Salin Artikel

Kisah Sukadi Pemilik Kebun Amarilis, Awalnya Dicibir Sekarang Dicintai

Sukadi adalah pemilik kebun bunga Amarilis yang terapat di Gunungkidul ini.

Kebun milik Sukadi sempat menghebohkan netizen pada 2015 lalu, karena tanaman di kebunnya dinjak-injak pengunjung yang ingin berswafoto.

Saat ditemui Kompas.com, Jumat (6/12/2019), Sukadi bersama istrinya Wartini bercerita tentang perjuangannya menyelamatkan bunga yang juga dikenal sebagai Puspa Patuk dan Brambang Procol tersebut.

"Dua tahun setelah menikah, tepatnya tahun 2002 saya berpikiran menyelamatkan tanaman yang dianggap gulma oleh masyarakat," kata Sukadi.

Umbi-umbi amarilis yang dibuang warga karena dianggap gulma, dipungut oleh Sukadi

Hal itu selalu dilakukan di sela pekerjaannya sebagai penjual sayuran dan mainan anak.

Bersama istrinya, Sukadi selalu bangun pada dini hari untuk mengolah lahan pekarangannya untuk ditanami umbi amarilis.

Anaknya yang masih kecil dia titipkan ke orangtuanya, agar lebih fokus merawat tanaman.

"Sempat berjualan bibit amarilis di pinggir jalan (Yogyakarta-Wonosari) itu tahun 2003. Waktu itu sebulan berjualan mendapatkan Rp125.000. Orang melirik saja tidak mau," ujar Sukadi. 

Setelah bertahun-tahun, uang hasil dari bekerja sebagai penjual mainan digunakan untuk membeli umbi dari petani.

Waktu itu Sukadi berhasil mengumpulkan 2 ton bibit.

Pada 2014, amarilis mulai bisa tumbuh. Kemudian, pada 2015, bunga-bunga amarilis bisa mekar bersamaan hingga fotonya viral di media sosial.

Waktu itu, Sukadi tak menyangka kebun miliknya menjadi viral. Ia pun tidak mempersiapkan jalur bagi wisatawan.

"Awalnya keinginan saya itu hanya menyelematkan tanaman gulma ini. Tahun 1970 an tanaman ini banyak dijumpai bahkan sampai ke pelosok. Tetapi oleh petani dibabat habis. Tidak kepikiran mau jadi seperti saat ini," ujar Sukadi.

Menurut Sukadi, jika sejak tahun 70an amarilis tidak dibasmi, mungkin ada miliaran bunga amarilis yang sudah menjadi ikon di Gunungkidul. 

Dicibir orang lain

Masih membekas kuat diingatan Sukadi saat dicibir oleh tetangga hingga saudara, karena dirinya mengumpulkan gulma.

Puncaknya pada 15 November 2015. Saat itu ada kegiatan kirab budaya di desanya.

Dirinya bersama beberapa warga membuat gunungan dari bunga amarilis. Namun, saat dijalankan, sebagian masyarakat mencibirnya.

Namun hal itu tidak membuatnya bergeming. Ia tetap melanjutkan mengembangkan amarilis.

"Dulu awal-awal ada yang memanggil saya bram yang berarti brambang procot (nama lain amarilis)," kata Sukadi.

Sejak Desember 2015, nama amarilis semakin terkenal dan Sukadi pun banyak dibantu oleh lembaga ataupun komunitas, karena rusaknya kebun bunga miliknya.

Bantuan itu digunakan untuk membeli umbi amarilis. Saat ini, di pekarangan seluas sekitar 3.000 meter persegi, ada sekitar 500.000 umbi.

Sementara itu, untuk mengantisipasi kerusakan akibat terinjak wisatawan yang akan berfoto, Sukadi menyiapkan jalur khusus.

Jadi primadona hingga ditiru orang lain

Selain di Patuk, dirinya mengembangkan umbi di kawasan kecamatan Tanjungsari. Di sana juga terdapat ratusan ribu umbi yang sudah disemai.

"Sekarang di sekitar sini, rumah-rumah penduduk mereka menanam amarilis, bisa dicek, setiap rumah pasti ada beberapa bunga amarilis. Awalnya gulma, sekarang menjadi primadona," ujar Sukadi.

Pada 2019 ini, mekarnya bunga amarilis tak begitu bagus, karena minimnya curah hujan di Gunungkidul.

Sukadi harus membeli air bersih dari tangki untuk menyirami bunga amarilis. 

"Pengunjung tak seramai tahun lalu. sekarang setiap hari hanya ratusan. Tahun lalu bisa mencapai ribuan orang per hari. Ini karena bunganya tidak mekar bersamaan," kata Sukadi. 

Meski dikenal sebagai pemilik kebun bunga amarilis, Sukadi tak meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai penjual mainan.

Di sekitar kebun bunga amarilis, dirinya tetap menjajakan kipas kecil yang dibuat oleh anaknya yang paling kecil.

Kipas yang terbuat dari plastik itu dijual Rp 10.000. Menjelang Natal dan tahun baru, dirinya sudah mendapat pesanan mainan sebanyak ratusan unit. 

"Saya tidak meninggalkan pekerjaan sebagai penjual mainan, karena ini cikal bakal pembelian bibit amarilis didapat dari berjualan mainan," kata Sukadi.

Teman dari berbagai negara

Sukadi bercerita, pasca viralnya kebun yang dinjak-injak pengunjung pada 2015 lalu, dirinya memiliki banyak teman.

Selain dari dalam negeri, orang-orang dari luar negeri pernah menghubunginya.

Salah satunya yang paling aktif adalah seorang warga keturunan Indonesia yang tinggal di Jerman. Sukadi pernah mendapat bantuan modal uang, hingga bibit amarilis untuk ditanam.

Menurut Sukadi, orang dari berbagai negara pernah berkunjung ke kebun bunga miliknya. Selain untuk belajar, orang-orang juga ingin mengetahui langsung kebun bunga yang sempat viral itu.

Belum lama ini, mahasiswa dari Korea mendatanginya dan menyatakan kagum dengan kebun bunga miliknya.

"Ada yang dari malaysia, China juga pernah," ujar dia.

Saat ini, untuk masuk ke kebun bunga amarilis dipasang tarif Rp 10.000 per orang. Selain itu, juga bisa membeli bibit amarilis seharga dari Rp 5.000 sampai Rp 15.000.

Berdasarkan pantauan Kompas.com, pada Jumat pagi sudah ada beberapa pengunjung yang mendatangi lokasi.

Mereka hanya sekadar berfoto dan beristirahat sebentar, lalu pergi. Ramainya kebun bunga amarilis ini sekarang menjadi ikon baru Gunungkidul, bahkan hingga dibuat motif batik.

https://regional.kompas.com/read/2019/12/06/12134001/kisah-sukadi-pemilik-kebun-amarilis-awalnya-dicibir-sekarang-dicintai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke