Salin Artikel

Simalakama Petani Indonesia: Sulit Akses Modal, Fintech Jadi Alternatif Pembiayaan (2)

TF adalah perusahaan financial technology (fintech) bidang pertanian. Sedangkan TH adalah e-commerce pertanian yang menghubungkan petani dengan pasar.

“Saya diperkenalkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bandung karena TH membutuhkan pasokan bawang untuk dijual,” ujar Ujang kepada Kompas.com di kebunnya, belum lama ini.

Di tahun yang sama, TF menawarkan kerja sama namun tidak diambil. Baru tahun 2019, kelompok taninya, Tricipta, menerima tawaran TF untuk budi daya bawang seluas 5 hektare (ha).

Ia sendiri ikut 1 ha dalam program ini. Nilai kerja samanya 6 ton per ha. Dalam hitungan normal, 1 ha lahan biasanya menghasilkan 9-12 ton bawang dengan masa tanam 70 hari.

Nantinya, 6 ton bawang akan langsung diambil TF. Hasil inilah yang akan dibagi hasil antara TF dan petani.

Sedangkan sisa panen, bisa dipasarkan sendiri atau ikut dipasarkan TH. Sesuai kerja sama, harga yang disepakati adalah Rp 16.000 per kg.

Namun pertanian tidak bisa ditebak. Karena masalah cuaca, panen pertama bawang kurang dari target. Lulusan Universitas Al Ghifari ini hanya mendapat 2,5 ton per ha.

“Hitung-hitungannya nunggu panen bawang yang 5 hektare ini selesai,” tuturnya.

Sedangkan bank, memiliki bunga lebih rendah tapi dibayar per bulan dan harus ada agunan, sedangkan petani tidak memiliki agunan. Hal ini membuat fintech bisa dijadikan alternatif.

“Sebenarnya banyak yang ingin mendapat bantuan permodalan dari fintech. Tapi karena fintech ini baru, jadi kita uji coba di 5 hektare lahan dulu,” tutur Ujang seraya mengatakan, 32 anggota kelompok taninya memiliki 50 ha lahan.

Bantuan permodalan memang dibutuhkan petani. Karena biaya produksi pertanian besar. Misal untuk 1 ha lahan yang ditanami bawang merah, biaya produksinya Rp 70 juta-Rp 80 juta. Mahal di benih dan tenaga kerja.

Jika bawang yang dihasilkan 6 ton per ha dan dihargai Rp 15.000 per kg, maka uang yang dihasilkan Rp 90 juta.

Dari perhitungan tersebut, keuntungannya memang kecil. Namun rata-rata bawang yang dihasilkan 9-12 ton per ha. Harga bawang pun kadang menembus Rp 25.000 per kg.

Meski bisa dijadikan alternatif, ada sesuatu yang mengganjal, yakni pencairan uang yang dikeluarkan fintech bertahap.

Seperti beberapa waktu lalu, pencairan dana kurang sehingga petani harus menalangi dulu. Sebab telat sehari, bawang bisa diserang hama.

Jika petani tersebut punya uang tak masalah. Namun bagaimana jika tidak punya. Untuk itu ia berharap uang dicairkan seluruhnya di awal agar lebih leluasa.

“Kelompok tani saya bekerja sama dalam budi daya tomat, lemon, dan cabai rawit. Untuk tomat, kontraknya 8 bulan,” tutur Dani.

Saat ini, ia menggarap 25.000 pohon tomat yang ditargetkan mendapat 10,5 ton atau 1,6 kg tomat grade A per pohon dengan harga Rp 4.000 per kg atau sesuai HPP.

“Biasanya satu pohon dapat 2 kg. Jadi nanti sisa panennya, diserahkan kepada petani. Petani juga dibebaskan menanam tumpang sari. Hasilnya menjadi milik petani,” kata Dani.

Dani melihat, selain petani, investor juga diuntungkan. Sebab sejak awal investor mendapat 1,5 persen per bulan dari nilai RAB.

Misal, nilai RAB tomat Rp 120 juta untuk 8 bulan. Jadi, TF sudah memotong 1,5 persen per bulan untuk investor.

“Nanti pencairannya tidak sekaligus. Ada laporan pengeluaran dan pengajuan. Asal kita tahu jadwal, maka uang akan cair tepat waktu,” imbuhnya.


Cakupan pembiayaan fintech masih terbatas

Meski bisa menjadi alternatif, pertumbuhan fintech di bidang pertanian masih minim.

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan INDEF mencatat, nilai pinjaman fintech per Juni 2019 berdasarkan data OJK mencapai Rp 44,8 triliun, meningkat 97,6 persen dalam satu tahun terakhir.

Sementara jumlah transaksi peminjam (borrower) menembus 9,7 juta akun di periode yang sama. Penyaluran dana fintech dan investasi menyumbang output nasional sebesar Rp 60 triliun ayau naik 130 persen di 2019.

Dari jumlah itu, kontribusi terbesar terjadi pada jasa lembaha keuangan sebesat 68 persen. Sedangkan pertanian, kehutanan, dan perikanan tumbuh 0,004 persen.

Begitupun dalam penambahan tenaga kerja, naik 1.613 atau 0,04 persen. Meski kecil, pada msayarakat desa, golongan tenaga kerja yang memiliki manfaat besar akibat adanya fintech adalah petani dan pengusaha usaha penunjang pertanian. Artinya, fintech lebih banyak bergerak di perkotaan.

Dalam hal pertumbuhan pendapatan, kenaikan lebih banyak dinikmati rumah tangga perkotaan dari berbagai kalangan dan rumah tangga pengusaha pertanian dibanding rumah tangga pedesaan.

Penambahan pendapatan buruh tani naik Rp 2,287 miliar atau 1,29 persen dari Rp 176,756 miliar. Sedangkan pengusaha pertanian naik Rp 9,767 miliar atau 1,34 persen dari pendapatan awal Rp 731,562 miliar.


Fintech Crowde

CEO sekaligus Co-Founder Crowde, Yohanes Sugihtononugroho mengatakan, saat ini jumlah petani yang bermitra dengan perusahaannya mecapai 22.000 orang, tersebar di Indonesia barat dan tengah.

“Untuk jumlah itu, dana yang terserap sekitar 8,3 juta dolar AS atau Rp 113 miliar,” ungkap Yohanes.

Yohanes mengakui, pertumbuhan pesat terjadi di tahun-tahun awal Crowde berdiri tahun 2016-2017. Saat itu, Crowde masih memberikan pembiayaan dalam bentuk uang langsung sekaligus.

Namun cara tersebut terlalu berisiko. Sebab ada petani yang menggunakan uang tersebut untuk motor baru malah istri baru.

Belum ditambah risiko pertanian yang besar. Mulai dari faktor cuaca, kekeringan, pembebasan hutan, harimau atau monyet masuk kebun mencari makan, hingga membuat petani gagal panen dan tidak mampu membayar utang.

Saat itu terjadi, 90 hari awal jatuh tempo, pihaknya renegoisasi. Namun jika lebih dari 90 hari belum bayar, akan diserahkan pada collector external hingga penyerahan aset.

“Dulu di awal-awal itu ada (petani) yang kabur,” ungkapnya.

Untuk menekan risiko gagal bayar, Crowde memberikan pinjaman ke kelompok tani agar bisa tanggung renteng. Crowde juga melihat kemampuan kelompok tersebut mengelola keuangan dan bekerjasama dengan Jasindo Syariah untuk mitigasi risiko.

“Sekarang pembiayaan tidak diberikan langsung. Kami bekerjasama dengan toko pertanian untuk pengadaan pupuk dan lainnya. Kami juga menggunakan sistem bagi hasil,” tutur Yohanes.


Fintech TaniFund

Business Administration Lead TaniFund (TF), Lutfia Aisya mengatakan, perusahaannya menyalurkan dana lender untuk dua tipe proyek, yaitu program budidaya dan pembiayaan transaksi penjualan hasil tani.

“Berbeda dengan fintech lainnya, petani tidak mengembalikan pinjaman dalam bentuk uang, melainkan panen, yang kemudian diserap TaniHub. Artinya, setelah petani mendapatkan akses pendanaan melalui TF, mereka mendapatkan akses ke pasar lewat TH,” tutur Lutfia.

Dari awal berdiri tahun 2017 hingga 2019, jumlah mitra petani yang bekerjasama mencapai 1.039 ketua kelompok tani.

Adapun total pinjaman tersalurkan pada 2017-2019 mencapai Rp 88,94 miliar dengan rata-rata nilai pembiayaan per proyek Rp 650 juta.

“Mitra kami masih terbatas di pulau Jawa dan didominasi Jawa Barat 41 persen, Jawa Timur 35 persen, Yogyakarta 13 persen. Kami tentunya akan mempeluas cakupan,” katanya.

Lutfia menambahkan, kredit bermasalah (NPL) di TF masih nol persen. Jika terjadi gagal panen karena force majeure atau sebab lainnya, TF mengembalikan seluruh pokok dana kepada investor/lender.

Untuk menjaga NPL 0 persen, pihaknya menyeleksi ketat calon peminjam. Misal, konsistensi mitra TF bertransaksi dengan TF, tepat waktu dalam menyuplai panen dan cukup rendah dalam tingkat tolakan.


Tantangan Fintech pertanian

Luthfia mengatakan, tantangan fintech di dunia pertanian saat ini adalah data yang reliable dan terintegrasi.

“Kami sekarang fokus pada hortikultura. Tapi karena tidak ada data integratif yang dapat diandalkan, kami tidak tahu harus fokus ke biji-bijian atau pertanian skala industri,” ucapnya.

Apalagi industri pertanian di Indonesia masih fragmented. Kebijakan di Pulau Jawa belum tentu bisa diterapkan di pulau lain, sehingga komoditas di tiap pulau berbeda-beda.

Tantangan lainnya teknologi. Masih banyak petani belum paham teknologi dan menunjukkan resistensi terhadap inovasi/industri baru.

Masih ada di antara petani yang skeptis untuk diajari sistem pertanian lebih efisien, karena mereka menganggap sistem yang mereka pegang turun-temurun harus terus dijalankan, meski produktivitas stagnan.

VP of Corporate Services TaniHub Group, Astri Purnamasari mengungkapkan tantangan lainnya. Indonesia sangat luas dan ada yang belum dijangkau teknologi.

Dengan ketiadaan teknologi, pelaku industri fintech tidak mengetahui berapa jumlah petani yang ada di daerah tersebut, sehingga sulit mengetahui besaran pasar.

Apalagi, masih banyak petani yang belum memiliki identitas/KTP, sehingga sulit bagi industri keuangan formal seperti perbankan untuk dapat memberikan pendanaan bagi mereka.

https://regional.kompas.com/read/2020/01/31/13520921/simalakama-petani-indonesia-sulit-akses-modal-fintech-jadi-alternatif

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke