Salin Artikel

Kisah Zaenal Tewas Bekelahi dengan Polisi, Disebut Gangguan Jiwa dan 9 Orang Jadi Tersangka

Kala itu waktu menunjukkan pukul 20.20 WITA.

Kedatangan Zaenal untuk menanyakan motornya yang ditilang di hari yang sama. Ada dua anggota Satlantas yang berjaga, yakni Aipda I Wayan Merta Subagia dan Bripka Nuzul Husaen.

Menurut keterangan Kapolda NTB Irjen Nana Sudjana pada Senin (9/9/2019), Zaenal disebut datang dengan cara yang tidak bersahabat.

Dengan nada keras ia berkata, "Di mana motor saya?"

Hal itu memicu percecokan antara Zaenal dan anggota Satlantas yang sedang berjaga. Aiptu I Wayan Merta Subagia menyampaikan kepada Zaenal untuk turun dari kendaraan.

Namun dengan nada keras Zaenal mengatakan, "Maumu apa?"

Bripka Nuzul lalu menghampiri Zaenal dengan tujuan menenangkan sambil berkata, "Ada apa Pak, tolong tenang."

Secara tiba-tiba, Zaenal disebut menyerang Bripka Nuzul dengan cara memukul menggunakan tangan terkepal ke bagian pipi sebelah kiri dan hidung secara bertubi-tubi.

Akibat percecokan itu, perkelahian tidak terelakan.

Zaenal disebutkan melakukan perlawanan dan anggota melakukan pembelaan diri hingga mengakibatkan Zaenal terjatuh dan menabrak pot bunga yang ada di lapangan apel Satlantas

Zaenal dilumpuhkan dan selanjutnya diserahkan ke SPKT Polres Lotim.

Sedangkan Bripka Nuzul langsung dilarikan ke rumah sakit karena luka-luka yang disebut cukup serius.

Zaenal sempat diperiksa Satreskrim Polres Lotim, tetapi saat pemeriksaan Zaenal tiba-tiba tidak sadarkan diri.

Ia kemudian dibawa ke RSUD Selong. Sayangnya nyawa Zenal tak bisa diselamatkan. Ia meninggal pada Sabtu 9 September 2019 setelah mendapat perawatan medis.

“Awalnya, ibunya yang pergi dulu, saya akan pergi selesai shalat Jumat, karena saya mengira anak saya sakit biasa,” ungkap Sahabudin, saat ditemui di rumahnya, Minggu (8/9/2019).

Saat tiba di rumah sakit, Sahabudin kaget melihat anaknya babak belur, dengan luka di bagian wajah, belakang leher dan bagian kaki.

“Dalam hati saya menyebutkan, lebih baik saya lihat Zaenal masuk penjara 10 tahun, daripada dipukul dan mati,” tutur Sahab.

Sang ayah kemudian mendapatkan surat dokumen yang menyatakan kasus kematian Zaenal telah diselesaikan secara damai.

Ia juga menandatangani surat bermeterai 6000.

Surat tersebut berisi dua poin dan salah satu poin menyebutakan bahwa Sahabudin mengakui anaknya mengalami gangguang jiwa.

Berikut ini isi surat pernyataan Sahabudin tertanggal Sabtu (7/9/2019):

Poin pertama menyebutkan,

“Kami selaku orang tua dan keluarga dari Zaenal Abidin tersebut di atas, tidak keberatan dan tidak akan menuntut secara hukum dari pihak manapun di kemudian hari, atas apa yang sudah terjadi dan yang dialami oleh anak kami tersebut di atas dikarenakan kami selaku keluarga menyadari/memaklumi klondisi anak kami yang sedang mengalami gangguan jiwa”

Sedangkan poin yang kedua bertuliskan,

“Kami selaku orangtua mewakili keluarga mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan/sumbangsih biaya pengobatan/perawatan dan santunan yang telah diberikan oleh pihak kepolisian

“Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya agar dapat dipergunakan sebagai mana mestinya”, tutup surat tersebut

Menanggapi surat tersebut, Sahabudin mengaku takut untuk berkomentar.

"Tidak tahu mau ngomong apa, takut nanti salah-salah, karena sudah tanda tangan surat," ungkapnya.

Sementara itu Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Negeri Mataram (Unram) menduga kuat ada kesalahan standar operasi prosedur (SOP) dari pihak kepolisian saat menangani kasus Zaenal Abidin, yang hendak ingin mengambil motornya karena telah ditilang.

Hal tersebut dijelaskan Joko Jumadi, advokat di BKBH Unram, Senin (9/9/2019).

Dugaan itu dibuktikan dengan adanya tali asih yang diberikan pihak kepolisian kepada keluarga dan penandatanganan surat pernyataan.

"Karena ini ada tali asih dan surat pernyataan dari keluarga, kami menduga ada proses kesalahan dalam penanganan saudara Zaenal," ungkap Joko.

Selama pemeriksaan, Ikhsan didampingi kuasa hukumnya Yan Mangandar.

Saat kejadian, Ikhsan menemani pamannya mengambil motor di Kantor Satlantas. Menurut Ikhsan, Zaenal tak hanya dipukuli di halaman Satlantas, tapi juga dipukul di atas mobil patroli dengan orang yang berbeda.

Sebelumnya, Ikhsan melihat pamannya dipukuli oleh anggota Satlantas menggunakan traffic cone.

Pemukulan itu terjadi saat dirinya kembali setelah memanggil seorang polisi. "Satu polisi yang nyamperin kami, kemudian memanggil polisi yang di ujung, karena dia lama tidak mendengar, kemudian saya disuruh panggil. Pas baliknya itu, nah di sana lah saya lihat paman saya itu dipukul pakai kerucut (traffic cone)," ujar Ikhsan.

Kala itu, sang paman sempat minta tolong agar berhenti dipukuli.

"Pas dipukul di tempat lantas, dia sempat minta tolong polisi, minta maaf, supaya berhenti dipukul," ungkap Ikhsan

Namun oknum polisi tetap tak mengindahkannya.

"Sempat minta maaf, tapi tidak tahu dia lanjut (memukul)," kata Ikhsan sambil menunduk

Sementara itu saat rekonstruksi yang digelar pada Senin (9/12/2019), diduga kuat adegan yang membuat Zenal mengalami luka parah adalah saat pemukulan menggunakan traffic cone.

Ada 29 adegan di tiga tempat kejadian perkara yang berbeda-beda yaknidi lapangan Sat Lantas Polres Lombok Timur.

Penganiayaan juga dilakukan di mobil Patroli di samping Gedung Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) dan di ruang Unit Tindak Pidana Umum Polres Lombok Timur.

“Kalau dari fakta dari hasil penyedikan kita memang, di TKP itu ada alat menggunakan traffic cone yang digunakan oleh salah satu tersangka untuk pemukulan kepada korban. Sehingga berdasarkan hasil visum dokter, patut diduga traffic itulah yang menyebabkan luka berat,” ungkap Ketua Penyidik, Iptu I Gusti Ngurah Bagus.

Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Kombes Kristiadjie mengatakan, dari sembilan tersangka, tujuh orang merupakan anggota Satuan Polisi Lalu Lantas (Satlantas).

Sementara dua orang masing-masing dari Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) dan anggota Polsek KP3 Polres Lombok Timur.

Semuanya berpangkat brigadir.

Senin (10/2/2020) sembilan oknum polisi menjalani sidang dakwaan.

Sembilan oknum polisi tersebut yakni Ahmad Subhan, I Nengah Darta, Irwan Hadi, Muhammad Ali, Nuzul Huzaen, Lalu Awaludin, Bagus Bayu Astaman, Heri Wardana, I Wayan Merta Subagia.

Mereka datang ke persidangan dengan menggunakan rompi merah dari Kejaksaan Negeri Lombok Timur.

Dalam sidang dakwaan, mereka didakwa dengan Pasal 170 dan atau 351 jo Pasal 55 KUHP, dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.

"Pasal yang dikenakan dari semua tersangka ini yakni dua pasal pertama Pasal 170 Ayat 2, dan yang kedua Pasal 351 Ayat 3 juncto Pasal 5 Ayat 1," ungkap Jaksa Penuntut Umum Sri Hariati.

Hariati menyebutkan, peran masing-masing 9 tersangka berbeda-beda, namun sangkaan pasal yang paling berat yakni Pasal 170.

"Peran mereka masing-masing berbeda, nanti yang paling berat itu Pasal 170," kata Hariati.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Idham Khalid, Fitri Rachmawati | Editor: Robertus Belarminus, Abba Gabrillin, Jessi Carina, David Oliver Purba)

https://regional.kompas.com/read/2020/02/11/06360041/kisah-zaenal-tewas-bekelahi-dengan-polisi-disebut-gangguan-jiwa-dan-9-orang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke