Salin Artikel

Ngasirah, Sosok di Balik Perlawanan Kartini terhadap Ketidakadilan

REMBANG, KOMPAS.com - Raden Ajeng Kartini merupakan salah satu pahlawan wanita yang berani menggerakkan perubahan dan memperjuangkan emansipasi wanita.

Sejatinya, kiprah Kartini tak bisa lepas dari sosok Ibu kandungnya, Ngasirah.

Pengamat Sejarah Edy Tegoeh Joelijanto (50) yang pernah mengenyam pendidikan di UKDW Yogyakarta dan Universitas Putra Bangsa Surabaya, mengatakan, ibundanya itu bukanlah keturunan darah biru.

Ngasirah merupakan anak seorang kiai di Telukawur, Kabupaten Jepara, Jateng.

Kasta Ngasirah merosot setelah Sosrongingrat diangkat menjadi Bupati Jepara yang berpoligami dengan keturunan bangsawan Madura, Raden Ajeng Moerjam.

Justru Moerjam lah yang otomatis menjadi Raden Ayu Bupati Jepara, bukan Ngasirah yang telah melahirkan delapan anak.

Ngasirah pun berstatus selir dan harus memanggil anak-anaknya sendiri dengan sebutan "ndoro" atau majikan.

Dan putra-putri Ngasirah diharuskan memanggil Ngasirah dengan sebutan "Yu" atau panggilan untuk perempuan abdi dalem.

Sebagai selir, Ngasirah pun tidak berhak tinggal di rumah utama Kabupaten melainkan tinggal di bagian belakang Pendapa.

Meski demikian, Kartini lebih sering memilih tinggal dengan Ngasirah dan menolak memanggilnya "Yu".

Kartini sudi menikah jika Ibu kandungnya itu dibebaskan masuk Pendapa.

"Memori-memori kelam itulah yang mendorong Kartini menolak segala ketidakadilan saat itu terutama yang bersinggungan dengan perempuan Jawa. Bahkan, dari berbagai literatur menyebut Kartini tidak malu mengakui jika ibunya itu adalah keturunan rakyat biasa," kata Tegoeh saat dihubungi Kompas.com melalui ponsel, Selasa (28/4/2020).

Bagi Kartini, kesetaraan gender mutlak terjadi di dalam kehidupan.

Poligami bagi Kartini merupakan hal yang tak pantas karena dinilainya telah merendahkan wanita sekalipun itu sah bagi pandangan Islam.

Terbukti dari tulisan-tulisan di surat-suratnya yang begitu marah menentang praktik poligami.

"Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah dan kemudian, bila bosan pada anak-anaknya, ia dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam ?" tulis Kartini kepada Stella Zeehandelaar.

"Dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang bersama perempuan lain sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai istrinya yang sah ?" sambung Kartini.

Karena tak kuasa melawan, Kartini akhirnya menikah dengan sosok laki-laki yang tidak dia idamkan.

Kartini menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat pada November 1903.

Suaminya itu sudah mempunyai tiga istri dan tujuh anak.

Bahkan, putri tertua suaminya itu hanya berselisih delapan tahun dengan Kartini.

Dari beberapa referensi, setelah Kartini diboyong ke Rembang, pertentangan akan kedudukan perempuan seakan mulai meredup.

Kartini pun lebih lantang bersuara tentang kemiskinan dan politik candu pemerintah.

Kartini mendukung langkah suaminya memberantas candu yang bertentangan dengan anggota Dewan Hindia.

"Tengoklah, jadi bukannya rakyat yang tak mau berhenti mengisap candu, tapi pemerintah, Pahit, tapi benar, kutuk terhadap orang Jawa adalah suatu kekuatan hidup bagi pemerintah," tulis Kartini kepada Ny. Abendanon, 10 Agustus 1904.

Kartini tutup usia pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan putra pertama sekaligus anak terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat.

Wafat diusia 25 tahun, Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah.

https://regional.kompas.com/read/2020/04/29/23020771/ngasirah-sosok-di-balik-perlawanan-kartini-terhadap-ketidakadilan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke