Salin Artikel

Cerita Penumpang KM Lambelu: Kami Punya Alasan Kenapa Harus Terjun ke Laut

Sementara, Gorontalo hingga kini masih menyatakan "bebas Covid-19".

Mengapa dua provinsi ini "minim" kasus virus corona?

Sebanyak 133 penumpang kapal motor (KM) Lambelu menjalani karantina di Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sementara, tiga kru kapal yang sebelumnya sempat diduga positif virus corona, kini sedang menjalani tes swab di Makassar, Sulawesi Selatan.

Kapal dengan jumlah penumpang 238 orang ini sempat ditolak untuk bersandar di Pelabuhan Lorens Say, Maumere, NTT, karena ada kru kapal diduga terinfeksi Covid-19.

Enam orang penumpang KM Lambelu nekat terjun ke laut di perairan Maumere setelah kapal penumpang milik PT Pelni ini dilarang bersandar di pelabuhan oleh Bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo, sejak Senin (6/4/2020) malam.

Larangan bersandar dilakukan setelah tim medis RSUD TC Hillers Maumere, melakukan pemeriksaan terhadap seluruh penumpang.

Hasilnya, tiga orang dalam kapal itu dinyatakan positif Covid-19.

Bupati meminta agar seluruh penumpang dan kru kapal dikarantina sementara di atas kapal. Para penumpang yang kesal, memprotes keputusan bupati dengan cara nekat terjun ke laut.

Salah satu penumpang, Nikmat Kurnia Hasan, yang berasal dari Alok, Sikka, menuturkan pengalamannya terombang-ambing di laut selama hampir 24 jam.

"Kita ini terombang-ambing di laut selama 20 jam lebih di perairan, jadi kita ini resah. Kan harusnya kapal sandar [Senin] malam kenapa bisa baru hari Selasa turun, jadi penumpang yang ada di kapal mulai gelisah," papar Nikmat, ketika ditemui di pusat karantina, Rabu (9/4/2020).

"Karena Makassar sekarang dalam keadaan zona merah," kata dia,

Ia menampik kabar bahwa penumpang yang terjun ke laut adalah mereka yang terindikasi positif corona, akan tetapi itu merupakan wujud kekecawaan para penumpang.

"Kita punya alasan tersendiri, mereka punya alasan tersendiri kenapa harus sampai lompat," tuturnya.

"Ini jalan satu-satunya supaya kami dapat keputusan bahwa kami bisa bersandar," imbuhnya kemudian.

Akhirnya, pada Selasa (7/4/2020) malam, KM Lambelu diperbolehkan bersandar di pelabuhan, sebanyak 238 penumpang diperbolehkan turun dari kapal dan langsung menjalani karantina.

Merujuk data Dinas Kesehatan, terdapat 93 laki-laki dan 40 perempuan penumpang KM Lambelu yang dikarantina di Sikka.

Sementara 15 penumpang asal Kabupaten Flores Timur dan 22 penumpang asal Kabupaten Ende, dijemput pemerintah daerah setempat untuk kemudian dilakukan karantina lanjutan di daerah masing-masing.

"Tempat karantina dengan satu ruang tiga orang, itu bagus, hanya kadang masih berdempet-dempet sedikit," ujar Rahmat, seraya menambahkan kondisi ini menyulitkan mereka melakukan jaga jarak satu sama lain.

Ketersediaan air juga menjadi kendala di pusat karantina itu, kata Rahmat.

"Masalah air untuk kamar mandi, kadang mereka harus angkat air tengah malam, ada yang perut sakit tetap harus angkat air," papar Rahmat kepada BBC Indonesia.

Hingga kini, baru 17 penumpang kapal yang menjalani pemeriksaan tes cepat massal (rapid test) karena minimnya alat tes di wilayah itu.

Gabriel Gleko, warga Bola, Sikka, yang berlayar menggunakan KM Lambelu dari Bau Bau, Sulawesi Tenggara, berharap Dinas Kesehatan segera menangani mereka.

"Setelah kita masuk di sini, sampai sekarang, orang kesehatan tidak pernah mengambil sikap, cuma pagi datang, senam. Sorenya datang, senam. Apakah itu sudah merupakan obat yang mujarab untuk kesehatan orang yang sementara ini dikarantina?," ujarnya dengan nada tinggi.

"Setelah dikarantina, tentu kita akan memeriksa, merawat, mengobati. Jadi selama 14 hari di sini itu lebih aman, keluarga harap sabar, untuk sementara waktu belum bisa mengunjungi anggota keluarga yang merupakan penumpang KM Lambelu," ujar Roberto.

Dia mengatakan pihaknya akan memprioritaskan penumpang KM Lambelu yang dikarantina untuk diperiksa menggunakan 1.000 alat rapid test yang baru saja dikirim oleh pemerintah pusat.

Juru Bicara Tim Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 NTT, Marius Ardu Jelamu, menjelaskan bahwa dari seluruh 95 kru kapal, sudah diambil sampel terhadap 25 orang.

"Dari rapid test, dua ABK dan satu penjaga kantin di dalam kapal itu, positif virus corona, tapi harus dibuktikan lagi dengan swab test, dengan metode PCR yang lebih akurat," jelas Marius kepada BBC News Indonesia.

Dua ABK tersebut, kata Marius, sudah dipulangkan ke Makassar untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Sementara, 17 penumpang yang sudah dilakukan tes dengan metode rapid test, dinyatakan negatif Covid-19.

"Kita akan mengontrol mereka selama 14 hari ini, sesuai dengan masa inkubasi dari virus ini dan untuk sementara kita isolasi penumpang itu. Kita mau lihat perkembangannya dalam 14 hari ini sambil dipantau terus kesehatannya tiap hari," cetus Marius.

Meski kasus Covid-19 terbilang minim di NTT, provinsi itu kini tengah menghadapi wabah demam berdarah dengue (DBD).

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga 4 April 2020, tercatat 4.493 kasus DBD di NTT, kasus DBD terbanyak kedua setelah Jawa Barat.

Angka kematian tertinggi akibat DBD terjadi di NTT, dengan jumlah korban jiwa mencapai 48 jiwa, kemudian di Jawa Barat 30 jiwa, disusul Jawa Timur 24 jiwa, Jawa Tengah dan Lampung masing-masing 16 jiwa.

Marius Ardu Jelamu, juru bicara Pemprov NTT, menyadari DBD selalu mewabah di NTT setiap tahunnya. Dia mewaspadai adanya kemungkinan bahwa pasien DBD bisa jadi terjangkit Covid-19.

"Kita usahakan supaya betul-betul penyakit penyertaannya ini benar-benar dijaga, jangan sampai terkena Covid-19. Sama jugalah yang DBD, hipertensi, orang tua usia lanjut, kanker, itu kan penyakit sertaan yang sangat berbahaya ketika terjangkit virus ini," kata dia.

"Mudah sekali virus ini masuk ke tubuh ketika punya sakit bawaan, maka kita berusaha supaya memisahkan pasien dalam pengawasan ini dengan para pasien yang lain, jadi tidak gabung," kata dia.

Saat ini ada 19 pasien dalam pengawasan (PDP) dan 792 orang dalam pengawasan (ODP) di NTT. Adapun sebanyak 43 sampel telah dikirim untuk dilakukan pengujian di Surabaya.

"Dari sampel yang kita kirim, 18 sampel negatif yang 25 belum ada hasil," kata dia.

Ketua Departemen Epidemiologi Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono berpendapat, minimnya laporan kasus Covid-19 di dua provinsi itu kemungkinan karena dua hal, yakni sedikitnya arus orang ke dan dari episentrum wabah dan keterbatasan fasilitas pemeriksaan virus corona.

"Kemungkinan yang pertama yang berkunjung ke Jakarta berkurang, mungkin ke Surabaya atau Makassar. Yang ke Jakarta jarang sekali dari NTT dan Gorontalo. Kedua, fasilitas kesehatannya tidak mendukung untuk melakukan deteksi semua orang," ujar Miko kepada BBC News Indonesia, Rabu (9/4/2020).

Juru Bicara Tim Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 NTT, Marius Ardu Jelamu, mengakui bahwa saat ini NTT belum memiliki laboratorium untuk pemeriksaan sampel tes virus corona. Sehingga, pemeriksaan bergantung pada laboratorium di Jakarta dan Surabaya.

"Dibutuhkan waktu dua minggu, tiga minggu, lama. Mungkin karena di Surabaya dan Jakarta itu antre, karena pasti banyak juga sampel darah dari provinsi lain. Kita bisa pahami itu, memang idealnya di sini ada lab sendiri supaya memudahkan pemeriksaan," kata dia.

Dia mengatakan, pihaknya telah menyiapkan laboratorium di Kupang untuk memeriksa sampel dari suspect Covid-19.

Kendala yang sama diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Gorontalo, Misranda Nalole, yang mengakui fasilitas laboratorim untuk pemeriksaan virus corona di provinsi itu tidak memadai, sehingga pengujian tes harus dilakukan di Litbangkes Kementerian Kesehatan dan Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Makassar, Sulawesi Selatan.

"Karena jauhnya tempat pemeriksaan PCR di BBLK Makassar, dalam hal ini penerbangan yang bisa kita tempati untuk pengiriman hanya ada dua, Garuda dan Citilink dan ini jadwalnya tidak setiap hari, sehingga itu yang mengakibatkan agak lambat ketika harus menyampaikan sampel spesimen ini ke BBLK," jelas Misranda kepada BBC Indonesia.

Dia mengatakan sudah ada 49 spesimen dikirim untuk dites, baik ke Litbangkes Kementerian Kesehatan maupun ke BBLK Makassar.

Sebanyak 45 spesimen dinyatakan negatif, sementara empat sampel masih diproses oleh Litbangkes.

"Tapi untuk rapid test, kita ada kiriman 2.400 yang kemudian kita sampaikan ke rumah sakit di kabupaten/kota untuk melakukan tes. Artinya selama ini laporan ke kami belum ada yang positif," ujarnya kemudian.

Hingga kini, ada 38 pasien dalam pengawasan (PDP) dan 2.717 orang dalam pengawasan (ODP) di Gorontalo.

Dari seluruh ODP, 1.031 orang di antaranya masih dalam pemantauan, sementara 1.686 sudah selesai dilakukan pemantauan.

Kendati belum ada laporan kasus virus corona di Gorontalo, Misranda memastikan kesiapan rumah sakit jika Covid-19 mewabah.

Dinas Kesehatan Gorontalo telah menyiapkan ruang isolasi enam rumah sakit untuk menangani pasien Covid-19, antara lain RS Aloe Saboe, RS Ainun dan RS Dr.M.M Dunda.

"Semua masih berproses dalam persiapan, karena untuk pemenuhan rumah sakit ini isolasinya harus benar-benar siap." kata dia.

"Insha Allah ini tidak terjadi di Gorontalo, ketika akan terjadi lonjakan [kasus Covid-19], kita siapkan mes haji sebagai rumah sakit darurat," imbuhnya.

Secara keseluruhan, kapasitas fasilitas kesehatan tersebut bisa menampung sekitar 600 orang.

Balai Diklat Gorontalo kini dijadikan pusat karantina bagi delapan TKI yang baru kembali ke Gorontalo, tujuh di antaranya dari Jepang, satu dari Amerika Serikat.

Salah satunya, Ruri Irawan, warga Wumialo, Kota Gorontalo.

"Melihat jumlah ODP dan PDP yang begitu besar, tidak menutup kemungkinan bisa terjadi munculnya satu orang positif itu bisa menyebar dengan cepat di Gorontalo. Ngeri kalau disuruh membayangkan," keluhnya.

Kekhawatiran akan tertular virus corona, membuatnya harus melakukan penyesuaian dalam menjalankan aktivitas, misalnya membatasi ruang geraknya, termasuk dalam menjalankan ibadah.

"Saya membatasi diri, kalau saya nggak perlu lebih baik di rumah daripada keluar. Kalau beribadah kami mengikuti anjuran majelis ulama dan pemerintah dengan melakukan salat jamaah di rumah," kata dia.

"Untuk saat ini kami tidak ke masjid walaupun hati ini ingin sekali ke masjid," imbuhnya kemudian.

Dia pun membiasakan keluarganya untuk cuci tangan tiap kali usai beraktivitas.

Kekhawatiran yang sama diungkapkan oleh Lutfi, warga Talaga, Kabupaten Gorontalo.

"Takut kalau terjangkit, apalagi kalau sudah terjangkit bisa menjangkiti orang lain," ujar Lutfi.

Kendati begitu, dia mengakui bahwa hingga kini dia masih beraktivitas seperti biasanya, namun mulai mengurangi interaksi sosial dan lebih banyak berada di dalam rumah supaya tak terpapar virus corona.

"Jadi kalau keluar rumah biasanya pakai lengan panjang, jaket, pakai masker. Pulang ke rumah cuci tangan dulu sebelum menyentuh apa pun," tambahnya.

Untuk mencegah penyebaran Covid-19, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie mengatakan pihaknya masih mengkaji opsi karantina wilayah, karantina perbatasan atau pembatasan sosial berskala besar.

Akan tetapi, pembatasan akses dari dan ke dua provinsi tetangga, yakni Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah sudah dilakukan.

"Pembatasan di perbatasan tetap ada dan kita berlakukan dari jam 18.00 hingga 06.00, tetapi untuk kendaraan logistik itu sama sekali tidak ditahan," jelasnya.

Dia menambahkan, Pemprov Gorontalo telah melakukan 15 langkah untuk mengantisipasi virus corona.

https://regional.kompas.com/read/2020/04/11/06070091/cerita-penumpang-km-lambelu--kami-punya-alasan-kenapa-harus-terjun-ke-laut

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke