Salin Artikel

"Untuk Kota Surabaya Tidak Semudah yang Kita Bayangkan"

Jawa Timur adalah provinsi dengan jumlah kasus kumulatif kedua tertinggi di Indonesia, setelah DKI Jakarta, sejak wilayah itu mengalami lonjakan yang tajam pada akhir bulan Mei.

Surabaya pertama mulai menerapkan PSBB pada 28 April dan kemudian diperpanjang sebanyak dua kali. PSBB fase ketiga akan berakhir pada 8 Juni mendatang.

Namun, ahli epidemiologi dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, menilai PSBB sejak awal tidak berjalan sesuai harapan dan hingga kini, kondisi Surabaya belum bisa dikategorikan aman.

"Penyebabnya kenapa masih belum aman adalah perilaku masyarakat karena pemerintah tidak melakukan kontrol yang ketat. Tidak ada sweeping di jalanan di Surabaya, hanya di checkpoint-checkpoint di batas kota.

Katanya dulu ada jam malam tapi masih biasa, setelah jam 9 yang tetap ramai. Yasudahlah, sekarang ini seperti tidak ada PSBB sudah," kata Windhu kepada BBC News Indonesia, Rabu (3/6/2020).

"Dari pemeriksaan ini, kita mendapatkan kasus konfirmasi positif sebanyak 684, sehingga jumlah totalnya menjadi 28.233. Kalau kemudian kita breakdown lebih lanjut, maka sekarang ini jumlah tertinggi kita dapatkan dari hasil pemeriksaan di Jawa Timur, sebanyak 183, meskipun dibanding dengan kemarin, ini ada penurunan," kata Yurianto dalam konferensi pers (3/6/2020).

Data pada Rabu (3/6), Jatim mencatat 5.318 total kasus dan 429 kematian.

Lebih dari setengah kasus di seluruh provinsi Jatim terpusat di Surabaya. Kota yang berpenduduk sekitar tiga juta jiwa itu mencatat 2.748 total kasus kumulatif dan 253 kematian.

"Tidak ada edukasi yang "ngena" ke masyarakat. Mungkin perlu dipikirkan edukasi dengan bahasa lokal, misalnya logat Jawa Surabayan," katanya kepada BBC News Indonesia.

Ia berharap adanya kerja sama dari seluruh pihak untuk menangani wabah virus corona.

"Akui kalau kita butuh bantuan semua pihak, dan berkolaborasi. Kita nakes (tenaga kesehatan) akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk pasien, itu pasti. Tapi tanpa dukungan semua, kami takut usaha kami jadi sia-sia...," kata Aditya.

Hal senada diucapkan salah seorang perawat Rumah Sakit di Surabaya.

Ia merasa khawatir dengan makin banyaknya jumlah petugas medis yang terpapar virus corona.

Perawat yang tidak ingin disebutkan namanya tersebut, meminta masyarakat Surabaya agar lebih sadar dengan protokol kesehatan.

"Surabaya ini sudah zona hitam. Kalau kayak gini terus kapan kita bisa new normal kembali. Saya nggak ngerti apa orang-orang itu tidak tahu atau kurang mengerti bahayanya Covid-19, soalnya bahaya banget ini," tegasnya.

Sementara Surabaya beberapa hari terakhir, ujar Windhu, masih berada diantara 1,1 hingga 1,2.

Ia menambahkan bahwa tingkat risiko di kota itu memang jauh lebih tinggi dibanding dengan rata-rata pada tingkat provinsi.

Tingkat resiko menghitung rata-rata proporsi kasus dalam suatu populasi.

Windhu mengatakan tingkat risiko Jawa Timur adalah 12 kasus setiap 100.000 orang, sementara Surabaya mengalami sekitar 92 kasus setiap 100.000 orang.

Ia menekankan pentingnya tes masif terus berjalan di kota itu, beserta upaya mengisolasi kasus-kasus demi menekan penyebaran virus corona.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mendirikan Rumah Sakit Lapangan Covid-19 di Jalan Indrapura, Surabaya yang mulai beroperasi sejak awal bulan.

Hal itu dilakukan dalam upaya mengurangi beban rumah sakit rujukan yang kewalahan menampung pasien yang terinfeksi virus corona di kota itu dan sekitarnya.

Sementara, suasana Surabaya pada Rabu (3/6) seperti yang dilaporkan wartawan BBC News Indonesia terlihat padat untuk kondisi arus lintas di sejumlah jalan utama.

Di sepanjang jalan yang dilalui, kegiatan ekonomi warga masih terlihat seperti biasa. Toko-toko ada yang terlihat tutup dan ada juga yang masih melakukan aktivitas ekonomi.

Kategori zona dalam peta penyebaran kasus terbagi mulai dari warna hijau yang menandakan zona aman.

Seiring meningkatnya jumlah kasus, warna zona menjadi kuning dan kemudian merah untuk menandadkan zona dengan jumlah kasus yang tinggi.

Sebelumnya, Gubernur Khofifah Indar Parawansa menampik jika peta Surabaya berwarna hitam atau telah menjadi zona hitam. Ia mejelaskan peta tersebut berwarna merah tua karena tercatat ada lebih dari 2.000 kasus.

"Kemudian ada yang tanya, itu (di peta) kok ada yang hitam. Itu bukan hitam tapi merah tua. Seperti Sidoarjo yang angka kasusnya 500 sekian merah sekali, kalau angkanya dua ribu sekian (seperti di Surabaya) merah tua," Khofifah dikutip mengucapkan pada awal pekan.

Sementara, Ketua Komisi C DPRD Surabaya yang membidangi pembangunan, Baktiono, berpendapat bahwa padatnya permukiman di sekitar kota dan juga fasilitas kebersihan yang digunakan oleh beberapa keluarga secara bersamaan, juga menciptakan kondisi menyulitkan untuk menekan penyebaran Covid-19.

"Jadi, satu MCK (mandi, cuci, kakus) digunakan oleh beberapa kepala keluarga. Nah di situ kalau ada warga yang memang terinfeksi Covid-19 itu mudah untuk tertular.

Jadi memang untuk di Kota Surabaya ini tidak semudah yang kita bayangkan," ujar Baktiono via telpon, Rabu (3/6/2020).

Anggota fraksi PDI-P itu menjelaskan bahwa penanganan setempat kini berfokus pada pemberdayaan pada tingkat komunitas demi meningkatkan efektivitas penanganan.

"Di setiap RW sekarang ini kan sudah dibentuk 'Kampung Wani (Berani)' untuk melawan Covid ini. Mereka sudah yang mengisolasi kampungnya sendiri-sendiri.

Jadi kalau ada warga yang masuk kampung, itu ada desinfektan seperti sprayer, ada juga alat untuk cuci tangan," tutur Baktiono.

Namun, ia mengatakan bahwa pergerakan tiap warga juga tidak bisa dipastikan sehingga masih rentan terjadi penularan.

https://regional.kompas.com/read/2020/06/05/05300011/-untuk-kota-surabaya-tidak-semudah-yang-kita-bayangkan-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke