Kemudian di tahun 2019, permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual naik lagi ke angka 373. Memuncak pada 2020, ketika LPSK memberikan perlindungan kepada 501 korban.

"Ini seperti gejala gunung es. Yang masuk ke LPSK belum mencerminkan angka sesungguhnya di tingkat nasional. Kekerasan seksual muncul karena adanya relasi kekuasaan yang tidak imbang antara pelaku dan korban."

"Seperti relasi antara guru dan murid, santri dan kyai, di gereja, perbedaan kekuatan fisik. Dan pelaku adalah orang dekat dengan korban," kata ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo.

Hasto juga menyampaikan kekecewaan terkait kejadian yang menimpa N karena seharusnya korban mapun saksi yang mengalami traumatis serius berada diperlindungan LPSK.

"Karena pemahaman yang keliru terhadap rumah aman seolah-olah semua itu rumah aman. Rumah aman dalam pengertian safe house LPSK yang mengelola," tambahnya.

LPSK, kata Hasto, menurunkan tim ke Kabupaten Lampung Timur untuk melakukan investigasi terkait laporan dugaan kekerasan seksual tersebut.

Lembaga itu berjanji akan berkoordinasi dengan lembaga dan instansi yang terkait untuk membenahi pengelolaan rumah aman agar kasus semacam ini tidak terulang.

Kasus kekerasan terhadap anak beberapa waktu belakangan ini mencuat ke publik.

Selain kasus yang menimpa N, terjadi juga kasus pelecehan puluhan anak di Kabupaten Tangerang.

Kemudian terungkap juga pelecehan terhadap puluhan anak yang terjadi di sebuah gereja Katolik di Depok, Jawa Barat.

https://regional.kompas.com/read/2020/07/09/11440091/menyoal-dugaan-perkosaan-dan-penjualan-bocah-14-tahun-korban-pencabulan-oleh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke