Salin Artikel

Cerita dari Kelas Multikultural Pangandaran: Aku dan Kamu, Satu Indonesia

Di sampingnya telah duduk sejumlah penguji dari pihak SMK Bakti Karya Parigi ataupun perguruan tinggi. Tak berapa lama, Ari dipanggil.

Dengan langkah mantap, siswa kelas 3 SMK Bakti Karya Parigi ini maju ke depan, mempresentasikan dan mempertanggungjawabkan hasil magangnya sebagai fotografer di salah satu perusahaan di Kamojang, Garut.

Laporan dan presentasi siswa asal Mariadei Papua ini dipuji penguji. Selain bisa mengaplikasikan ilmunya di dunia kerja, Ari dinilai mampu menerapkan nilai multikulturalisme yang diperolehnya di sekolah.

Seperti saat kerusuhan Papua pecah Agustus-September 2019, rekan kerja hingga atasan Ari menyemangatinya untuk fokus bekerja.

Ari pun, tak terbersit dalam pikirannya untuk pulang ke Papua. Ia merasa aman ada di Jabar karena tahu karakter orang-orangnya. Orang Jabar pun menerima dia apa adanya.

“Kalau kamu baik, orang lain pun baik. Kalau ada yang ngomporin, pakai nalar apa yang dipelajari di sekolah (toleransi),” tuturnya.

Nilai-nilai itu ia katakan juga pada adik kelasnya saat kerusuhan Papua berlangsung. Sebab beberapa adik kelasnya yang baru datang ke Pangandaran meminta pulang. Mereka resah, tak tenang, bahkan ada yang menangis ingin kembali ke Papua.

“Bukan hanya saya, lulusan sini yang sekarang ada di Jakarta juga ke Pangandaran untuk menenangkan adik kelas. Kami berkata, sudah bertahun-tahun kami di sini. Orang sini baik, mereka saudara kita. Pulang ke Papua pun belum tentu aman,” imbuhnya.

Orang timur menilai orang Jawa lebay, tidak terdengar, santai, dan lainnya. Begitupun orang Jawa menganggap orang timur, sangar, berisik, dan terlihat tua.

Apalagi untuk orang-orang yang dibesarkan dalam lingkungan konflik. Seperti Ismail Rumaru siswa asal Ambon, Maluku.

Konflik antaragama yang terjadi di daerahnya membuat rasa benci dan marah pada umat Kristiani tertanam dalam dirinya.

Itulah mengapa selama di Pangandaran ia sulit bergabung dengan orang Kristiani. Konflik kecilpun bisa dibesar-besarkan.

Lambat laun, seiring seringnya berbaur dan komunikasi, anggapannya terhadap orang Kristiani berubah.

“Awal-awal yang bergeng dengan daerahnya saja banyak, ada juga yang sampai berantem. Proses adaptasinya beragam,” tambah Ari.

Seperti dirinya, hanya butuh waktu dua minggu untuk berbaur. Namun temannya membutuhkan waktu 6 bulan-7 bulan.

Untuk mempercepat proses adaptasi, kakak kelas maupun guru memiliki peran besar. Misal, walaupun siswa diperbolehkan memilih teman sekamar, kakak kelas akan menyarankan mereka untuk berbaur baik di sekolah ataupun asrama.

“Iya, dulu sekamar dengan orang Papua, ga mau, jadinya nangis. Lalu pindah bareng orang Maluku. Eh sekarang, berteman dengan siapa saja,” tutur Siska, siswi dari Pangandaran, Jabar.

Ia kini bisa berteman dengan siapapun. Mereka berbagi pengetahuan tentang budaya dan bahasa masing-masing.

“Istilahnya, baik aku ataupun kamu, kita satu Indonesia,” tuturnya.

Psikolog Pendidikan dan Bimbingan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Yuri Riksa Yustiana mengatakan, berada dalam suasana yang beragam membawa dampak positif bagi siswa.

Unesco mengatakan, ada empat konteks dalam belajar yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning together.

“Poin terakhir ini together in harmony. Mereka akan belajar saling memahami, menghargai, dan bertoleransi,” ucapnya.

Namun tentunya saat memulai berada di lingkungan baru dengan beragam suku, timbul kecemasan pada anak. Hal itu wajar sebagai bagian dari adaptasi.

Itulah mengapa, siswa di sekolah ini beragam ada Aceh, Jawa, Sunda, Kalimantan, Papua, dan lainnya.

Bila dihitung, ada 25 suku dengan latar belakang budaya dan dan agama berbeda yang belajar di sini. Mereka belajar dan tinggal bersama selama tiga tahun tanpa biaya.

Mereka belajar tentang multimedia, ekologi, hingga 60 materi pokok multikulturalisme yang mengacu pada 5 konsep dasar. Yakni penanaman nilai toleransi, semangat perdamaian, semangat berjaringan, berbudaya, dan pembelajaran aktif.

Konsep sekolah ini pun lebih banyak di luar ruangan. Mereka bercocok tanam, aktif dengan kegiatan masyarakat, bahkan membantu jika ada yang hajatan hingga proses penguburan jenazah.

Selain itu, setiap Sabtu ada kelas profesi. Banyak orang dengan beragam profesi datang ke tempat itu untuk berbagi dan menginspirasi para siswa.

“Saya kuliah di Jakarta, tapi memutuskan untuk kembali ke daerah karena urbanisasi hanya akan memperkuat ketimpangan desa dan kota,” tuturnya.

Sekembalinya ke kampung, ia dan beberapa orang temannya mendirikan Komunitas Sabalad pada 2013. Komunitas ini banyak membantu di bidang pendidikan dan pertanian.

Hingga pada 2014, seorang guru SMK Bakti Karya menemuinya dan meminta bantuan. Sekolah tempatnya mengajar mau bangkrut.

Dengan bermodalkan tekad kuat dan tanah wakaf, Ai dan komunitasnya mengakuisisi SMK Bakti Karya pada 2014.

Kini ia menjabat Ketua Yayasan Darma Bakti Karya Pangandaran yang menaungi SMK Bakti Karya.

“Saya buat ini bukan untuk gaya-gayaan. Sederhananya, kalau kita punya duit, rumah, kerjaan, tapi lingkungan kita diskriminatif, enak ga? Karena saya mencintai istri, anak, dan orang-orang di sekitar saya makanya saya lakukan ini,” tuturnya.

Walaupun untuk bertahan hingga sekarang tidaklah mudah. Ia pernah dituduh pastur bahkan sekolahnya dicap kristenisasi atau pengikuti aliran sesat.

“Ada cerita lucu. Dulu orang Sulawesi nyari SMK Bakti Karya ga ketemu. Nanya ke orang juga ga tahu. Pas bilang tempat sekolah siswa dari berbagai daerah, warga bilang oh...sekolah kristenisasi. Ke sebelah sana,” ungkap penerima Satu Indonesia Awards ini.

Mendapat cap seperti itu tak menyurutkan tekad Ai. Meskipun ia harus didemo saat dipanggil untuk klarifikasi isu SARA tersebut oleh Pemkab Pangandaran.

Sebab yang mendemo atau menolak bukan warga sekitar sekolah. Sejak awal, warga sekitar menerima keberadaan anak-anak berbagai suku itu.

Lambat laun anggapan negatif sekolah ini pudar. Terutama saat kerusuhan Papua mencuat. Banyak pejabat yang mengamini upaya Ai membangun kelas multikultural.

“Para siswa ini penyebar virus toleransi. Mereka menebar benih keberagaman. Kalau terjadi konflik, siapa yang memiliki imun? Ya mereka. Karena tiga tahun mereka hidup bareng dalam keberagaman. Mereka agen perdamaian,” ucap Ai.

Kampung Nusantara

Di Pangandaran, keberadaan sekolah multikultural dan para siswanya memberi warna tersendiri.

Mereka berbaur, bahkan menginspirasi Ai dan warga untuk mendirikan Kampung Nusantara.

Di kampung tersebut, warga menjadikan rumahnya homestay. Siapa pun yang bertamu ke sekolah bisa menginap di sana dengan biaya seikhlasnya.

Uniknya, homestay itu dihias sedemikian rupa. Mulai dari mural yang menggambarkan Bhinneka Tunggal Ika, hingga beberapa gazebo yang dibuat seperti miniatur rumah adat sejumlah suku.

Penghasilan dari homestay ini masuk ke pemilik rumah dan kas RT. Kini, warga pun tidak anti terhadap etnis tertentu.

“Dulu, ada beberapa warga yang berpandangan negatif terhadap etnis tertentu. Setelah kenal, mereka malah menyukainya. Ini juga pembelajaran kelas multikultural, mengenal budaya lain langsung dari orangnya,” tutupnya.

https://regional.kompas.com/read/2019/12/31/15173641/cerita-dari-kelas-multikultural-pangandaran-aku-dan-kamu-satu-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke