Salin Artikel

"Nelayan Jadi Gagah di Tengah-tengah Kapal Asing"

Mereka menyatakan khawatir Indonesia akan kembali menjadi lumbung pencurian ikan.

Tapi pejabat di kementerian menyebut penenggelaman kapal asing menjadi langkah terakhir dan berencana menghibahkan kapal-kapal besar itu untuk keperluan kesehatan, tol laut, dan nelayan.

Salah seorang yang khawatir termasuk Sutrisno, Ketua Aliansi Nelayan Sumatera Utara.

Sutrisno gelisah begitu mendengar Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, takkan lagi gencar menenggelamkan kapal asing pencuri ikan.

Ia mengatakan menenggelamkan kapal justru menunjukkan keseriusan pemerintah menjaga kedaulatan maritim dan membuat jera para maling ikan.

"Jadi wacana tidak lagi menenggelamkan, kurang setuju. Itu tetap harus dilakukan," ujar Sutrisno kepada BBC News Indonesia.

Sutrisno mengatakan khawatir bila jika kebijakan itu tak lagi jadi prioritas, maka akan membuka peluang maraknya pencurian ikan dan menimbulkan konflik.

Keresahan yang sama juga diutarakan Darwati dan Musakorib, nelayan Tambak Polo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Sepasang suami-istri ini mendukung penuh penenggelaman kapal.

"Supaya kapal asing itu tidak mencuri ikan lagi," katanya.

Selama lima tahun Susi Pudjiastuti menjabat, setidaknya sudah 558 kapal ditenggelamkan dan kebanyakan berasal dari Vietnam dan Filipina.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, mengatakan aksi Susi itu ampuh membuat jera para pelaku pencuri ikan dan membuat nelayan tak takut menghadapi mereka.

"Nelayan jadi gagah di tengah-tengah kapal-kapal asing. Pride itu yang didapat dalam periode Susi," imbuh Susan.

Tak cuma itu, gara-gara Susi menenggelamkan kapal, hasil tangkapan nelayan tradisional di wilayah Indonesia timur meningkat kira-kira 20%.

Tapi di Pulau Jawa, tak begitu menggembirakan.

Namun demikian, apa yang dirintis Susi Pudjiastuti, perempuan asal Pangandaran tersebut takkan lagi diprioritaskan oleh Menteri Edhy Prabowo.

Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Miftah Sabri, mengatakan penenggelaman adalah jalan terakhir yang dilakukan kementerian.

Pemerintah, katanya, lebih memilih memanfaatkan kapal-kapal pencuri ikan itu untuk disulap menjadi Rumah Sakit Terapung, membantu praktek pelajar di sekolah pelayaran, atau dihibahkan ke nelayan.

"Apakah dengan menenggelamkan sebanding dengan kedaulatan? Itu sesat kalau menurut saya. Apakah menenggelamkan maling-maling tidak ada? Enggak, kita masih tangkap tuh. Enggak juga efek jera. Artinya ada yang salah juga dengan ini," ujar Miftah.

"Kapal itu banyak jenisnya ada yang 2000 Gross Ton (GT), kita mau tenggelamkan?".

Catatan kementerian, saat ini ada 72 kapal yang sudah inkrah putusan pengadilannya tapi hanya 45 yang bisa digunakan.

Untuk itu, kementerian sedang memilah mana yang bisa diserahkan ke Kementerian Kesehatan dan diserahkan ke nelayan.

"Kalau ukurannya layak dipakai nelayan 30 GT atau 100 GT mereka bisa bikin kelompok atau koperasi."

Karenanya KKP, kata Miftah, akan mendampingi para nelayan tradisional mulai dari memberi pelatihan sampai permodalan. Kalau perlu menerjunkan pengawas perikanan demi mencegah kapal itu jatuh ke tangan mafia.

"Kita sudah bicara dengan BRI dan bank-bank lain, mereka siap bantu [modal]. Kita harus tingkatkan kelas nelayan Indonesia."

Dia mengatakan kebanyakan nelayan tradisional di Indonesia terbiasa menggunakan kapal berkapasitas 3 Gross Ton (GT). Sementara kapal-kapal pencuri, kapasitasnya di atas 30 GT.

Sutrisno menyebut, setidaknya butuh waktu tiga sampai lima bulan untuk melatih nelayan. Hal lain, pemerintah harus mengucurkan modal besar karena sekali melaut, kapal sitaan itu menghabiskan Rp 200 juta untuk ongkos operasional.

"Makanya kalau dia [nelayan] bukan pengusaha, kapal yang diberikan pasti enggak akan bisa dioperasikan. Kalaupun koperasi, dalam bayangan pemerintah kayak apa? Kalau yang dikelola masyarakat belum bisa, kecuali yang dibuat pengusaha," tukasnya.

"Modal pun diberikan sampai betul-betul survive. Enggak bisa sekali."

Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Miftah Sabri, menyebut keputusan soal itu akan dikeluarkan awal tahun depan.

"Jadi masih dikaji. Poinnya, cantrang akan diatur, tidak dilarang. Apakah diatur dengan dilarang di tempat tertentu atau dalam periode tertentu, atau metode tertentu. Itu belum final," imbuhnya.

"Intinya itu akan jadi kado untuk pengusaha dan nelayan."

Kebijakan larangan cantrang dirancang Susi Pudjiastuti lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 karena tidak ramah lingkungan.

Susi kala itu menargetkan pada akhir 2017 sudah bisa diberlakukan, tapi di lapangan sebaliknya.

Nelayan di kawasan Pantai Utara Jawa menolak aturan itu dengan mendatangi Istana Negara.

Susi pun melunak dan memperpanjang tenggat.

Tapi kini, nelayan tradisional tengah was-was jika cantrang sampai dilegalkan kembali.

Darwati dan Musakorib, nelayan asal Tambak Polo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, mengatakan nasibnya bakal terancam.

"Kalau cantrang dibolehkan, lalu nasib saya dan anak-anak saya bagaimana? Sangat terancam," ujar Musakorib.

Kata Darwati, tiap kali melaut nelayan tradisional dan pengusaha kapal cantrang selalu bertengkar.

Pada Februari lalu, ia marah karena jaringnya tersangkut dan hilang.

"Saat pulang saya sambil menangis, karena yang saya punya hanya itu buat sehari-hari. Tapi kapal pukat harimau itu enggak tanggung jawab," tuturnya.

Gara-gara kapal cantrang pula, hasil tangkapan menurun bahkan kadang tak membawa hasil.

Cantrang, menurutnya, menyebabkan tempat mereka menjaring sudah tak lagi ditemukan ikan, akibat diborong cantrang. Belum lagi lokasi melaut yang semakin jauh dari biasanya.

"Sehari kadang cuma dapat Rp 100 ribu. Kadang enggak bawa hasil apapun."

"Harapan saya, nelayan kecil diperhatikan, kalau enggak, nasibnya sengsara."

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menilai penenggelaman kapal tetap diperlukan sesekali untuk memberi peringatan kepada pencuri ikan.

Ia khawatir, jika kebijakan itu ditiadakan akan memberi sinyal ke para pencuri ikan bahwa Indonesia "sudah memperlemah pengamanan".

"Paling buruk laut Indonesia berpotensi menjadi lumbungnya pencuri ikan," tukas Susan kepada BBC.

Menurutnya aksi penenggelaman kapal bisa ditiadakan jika kementerian sudah memiliki strategi yang jelas untuk menjaga laut Indonesia dari kapal-kapal asing. Hal lain, mendorong penegakkan hukum.

Pantauan KIARA, selama ini hukuman yang dijatuhkan pengadilan kepada pelaku pencurian ikan terbilang ringan.

"Rata-rata enggak lebih dari dua tahun dan denda enggak lebih dari Rp 300 juta. Yang dihukum juga kebanyakan ABK dan nakhoda, pemiliknya berat diseret ke jalur hukum."

"Sementara di Undang-Undang Perikanan, pidana penjara paling berat enam tahun dan denda Rp2 miliar."

KIARA, katanya, sejak lama menyarankan agar kapal sitaan itu dihibahkan ke sekolah perikanan atau dimusnahkan dengan mempreteli. Tapi tak dianjurkan untuk diberikan ke nelayan tradisional. Karena, dari 2,7 juta nelayan tradisional di Indonesia semuanya terbiasa melaut dengan kapal berkapasitas di bawah 7 GT.

"Kalau dikasih kapal itu [ke nelayan tradisional] enggak mungkin melaut. Biaya produksi mau pinjam dari mana? Kapal bantuan KKP saja mangkrak karena berat di ongkos," ujarnya.

Tapi kalaupun kementerian berkeras menghibahkan kapal-kapal itu ke nelayan, yang harus dilakukan menyiapkan mekanismenya dan bantuan modal yang besar.

"Bisa enggak fasilitasi modal dalam bentuk kelompok yang diinisiatif nelayan, bukan kelompok siluman."

https://regional.kompas.com/read/2019/11/22/12220051/-nelayan-jadi-gagah-di-tengah-tengah-kapal-asing-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke