Salin Artikel

Perubahan Iklim, Pesisir Indonesia Terancam Tenggelam: Mereka yang Bertaruh Nyawa (2)

Kebanyakan pesisir berada di dataran rendah

Kondisi geografis pesisir kepulauan Indonesia yang merupakan dataran rendah, ditambah dengan dampak perubahan iklim serta penurunan muka tanah, dianggap sebagai faktor banjir laut tahunan yang mengancam keberlangsungan kehidupan warga yang tinggal di pesisir.

Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dodo Gunawan mengungkapkan kondisi geografis pesisir Indonesia ini yang membuat area tersebut rentan terhadap perubahan iklim.

"Rata-rata low land, daerah pesisir dan pulau-pulau pesisir [merupakan] daerah dataran rendah. Kota-kota besar di Jawa misalnya, kebanyakan di daerah pesisir, daerah pantai, sehingga rentan dengan ancaman kenaikan muka laut itu," jelas Dodo.

Karena kondisi geografis ini, peneliti Geodesi dari ITB Heri Andreas memperkirakan pesisir timur Sumatra, mulai dari Aceh hingga Lampung, berpotensi "tenggelam".

Demikian halnya pesisir Kalimantan bagian barat ke timur, mulai dari Singkawang, Mempawah dan Pontianak di Kalimantan Barat, Banjarmasin di Kalimantan Selatan, hingga Samarinda di Kalimantan Timur.

"Papua di bagian selatan, daerah rawa-rawa sampai Merauke. Itu kan tanahnya gambut, pasti akan turun juga meskipun tidak seekstrem di Pantura saat ini," kata Heri.

Adapun pesisir utara Jawa, mulai dari Tangerang, Bekasi, Muara Gembong, Subang, Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, dan Surabaya, yang juga merupakan dataran rendah lebih dulu menghadapi ancaman tenggelam selama beberapa tahun terakhir, dengan banjir laut tahunan yang datang tiap musim penghujan.

"Kalau kita bicara yang paling parah itu pantura [pantai utara Jawa], kemudian Sumatra bagian timur baru ke Kalimantan dan Papua," ujarnya.

"Karena kalau udah ada unsur manusia di situ [pantura], mengeksploitasi air tanah, di situ land subsidence-nya akan masif."

Pekalongan di pesisir utara Jawa Tengah, mengalami penurunan tanah sekitar 1-20 cm setiap tahunnya.

Pada 2018, 31% wilayah daratan Pekalongan telah tergenangi air laut secara permanen.

Salah satu warganya, Sisriati, terpaksa meninggikan lantai rumahnya hingga 1 meter.

"Lantai di-urug biar nggak ada air. Kalau nggak di-urug kan ada air masuk, nggak bisa melakukan aktivitas sehari-hari, misal lihat TV, aktivitas anak-anak belajar kan repot," akunya.

Dia merasa bertaruh nyawa tiap kali banjir rob datang menerjang.

"Khawatir lah, ada dulu sekali acap dalam dua tahun. Ibu balik ke rumah, acap rumah kami, basuh anak aku," tuturnya.

Dia menuturkan, banjir rob kala itu sempat meluluhlantakkan rumah warga, membuat mereka terpaksa mengungsi.

Suwi menjelaskan relokasi pernah diusulkan pemerintah daerah, namun kebanyakan warga memutuskan kembali ke rumah, meski kondisinya sudah hancur.

Pun, Suwi memilih bertahan di rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari laut, meski ancaman banjir rob membayangi. Meski dia akui, setiap hari dirinya merasa was-was.

"Takut. Kami sudah merasa air besar. Tak usahlah kami dapat dua kali."ndoni

Selain Kubu Raya, Mempawah di Kalimantan Barat juga menjadi langganan banjir rob, bahkan abrasi terus-menerus mengubah garis pantai.

Salah satu warga yang tinggal di Kampung Benteng yang terletak di pesisir Mempawah, Syarif mengatakan sejak pertengahan 1990an, banjir rob mulai terjadi di kampungnya.

"Sejak itulah kita jage-jage, asal bulan 12 kita cukup jage lah itu. Nanti kalau untuk banjirnya air darat di daerah ini belum separah itu lah."

"Kalau di rumah kite, soalnya itu kena hambat jalan umum, ndak seberape sih. Cuman bagian rawannya daerah sini, kalau sedang nelayan itu nak pulang ndak bisa, apalagi kita nak ke laut, ndak bisa itu," tuturnya dengan logat Melayu yang masih kental.

Biasanya, lanjut Syarif, ketinggan air banjir rob mencapai paha orang dewasa, sekitar 20-40 cm. Meski sudah menjadi langganan banjir rob, namun ancaman banjir air laut lebih menakutkan bagi Syarif.

"Soalnya yang pernah terjadi air laut disertai angin bisa menghancurkan rumah. Tapi kalau banjir air hujan dari hulu, itu paling-paling hanya tenggelam, ndak menghancurkan. Itu yang kita alami di sini."

Meski ancaman banjir datang dari laut dan dari darat, namun Syarif memutuskan untuk bertahan di rumahnya. Sebab, tempat itu adalah tempatnya mencari nafkah.

"Itu masalah pekerjaan, jadi pekerjaan kita hanya nelayan, nak pindah dari sini jauh dari pekerjaan rasanya ndak bisa kita ninggalkan."

Dengan kondisi ancaman banjir rob yang berpotensi menyebabkan rumah tinggalnya tengglam, dia mengaku tidak mempersiapkan antisipasi.

Pria yang pernah menjabat sebagai walikota Pontianak selama dua periode itu mengatakan topografi Pontianak hanya 0,2 - 1,2 cm di atas permukaan air laut. Sedangkan pasang laut lebih dari 1 m, kadang 1,5 m.

Sehingga, pada bulan Desember di Pontianak ada beberapa titik yang tergenang, termasuk Sungai Kakap dan beberapa area yang berada di cekungan.

"Kita selama ini tidak pernah berbicara mengenai topografi secara utuh sebagai panduan untuk perencanaan pembangunan, sehingga kadang ada daerah cekungan yang dijadikan permukiman. Harusnya kan tidak."

"Daerah cekungan inilah paling padat penduduknya, pasti tergenang," jelas Sutarmidji.

Kubu Raya berada di daerah cekungan sehingga menyebabkan ketika hujan deras, tanah gambut tergerus, membuat pemukaan tanahnya semakin turun.

"Kalau Pontianak tergenang, daerah lain sudah pasti kena, sebagian besar tergenang di pesisir itu dan intensitasnya semakin tahun makin tinggi," kata dia.

"Apalagi di sini kawasan pergerakan tanah semakin banyak. Tanah kita tuh labil sehingga pergerakan [semakin banyak]," kata dia.

Salah satunya, penambangan bauksit yang merajalela di Kalimantan Barat. Padahal, menurut Sutarmidji, bauksit merupakan penyeimbang tanah yang labil.

"Begitu ditambang, permukaan tanah turun," tegasnya.

Sementara itu, alih fungsi lahan yang terjadi di Kalimantan Barat, mengakibatkan ketika cuaca ekstrem terjadi, air dari hulu mengalir deras dan berdampak pada warga yang tiinggal di hilir.

"Tanaman lokal sudah tidak ada, diganti tanaman pendatang seperti sawit."

"Hilir yang paling menderita. Masyarakat menengah ke bawah pasti menderita. Ini yang kita tidak mau sehingga kita harus antisipasi dari awal," kata dia.

"Awalnya mereka tidak percaya, akhirnya seiring waktu percaya, kemudian mengambil langkah-langkah, tapi kelihatannya masih sedikit lambat," akunya.

Masyarakat yang tinggal di pesisir pun, menurut Heri, sebagian besar masih belum memahami ancaman banjir permanen ini.

"Masih banyak yang tidak aware, mungkin fenomena alam. Dan di Indonesia unik, bahwa ujung-ujungnya ke pasrah, [karena menganggap] semuanya dari Tuhan," katanya.

Akan tetapi, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ruandha Agung Sugardiman mengungkapkan pihaknya sudah memetakan daerah-daerah mana yang terdampak dan beberapa kali mengingatkan pemerintah daerah dan warga di daerah bahwa "perubahan iklim sudah menjadi kenyataan".

"Jadi betul di pantai utara Jawa dan pantai timur Sumatra itu selain kenaikan muka air laut juga ada subsidence dari tanah di sana karena gambutnya dikeringkan, sehingga ada double effect, dari air laut, juga adanya subsidence tanah di situ."

Adapun hasil survei yang dilakukan sebuah komunitas global YouGov tahun lalu, menyebut 18% orang Indonesia meyakini bahwa perilaku manusia bukanlah penyebab perubahan iklim saat ini.

Indonesia sendiri menempati peringkat pertama sebagai negara yang membantah terjadinya perubahan iklim akibat ulah manusia dari 23 negara yang dilakukan survei.

Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji mengungkapkan yang menjadi pekerjaan rumah kini adalah membuat masyarakat yang tinggal di pesisir, yang merupakan golongan ekonomi lemah dan belum sepenuhnya sadar akan ancaman perubahan iklim, untuk mulai mengubah perilaku.

"Itu sudah kita lakukan, cuman kadang masyarakat ini kan kalau belum ada korban dia belum kapok. Itu ada korban baru ribut.

"Harus ada penanganan mitigasi bencana yang komprehensif, semua harus dalam kepentingan jangka panjang anak cucu kita," kata dia.

Relokasi warga yang tinggal di kawasan rawan, disebut Sutarmidji sebagai salah satu solusi.

Sementara, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengatakan akan menangani masalah tersebut "kasus per kasus", dengan mengedepankan pendekatan pembangunan infrastruktur dan sosial.

"Case by case, tidak ada yang tunggal."

"Jadi upamanya, di Pekalongan di beberapa titik dibuat tanggul. Kemudian, Semarang - Demak dibuat tol, tolnya saya minta dibuat tanggul. Tapi sementara di beberapa lain yang masih ada potensi untuk dihijaukan, dihijaukan," jelasnya.

Tulisan ini merupakan bagian dari laporan seri tentang Pesisir Indonesia yang terancam tenggelam di situs BBC News Indonesia.

https://regional.kompas.com/read/2020/03/26/13030021/perubahan-iklim-pesisir-indonesia-terancam-tenggelam--mereka-yang-bertaruh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke