Salin Artikel

Menjaga Populasi dan Habitat Orangutan di Lansekap Sungai Putri-Taman Nasional Gunung Palung

Gowa ini termasuk dalam kawasan Hutan Desa Manjau, Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Desa Laman Satong berada di 73,5 kilometer dari Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Desa ini dikelilingi konsesi perusahaan swasta. Ada perkebunan sawit, pertambangan, juga perusahaan kehutanan.

Akses darat menuju wilayah ini berbatu dan berlubang dengan waktu tempuh 2 sampai 3 jam perjalanan.

Yohanes memang sudah tak lagi muda, di tahun 2020 ini, usianya akan menjejak 64 tahun.

Namun bagi dia, usia lanjut tak berarti harus duduk diam di rumah menikmati hari tua.

Saban hari, dia selalu menyempatkan diri masuk hutan, turun naik bukit, memanen apa saja untuk sekadar mencukupi kebutuhan sehari-hari.

“Saya habis dari hutan yang berada di dekat rumah untuk mengambil durian,” kata Yohanes menunjukkan kebugarannya keluar masuk hutan kepada Kompas.com, begitu tiba di Goa Maria Kiderun, Sabtu (21/12/2019).

Yohanes Terang merupakan sosok kharismatik, setidaknya untuk masyarakat Laman Satong.

Setelah mengabdikan diri di Yayasan Esti Mulya Jakarta pada 1980, Yohanes menjadi kepala desa pertama bagi Desa Laman Satong.

Sejak itu, kiprahnya dalam menjaga ekosistem hutan dan lingkungan semakin nyata.

Satu di antaranya, bersama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), dia menggagas keberadaan Hutan Desa Laman Satong.

Setelah melalui pelbagai lika-liku, sebuah kawasan perbukitan yang termasuk hutan produksi dapat dikonversi (HPK) seluas 1.070 hektar ini secara sah ditetapkan sebagai Hutan Desa oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia berdasarkan SK 493/Menhut II/2011.

Menurut Yohanes, jika ada warga yang memiliki tanah dan masuk dalam kawasan hutan desa, maka mereka masih memiliki hak untuk mengelolanya.

Seperti misalnya, dia memiliki tanah seluas lima hektar yang masuk dalam Hutan Desa Manjau.

Namun, tanah itu tetap dibiarkan tanpa dikelola.

“Di hutan ini banyak satwa yang harus dilindungi, seperti misalnya orangutan. Nah, jika seluruh hutan dikelola, tentunya habitat mereka akan hilang,” ucapnya.

Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.

Hutan desa bisa juga diartikan sebagai hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin atau hak.

Untuk pengelola kawasan di Hutan Desa Manjau, dibentuk sebuah lembaga yang ditetapkan melalui peraturan desa.

Namanya, Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa (LDPHD). Salah satu pembinanya adalah Yohanes Terang.

Yohanes menjelaskan, areal Hutan Desa Manjau meliputi zona lindung seluas 654 hektar dan zona rehabilitasi atau pemanfaatan seluas 416 hektar.

Penetapan hutan desa merupakan upaya lanjutan yang dilakukan warga untuk menjaga kawasan ini tetap hijau.

“Selain tetap menjaga kelestarian alam dan lingkungan, hutan desa ini juga memberi ruang untuk keberadaan sejumlah satwa endemik seperti orangutan, owa/kelampiau, lutung merah, dan rangkong,” tegasnya.

Pendekatan adat

Yohanes melakukan pendekatan adat dalam menjaga hutan desa.

Pendekatan ini kemudian dituangkan dalam peraturan desa tahun 2013, untuk mengatur pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan fungsi hutan.

Aktivitas terlarang di hutan desa adalah perambahan hutan.

Setiap pelanggar wajib menyiapkan tajau atau tempayan sebagai denda adat.

Satu tajau atau tempayan adat jika dinominalkan setara Rp 1 juta sampai Rp 2 juta.

“Menjaga dan menghargai alam sudah menjadi tradisi kami sebagai masyarakat adat, khususnya Dayak Tolak Sekayu ini,” tuturnya,

Yohanes menyadari, ancaman lingkungan kian besar, maka dari itu, hutan desa sangat dibutuhkan, lantaran ia menjadi bagian dari hidup manusia.

Di dalamnya ada sumber air. Jika hutan hilang, hilanglah sumber air masyarakat.

Perjumpaan dengan orangutan menurun

Hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan Yohanes. Bagi dia, hutan dan seluruh isinya mutlak harus dijaga, dirawat dan dilindungi.

Merusak hutan, tidak hanya akan merusak rumah bagi keluarga yang menempatinya, tapi juga menghancurkan tempat tinggal anak cucu kelak.

Karena setiap hampir hari keluar masuk hutan sejak puluhan tahun yang lalu, Yohanes tentunya kerap menjumpai apapun satwa dan tumbuhan. Termasuk orangutan.

Namun, sepengetahuannya, hingga saat ini belum pernah dilakukan survei populasi orangutan.

Namun, dari laporan tim patroli, mereka sering menjumpai sarang.

"Kalau dulu, sering ketemu orangutan di sini (Hutan Desa Manjau). Apalagi ketika musim buah jungkang," ujarnya.

Yohanes tak pernah bosan mengingatkan warga-warga setempat untuk selalu menjaga hutan.


Dia selalu berpesan, kayu hutan jangan ditebang, satwanya jangan diburu.

"Saya setiap ketemu orangutan, selalu biasa saja. Saya tidak merasa terancam, dia pun tidak. Biarkan saja, hutan adalah alam mereka," tuturnya.

Yohanes berucap, dalam beberapa tahun belakangan ini merasa jarang bertemu dengan orangutan.

Menurut dia, hal itu akibat berkurangnya luasan hutan akibat maraknya perkebunan sawit, hutan tanam industi, dan pertambangan di Ketapang.

“Orangutan atau satwa-satwa di dalam hutan terusir. Mereka pergi keluar hutan dan masuk ke kebun atau permukiman warga. Itu yang biasa terjadi penangkapan dan lain sebagainya,” tutupnya.

Terhubung ke areal konservasi PT KAL

Hutan Desa Manjau terhubung langsung dengan lahan konservasi atau high conservation value (HCV) atau Hutan Tanjung Sekuting, seluas 657,22 hektar.

Lahan ini milik PT Kayung Agro Lestari (PT KAL).

Jalur penghubung sebagai koridor satwa dibangun perusahaan seluas 7,59 hektar.

Nardiyono, Manajer Konservasi PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) atau induk perusahaan PT KAL menjelaskan, koridor ini berperan penting sebagai jalur berpindahan satwa endemik seperti orangutan untuk mencari pakan dari hutan desa ke lahan konservasi, atau pun sebaliknya.

Nardi menceritakan ihwal dibangunnya koridor satwa tersebut.

Koridor satwa itu dulunya adalah kawasan perkebunan dan sudah ditanami sawit.

Namun setelah dilakukan berbagai pertimbangan, akhirnya lahan itu dimasukkan ke dalam lahan konservasi milik perusahaan.

Pohon-pohon kelapa sawit yang ditanam dibiarkan begitu saja, tak dirawat, agar menjadi hutan.

Nardi menegaskan, perusahaan perkebunan PT KAL selalu komitmen terhadap konservasi.

Hal itu diwujudkan dengan mengalokasikan lahan seluas 3.844 hektar dari luasan izin 16.200 hektar, sebagai kawasan konservasi.

Selain itu, untuk pengelolaan dan pengawasan lahan tersebut, PT KAL membentuk satuan tugas khusus dengan melibatkan sedikitnya dua staf dan enam karyawan.

Sebagian besar tim konservasi di lapangan dulunya bekerja sebagai penebang kayu.

Kini, mereka berhasil ditarik ke perusahaan dan beralih profesi menjadi pekerja konservasi.

“Jadi, tim konservasi ini sebagian adalah orang-orang yang telah paham hutan ini, karena mereka dulunya bekerja sebagai penebang kayu dan kini menjadi penjaga kawasan,” ucapnya.

Bukan perkara gampang merekrut orang-orang yang terbiasa mendapatkan uang besar dengan cara mudah melalui aktivitas merambah hutan.

Sejak pertama kali tiba di Ketapang tahun 2012 dan ditugaskan membangun areal konservasi PT KAL, Nardi kerap kali masih menjumpai tumpukan kayu-kayu gelondongan hasil ilegal loging.

Perlu lebih dari satu tahun baginya untuk mengubah perspektif masyarakat.

“Saya datangi satu per satu orang-orang itu. Saya ajak bicara, dan beri tawaran untuk bekerja di perusahaan,” ungkapnya.

Awalnya sebagian besar dari mereka menolak, karena masih beranggapan, mencari uang dengan cara merambah hutan jauh lebih mudah dan lebih menghasilkan. Namun Nardi memberi sudut pandang lain, bahwa walaupun hasilnya besar, merambah hutan tidak akan bisa berlangsung terus-menerus. Selain itu, tentunya, akan berhadapan dengan aparat penegak hukum.

“Perlahan-lahan mereka akhirnya sadar dan langsung bergabung sebagai karyawan PT KAL,” ujarnya.

Tim konservasi

Tim konservasi ini bertugas memonitoring dan mengawasi seluruh kawasan konservasi.

Termasuk pula setiap bulan memastikan ketersediaan pakan orangutan.

"Jika pakannya aman, maka mudah melihat orangutan, kita tinggal mendatangi pohon-pohon pakan yang tengah berbuah," ujarnya.

Untuk meminimalisir terjadinya konflik orangutan dengan masyarakat, mereka juga rutin menggelar sosialisasi untuk menambah pengetahuan masyarakat jika bertemu atau berhadapan langsung dengan orangutan.

Di samping menanam kelapa sawit, mereka tidak melupakan tanggung jawab sosial dan lingkungan: yakni mengalokasikan 23,7 persen lahan dari total perizinan untuk konservasi.

PT KAL juga terlibat langsung dalam menjaga keutuhan dan keberlanjutan areal tersebut, untuk memastikan keberadaan keanekaragaman hayati di dalamnya tetap terjaga.

Mereka juga telah mengusulkan area konservasi sebagai bagian dari Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).

Selain itu, bersama stakeholder setempat, menjadikan hutan konservasi sebagai bagian dari destinasi wisata pendidikan.

“Sebagai bentuk dari tanggung jawab lingkungan dan kepada masyarakat, itu yang kita lakukan,” ujar Nardi.

Nardi menyebut, di seluruh areal izin konsesi, PT KAL memiliki 14 kawasan konservasi, total luasnya mencapai 3.844 hektar dari luasan izin 16.200 hektar.

Dari 14 kawasan itu, dua kawasan konservasi yang paling luas.

Pertama, areal HCV I Hutan Tanjung Sekuting, seluas 657,22 hektar. Hutan ini berhubungan langsung dengan Hutan Desa Manjau.

Di areal konservasi tersebut, ancaman terbesarnya adalah kebekaran hutan dan lahan yang hampir terjadi setiap tahun.

Untuk mengantisipasinya, PT KAL memiliki tim pemadam kebakaran, yang telah dibentuk khusus.

Tim ini, terdiri dari dua orang koordinator dan lebih dari 22 karyawan sebagai petugas lapangan.

“Jika musim hujan, tim ini melakukan perbaikan menara api dan membersihkan embung. Jika musim panas, mereka melakukan monitor dan patroli titik api serta melakukan pemadaman,” ungkap Nardi.

Di seluruh kawasan konsesi, dibangun 12 unit menara api setinggi 17 meter.

Menara ini berfungsi memonitor titik api jika musim kering. Kemudian ada 26 unit embung air. Sebagian besar di antaranya berada di areal rawan kebakaran.

“Areal kebakaran sudah kita petakan. Hal itu untuk mempermudah tim melakukan pencegahan kebakaran dan pemadaman api,” ucapnya.

Menurut Nardi, kebakaran hutan dan lahan menjadi ancaman untuk seluruh area konservasi PT KAL.

Termasuk di areal HCV II seluas 2.330,88 hektar.

Populasi padat

Untuk selalu memantau populasi orangutan di kawasan konservasi, PT KAL bersama IAR Indonesia, melakukan survei populasi rutin setiap dua tahun.


Survei terakhir dilakukan pada medio Februari 2019.

Hasilnya, di kawasan HCV seluas 657,22 hektar, ditemukan 80 individu orangutan atau 9,9 individu per kilometer persegi.

Sedangkan di HCV 2.330,88 hektar, terdapat 130 individu orangutan atau 3,6 individu setiap satu kilometer persegi.

Menurut survei itu, sub spesies orangutan di konservasi PT KAL hanya ada satu, yakni pongo pygmaeus wurmbii.

Padahal sebelumnya, dalam survei yang dilakukan PT KAL bersama Fakultan Kehutanan Universitas Gajahmada dan BKSDA Kalbar pada tahun 2012, menyimpulkan rata-rata areal konservasi memiliki sebanyak tiga individu orangutan per kilometer persegi atau 179 individu orangutan.

Menurut hasil survei itu, kepadatan sudah tergolong tinggi.

Nardi melanjutkan, kepadatan populasi orangutan meningkat secara signifikan saat tahun 2015.

Saat itu, kebakaran hutan dan lahan melanda sebagian besar kawasan di Ketapang, salah satunya hutan di sekitar konsesi PT KAL.

Kebakaran hutan itu menyebabkan banyak orangutan yang kemudian masuk ke kawasan konservasi.

Ditambah lagi, pada tahun itu juga, ada pelepasliaran sebanyak 11 individu korban kebakaran hutan dan lahan dari pelbagai wilayah di Ketapang ke kawasan konservasi PT KAL.

Karena kepadatan populasi itulah, sejak tahun 2015, PT KAL menyetop kawasan konservasinya sebagai tempat pelepasliaran orangutan.

Karena mereka khawatir akan muncul konflik baru sesama orangutan.

"Jika terus ditambah akan melebihi kapasitas, dan dapat mengakibatkan konflik. Maka atas komunikasi kami dengan BKSDA Kalbar dan IAR Indonesia, akhirnya sepakat tidak ada lagi pelepasliaran orangutan," ungkapnya.

Kompas.com berkesempatan mengunjungi langsung lahan konservasi tersebut dan bertemu dengan satu di antara dua staf konservasi PT KAL, Viktor Mario Jubiharsono, Sabtu (21/12/2019) pagi.

Sehari-hari, Viktor bersama satu staf lain bertugas mengkoordiniasikan enam karyawan untuk berpatroli keamanan dari para pelaku ilegal loging maupun memantau ketersediaan pakan orangutan di seluruh kawasan konservasi.

Kawasan konservasi ini berupa hutan yang rindang dan sejuk.

Setiap jengkalnya dipenuhi pepohonan setinggi 10-15 meter dari berbagai jenis, di antaranya ramin (gonystyllus bancanus), ubah (Syzygium confertum), Teban payak (vitex heterophylla), asam kandis (Garcinia parvifolia), jelutung (Dyera costulata), dan jungkang (Palaquium sp) dan semak belukar.

“Makanan favorit orangutan di hutan itu adalah buah jungkang. Selain itu, orangutan juga mengonsumsi tumbuhan pakis (polypodiopsida), rayap, dan ulat jungkang,” kata Viktor.

Orangutan umumnya selalu berpindah tempat setiap harinya.

Satu individu orangutan jantan dewasa dalam satu hari dapat menempuh jarak jelajah sampai dengan tiga kilometer, sementara betina 1,5-2 kilometer.

Mereka bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain untuk mencari makan dan membangun sarang dari susunan ranting dan dedaunan, di pucuk-pucuk pohon yang kuat.

Orangutan umumnya hanya menggunakan sarang sekali saja dan tidak pernah beristirahat di sarang yang sama berkali-kali.

Viktor menerangkan, di kawasan konservasi itu, mereka telah menyiapkan jungle track atau lintas hutan sepanjang 4,2 kilometer.

Di sepanjang jalur lintas itu, disediakan setidaknya tiga gazebo untuk tempat peristirahatan.

Lintas hutan ini digunakan ketika PT KAL mendapat kunjungan dari berbagai pihak, yang paling sering pelajar dan mahasiswa untuk melihat langsung aktivitas orangutan.

Karena keterbatasan waktu, Kompas.com hanya sampai pada titik peristirahatan pertama, yakni sekitar 700 meter sampai 1 kilometer dari pintu masuk di bravo 13.

Akan tetapi, sudah berhasil menemukan sebanyak belasan sarang orangutan yang relatif rendah, yakni sekitar 5-6 meter dari permukaan tanah.

“Semakin rendah sarangnya, maka analisanya orangutan itu semakin merasa aman,” terang Viktor.

Di ujung perjalanan, Kompas,com juga menemukan tiga individu orangutan, masing-masing betina dewasa bersama bayinya dan jantan dewasa.

Mereka terlihat tengah menikmati buah jungkang dari pohon setinggi 15 meter.

Orangutan itu sadar keberadannya terlihat manusia.

Namun, dia tetap dengan santai bergelantungan dari dahan ke dahan pohon sambil melahap buah jungkang.

“Orangutannya berbunyi (seperti berteriak), itu tandanya dia melihat kita. Tapi karena dia tidak merasa terancam, jadi tetap bisa makan,” jelasnya.

Terancam karhutla

Ancaman terhadap populasi dan habitat orangutan selalu ada.

Jika bukan konflik dengan manusia atau menjadi target perburuan, ancaman lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang nyaris terjadi setiap tahun.


Kebakaran itu diperparah dengan adanya lahan gambut di sejumlah titik di kawasan konservasi PT KAL maupun Hutan Desa Manjau.

Kasus teranyar dialami Jerit, orangutan jantan berusia 7 tahun yang ditemukan di kebun karet milik warga di Desa Kuala Tolak, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Sabtu (21/9/2019).

Jerit keluar dari habitatnya setelah terjadi kebakaran hutan dan lahan di kawasan gambut landscape Gunung Palung-Sungai Putri (TAGUPA) Ketapang.

“Awalnya pemilik kebun melapor bahwa ditemukan satu individu orangutan. Kita bersama BKSDA Kalbar segera ke sana untuk evakuasi,” kata Argitoe Ranting, Manager Lapangan IAR Indonesia, belum lama ini.

Selain sangat kurus dan mengalami dehidrasi, tim penyelamat juga menemukan luka membusuk yang melingkar di kaki kanan Jerit akibat lilitan tali jerat.

Setelah berhasil ditangkap dengan menggunakan bius, Jerit langsung dibawa untuk mendapat penanganan medis dari IAR Indonesia.

Mereka merawat dan mengobati Jerit agar kesehatannya pulih dan orangutan ini bisa dilepas kembali ke alam.

Menurut Argitoe, IAR Indonesia telah menjalin kerja sama yang baik dengan petani dan masyarakat di areal landscape Gunung Palung-Sungai Putri, termasuk Desa Laman Satong dan Kuala Satong.

Dua desa itu berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Palung, dulunya juga banyak hutan dan habitat orangutan.

Akibat pembukaan lahan yang dikonversi menjadi sawit dan kebakaran hutan, habitat orangutan semakin mengecil.

Saat musim kering di tahun 2019, kebakaran hutan di daerah Kuala Satong sangat luas dan menyebar.

Kebakaran habitat yang luas ini yang mendorong orangutan masuk ke kebun warga dan menimbulkan konflik manusia-orangutan.

Manager Orangutan Protection Unit IAR Indonesia, Catur Yuono menerangkan, pasca-kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Ketapang, mereka telah mengevakuasi sembilan individu orangutan di sejumlah wilayah.

“Untuk keseluruhan kasus, di tahun 2019 ini kita mengevakuasi sebanyak 14 individu orangutan.” Ucapnya.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Sadtata Noor mengatakan, hingga saat ini memang sudah banyak dilakukan tindakan penyelamatan orangutan.

Baik itu dari masyarakat masih memelihara atau bahkan berburu maupun dari ancaman perambahan serta kebakaran hutan dan lahan.

Namun, hal itu justru belum menggambarkan keberhasilan dalam memberikan habitat yang aman dan nyaman bagi mereka.

“Masih ada pekerjaan rumah besar yang harus dituntaskan bersama. Penyelesaian yang menyeluruh dan berkelanjutan,” kata Sadtata kepada Kompas.com pekan lalu.

Konflik dan kesadaran

Konflik orangutan atau pun satwa liar semakin meningkat.

Perlu ditingkatkan diskusi dan dialog untuk membuka hati dan pikiran seluruh pemangku kebijakan.

Selain itu, pembentukan pola pikir masyarakat terhadap perlindungan orangutan yang harus terus dilakukan.

“Yang penting itu merubah pola pikir. Jika tidak, kegiatan seperti penyelamatan orangutan dari rumah warga akan terus terjadi,” ucapnya.

Jadi target investor

Kabupaten Ketapang adalah wilayah terluas di Provinsi Kalimantan Barat. Daerah ini memiliki pantai memanjang dari selatan ke utara. Sebagian pantainya merupakan muara sungai dan rawa-rawa.

Kawasan sungai dan rawa-rawa ini terbentang dari Kecamatan Teluk Batang, Simpang Hilir, Sukadana, Matan Hilir Utara, Matan Hilir Selatan, Kendawangan hingga Pulau Maya Karimata.

Sementara daerah hulu, topografinya berbukit dan hutan.

Dengan berbagai sumber daya alamnya, Kabupaten Ketapang boleh dibilang “surga” bagi investor.

Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Kalimantan Barat, realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 2018 di Kabupaten Ketapang sebesar Rp 5,72 triliun atau 30,45 persen dari total jumlah investasi yang masuk ke Kalbar.

Jumlah investasi ini merupakan yang tertinggi di Kalbar, jauh meninggalkan Kabupaten Landak yang hanya Rp 1,41 triliun atau Kabupaten Kubu Raya yang sebesar Rp 1,03 triliun.

Lalu apa hubungan investasi dengan populasi dan habitat orangutan di Ketapang?

Tito Indrawan dari Forum Konservasi Orangutan Kalimantan Barat (FOKKAB) menilai, ancaman terbesar populasi dan habitat orangutan di Ketapang adalah tata ruang wilayah dan rancangan pembangunan jangka panjang dan menengah daerah yang “sangat ramah” terhadap investasi.

Dampaknya, jika semakin banyak investor yang masuk ke Ketapang, maka lambat laun lahan atau hutan di Ketapang akan beralih fungsi.

Akibat dari itu, orangutan dan bahkan seluruh satwa yang ada di dalamnya akan terusir dari habitat aslinya.

“Saya bukan bilang Pemda Ketapang tidak punya rencana konservasi, tapi mereka sudah terpatok pada kebijakan pemerintah pusat,” kata Tito.

Menurut dia, dalam 25 tahun mendatang, pembangunan dari sisi industri di Pulau Kalimantan seluruhnya akan dipindahkan dari Kalimantan Timur ke Kalimantan Barat.

Kemudian di Kalimantan Barat, pusat perindustrian nantinya berada di Ketapang.

“Di Ketapang, dalam rencana tata ruang dan wilayah, Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, akan menjadi kawasan pengembangan industri. Di sana ada smelter bauksit, ada dua perusahaan perkebunan, dan lain-lain,” ucapnya.

Maka dari itu, kondisi ini mengindikasikan pentingnya Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) memegang mandat penuh untuk menyelamatkan orangutan dari berbagai ancaman, terutama terkait degradasi lahan.

Tito menerangkan, saat ini FOKKAB berfungsi sebagai simpul yang menyambung kebutuhan sesama pegiat konservasi orangutan. Hal ini sangat beralasan sebab anggota forum ini beranjak dari latar belakang yang berbeda.

“Di sini FOKKAB bertugas menjahit serpihan gerakan para anggotanya. Dengan demikian, lembaga ini dapat menjadi simpul informasi konservasi orangutan di Kalbar. Forum ini juga memegang peran penting dalam hal edukasi dan kampanye,” tutupnya.

Berharap pada KEE

Dalam dokumen policy brief yang diterbitkan Yayasan Tropenbos Indonesia pada Mei 2019 menyebutkan, Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) merupakan kategori baru ‘kawasan’ konservasi di Indonesia.

Kawasan ini membuka harapan baru bagi perlindungan hutan yang tersisa di luar kawasan konservasi.

Tahun 2016-2017, Dinas Kehutanan Kalimantan Barat bersama para pihak di tingkat regional dan nasional, menginisiasi pengembangan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).

Hal ini sesuai dengan mandat KLHK untuk membangun KEE sesuai target di masing-masing provinsi di Indonesia.

Di Kalimantan Barat, KEE yang sudah terbangun sampai tahun 2018, yaitu di Kabupaten Ketapang, Kapuas Hulu, Kuburaya dan Ketapang.

Di Kabupaten Ketapang diinisiasi oleh Yayasan Inisiasi Dagang Hijau (IDH).

Setelah melalui proses konsultasi publik yang melibatkan pemangku kepentingan, pada bulan November 2017 Gubernur Kalimantan Barat mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 718/2017 tentang penetapan KEE di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Dengan total luasan kawasan: 12.918,13.

Salah satu tujuan KEE di Ketapang adalah untuk membangun koridor orangutan dan satwa liar lainnya yang menghubungkan dua ekosistem yang dulunya tersambung (tetapi sejak awal tahun 2000 terputus karena konversi hutan sekunder menjadi kebun sawit) antara Hutan Rawa Gambut Sungai Putri dengan Taman Nasional Gunung Palung dan Hutan Lindung Gunung Tarak (Lansekap Putri-Tagupa)

Pada awalnya, pemangku kepentingan utama yaitu PT Kayung Agro Lestari dan PT Gemilang Makmur Subur begitu antusias dan penuh optimisme untuk mengelola KEE-nya sebagai koridor satwa liar.

Namun semangat tersebut memudar ketika PT Laman Mining yang telah berada di wilayah tersebut sejak tahun 2011 (namun sampai akhir 2017 belum beroperasi) mulai menyiapkan infrastuktur eksploitasi pada awal tahun 2018.

“Sebagian wilayah yang ditetapkan sebagai KEE baru disadari tumpang tindih dengan konsesi tambang PT Laman Mining (LM),” tulis dokumen tersebut.

Sekitar bulan Maret 2018, PT Laman Mining mulai melakukan pembukaan lahan di sebagianAreal Konservasi II atau High Conservation Valeu (HCV) seluas 2.330,88 hektar.

PT Laman Mining membangun jalan sepanjang 4 kilometer dengan 30 meter.

Jalan ini juga memotong areal konservasi yang dikelola oleh PT Gemilang Makmur Subur.

Kedua perusahaan itu berang dan kemudian melaporkan kasus ini kepada pemerintah di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional.

Pemerintah kemudian turun tangan untuk memediasi konflik yang kemudian disepakati untuk menyelesaikan permasalahan ini melalui pendekatan bussiness to bussiness.

PT Laman Mining akhirnya menghentikan kegiatan yang berdampak pada kerusakan ABKT dan akan melindungi dan merestorasi KEE.

Lorens Arang, Manajer Lanskap Yayasan Inisiasi Dagang Hijau (IDH) mengatakan, dalam mediasi yang dilakukan, muncul wacana untuk merekayasa lingkungan dengan membangun jembatan satwa di atas jalan tambang tersebut.

Namun hingga saat ini, jembatan satwa itu belum juga terwujud.

Penyebabnya, Forum Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) di tingkat Kabupaten Ketapang belum secara resmi terbentuk. Forum KEE baru terbentuk di tingkat provinsi.

“Sudah ada draft-nya, tinggal menunggu kata sambutan gubernur. Forum itu nantinya yang membuat rencana aksi,” kata Lorens.

Anas Nashrullah, Landscape Manager WWF Indonesia menilai, untuk menjaga dampak berkelanjutan dari pengelolaan yang sudah berjalan (praktik lebih baik) dalam pengelolaan keragaman hayati dan eksosistem, diperlukan kesamaan pandang semua pihak bahwa pengelolaan bentang alam tidak bisa dibatasi oleh adminitrasi perizinan.

Jika sepakat dengan kata kunci pengelolaan atau fitur pengelolaan adalah ekologi dan keragaman hayatinya, maka komitmen bisa dibangun secara bersama.

“Hal ini diperlukan untuk menjembatani kekurangan kewenangan dari masing masing pihak,” kata Anas.


Selain itu juga dapat dipikirkan benefit lain dari keberhasilan pengelolaan lansekap dengan pendekatan lain misalkan usaha jasa lingkungan pariwisata berbasis keragaman hayati dalam hal ini orangutan.

“Untuk pengelolan bentang alam ini diperlukan kepemimpinan yang kuat di tingkat pengambil keputusan dengan prinsip keterbukaan dan setara dalam tatakelolanya,” tutup Anas.

Laman Mining membantah

PT Laman Mining membantah aktivitas perusahaan tambangnya memutus koridor orangutan di Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).

Asisten Direktur PT Laman Mining, Ronald Sulistyanto menegaskan, perusahaannya telah mendapat izin pertambangan sejak tahun 2012, seperti yang tertuang dalam SK Bupati Ketapang Nomor 68/DISTAMBEN – C/2012, seluas 13.460 hektar.

Menurut dia, jalan tambang itu diyakini jauh lebih dulu ada sebelum penetapan KEE.

Selain itu, untuk menunjang operasional memang harus membangun jalan tambang.

“Maka anggapan bahwa haulling road atau jalan tambang memutus koridor orangutan merupakan pandangan yang tidak benar,” kata Ronald dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com. 

https://regional.kompas.com/read/2020/01/29/16535721/menjaga-populasi-dan-habitat-orangutan-di-lansekap-sungai-putri-taman

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke