Salin Artikel

Kisah Mbah Mangun Hidup Menyendiri di Dekat Kandang Sapi dan Tidur di Samping Peti Mati

KULON PROGO, KOMPAS.com – Lengang menyelimuti Pedukuhan Mendiro, Kalurahan (desa) Gulurejo, Kapanewon (kecamatan) Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Suara lenguh lembu, motor melintas, atau kendaraan besar di kejauhan sesekali memecah lengang ini.

Situasi lengang dan sepi seperti ini keseharian bagi seorang kakek renta yang disapa warga sebagai Mbah Mangun (87 tahun).

Ia tinggal di batas Pedukuhan Mendiro dan Pulo.

Tak ada kawan, tak ada yang mengajak bicara, kecuali sepi, sendiri.  

Mangun hidup dalam pondok mungil sekitar 3x3 meter. Pondok itu berada di kebun belakang, antara rumah batu dan kandang sapi.

Kawasan tempat tinggalnya merupakan pekarangan milik Waryadi (65), adik dari ayah yang sama.

Pondok membelakangi jalan kampung dari semen dan bagian mukanya menghadap sumur dan kamar mandi. 

Pondok mungil itu sejatinya kokoh meski dindingnya cuma dari terpal yang sebentar lagi bolong.

Terpal terpaku pada tiang pondok dari beton. Atap pondok genting tanah liat, lantainya masih tanah.

Tak ada pintu, hanya gedhek dan tumpukan kayu bakar sebagai penghalang bagian muka pondok mungilnya yang menghadap sumur.

“Saya tinggal di sini sudah berapa tahun ya? Saya tidak punya rumah. Soalnya dulu mblayang-mbalang wae (Jawa: jalan-jalan ke mana-mana),” kata Mbah Mangun, Rabu (11/3/2020).

Mangun hidup tanpa punya apa-apa dalam pondok ini. Tanpa barang apalagi harta. Hanya terlihat radio usang di sudut ruang pondok, piring bekas pakai yang belum dicuci, ember lusuh tempat ayam mengerami telur, tumpukan beras dalam karung, dan sembako yang masih dalam plastik. 

Sebagian besar ruangan pondok untuk dipan dengan kasur tipis yang kapuknya sudah mulai terburai. 

Tapi, ada yang mengejutkan dan membuat bergidik dalam ruang pondok itu.

Mbah Mangun menempatkan peti mati dengan ukuran sepanjang tubuhnya. Peti mati itu kosong, belum pernah dipakai, di letakkan di samping kasur tempat tidur.

Ada tiga potong kain mori  yang sudah lembab di sana. 

“Aku wis siap-siap,” kata Mangun.

Mangun menceritakan, semua disiapkan untuk kematiannya kelak.

Tak hanya peti mati, Mbah Mangun mengaku sudah membeli liang lahat dan batu nisan atau kijing yang semuanya disiapkan untuknya nanti kalau mati.

“Yen wis dipundut, gari nguncalke. Kulo wis siap-siap jogangan (kalau sudah dipanggil Tuhan, tinggal masukkan saja. Saya sudah menyiapkan liangnya juga). Itu lho ruangan untuk ngubur,” kata Mbah Mangun.

Kesendirian

Pondok mungil itu tanpa hiasan. Satu-satunya hiasan berupa foto keluarga dan kerabat terpampang pada dinding belakang rumah Waryadi.

Di bawah foto itu, Mangun selalu melakoni aktivitas hari-hari, seperti duduk menunggui belasan ayamnya makan nasi liwet campur bekatul.

Atau, setidaknya berteduh dari sinar matahari yang menyengat.

Mbah Mangun selalu terdengar bangga menceritakan keluarganya ini.  Anaknya dua, cucunya lima, dan cicitnya 3. 

“Anakku dua perempuan semua. Puthuku (cucu saya) kerja di dealer. Puthuku sudah bisa beli mobil sendiri. Anakku dulu sekolah musik,” kata Mangun.

Walau memiliki keluarga, Mangun mengaku ingin menjalani sisa hidupnya tetap seperti ini. Ia mengaku tidak ingin  membuat repot dan susah keluarga di hari tuanya.

Mangun suka berkisah bagaimana cucunya meminta ikut dirinya. Ia bergeming.

“Dikon bali puthuku. Wah yo ora. Ning kene wae. Wis gawe jogangan (disuruh pulang cucu. Tidak mau. Di sini saja, saya sudah bikin liang),” katanya .

Tidak hanya cucunya. Tak sedikit warga sekitar menawarkan tempat tinggal. “Mbok turu nggonku (tidur di tempatku saja),” cerita Mangun.

Ia lagi-lagi memilih keadaan ini. Ia mengaku sudah terbiasa dengan cuaca maupun suara di sekitar kawasan ini. Juga keramahan warga. Ia terbiasa dengan dinginnya malam. Ia terbiasa dengan sunyi kampung ini. 

Bila dingin melanda, ia segera menyalakan perapian kayu dalam pondok.

“Ndek bengi, jam telu kurang 15, aku nggawe gegeni. Yen ditakoni, adem eh le (tadi malam, jam tiga kurang 15, saya menyalakan tungku. Kalau ditanya, karena kedinginan),” kata Mangun. 

Sementara, hujan dan petir tak bikin kawatir. Bila sepi melanda, ia menyanyi sendiri. Liriknya, kata Mangun, mengisahkan usaha menyingkirkan godaan roh halus. Jamnya semaunya saja.

“Nyingkirke kewan lan memedi melu kowe, ora digodha. Yen ijen, silangan demit kuwi piye,” kata Mangun.

“Yen ono bledek, tinggal ngomong aku iki cucune Ki Ageng Selo,” katanya.

Waryadi (68) adik Mangun. Keduanya berasal dari satu ayah beda ibu. Ia menceritakan bahwa Mangun orang  terpandang pada masa lalu. Ia punya tanah yang luas, namun habis sedikit demi sedikit. 

Ia pun hidup merantau ke mana-mana setelah itu, termasuk ke Sumatera. Namun, perjalanan usia tak bisa menipu. Ia akhirnya  merasa ringkih. Sejak itu, ia ikut saudara dan kerabat di Yogyakarta dan bekerja apa saja. 

“Terakhir di Wonosari, kemudian kembali ke sini. Dia mengatakan, ingin ikut saya saja. Bagaimana pun saya terima,” kata Waryadi. 

Ia mengingat, waktu itu Mangun datang pada 2012. Waryadi mengatakan, Mangun meminta untuk bisa numpang hidup bersama adiknya. 

Waryadi mengaku hidupnya sebenarnya juga dalam keterbatasan. Meski begitu, ia tetap membangun rumah kecil untuk Mangun di belakang rumahnya.

Mereka berbagi sumur. Ia juga menyalurkan listrik dan lampu ke pondok ini. 

“Saya tidak akan merasa sia-sia (sudah membantu sedemikian rupa)” katanya.

Waryadi mengaku ia kesulitan kalau sampai harus menanggung seluruh penghidupan Mangun. Namun Mangun tetap beruntung, anak cucunya cukup peduli dan perhatian.

Cucunya, menurut Waryadi, yang membantu, mulai dari menyediakan dipan hingga kasur.

“Berhubung saya tidak punya penghasilan dan tidak bekerja,” katanya.

Bahkan, cucunya pula yang membelikan 4 kambing untuk kegiatan hari-hari Mangun. Cucunya, kata Waryadi, tiap bulan mengirim uang dan sembako untuk jaminan hidup.

“(Semua) yang merawat cucunya,” kata Waryadi.

Jual kambing beli peti mati

Belakangan, Mangun menjual kambing itu. Ia menggunakan uang hasil menjual kambing untuk membeli peti mati, kain mori, gali kubur hingga kijing.  

Peti mati sekitar Rp 1 juta, 3 kain mori seharga Rp 50.000 per lembarnya, dan kijing seharga Rp 650.000.

“Peti itu meminta anaknya. (Tapi anaknya menolak dan bilang) kalau besok (meninggal) baru beli dan pakai (peti mati), tapi sendirinya (Mangun) marah. Akhirnya cari peti,” kata Waryadi.  

Pada suatu waktu, ada yang mengantar peti mati melintas desa dan menuju ke belakang rumah Waryadi. Warga Mendiro geger. Sebagaimana umumnya  masyarakat Jawa, warga saling memperhatikan satu dengan lain.

Warga terbiasa saling membantu maupun menjenguk mereka yang sakit atau berduka cita. Tak ada angin dan hujan, kedatangan peti mati tanpa ada kabar duka cita, tentu membuat warga bertanya-tanya.

"Sing durung ono teh karo gulo, nganggo nyepaki wong sing layat (yang belum siap itu teh dan gula, untuk mereka yang datang melayat nanti)," kata Mangun.

https://regional.kompas.com/read/2020/03/13/16140801/kisah-mbah-mangun-hidup-menyendiri-di-dekat-kandang-sapi-dan-tidur-di

Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke