Salin Artikel

Suparjiyem Kampanyekan Umbi-umbian agar Eksis di Tengah Gempuran Beras

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Suparjiyem, warga Desa Wareng, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, terus mengampanyekan makanan sehat yang berasal dari hasil pangan lokal.

Gunung Kidul memiliki potensi besar untuk mengembangkan pangan lokal.

"Kedua orangtua saya itu PNS sehingga sejak kecil sudah terbiasa makan nasi, tetapi teman-teman waktu sekolah banyak yang membawa tiwul," Katanya saat ditemui seusai mengikuti seminar dan lokakarya hari pangan sedunia XXXIX di Pemkab Gunung Kidul, Sabtu (26/10/2019). 

Mulai dari situlah dirinya menyukai makanan lokal dan berlanjut hingga saat ini.

Dia menceritakan, pada 1985 dirinya lulus SMA, ada lomba desa, seluruh warga desa dilarang memasak tiwul. Dirinya nekat tetap memasak tiwul dan menyembunyikannya.

"Dulu itu lomba desa enggak kaya sekarang. Dulu lomba desa itu sampai masuk ke dalam rumah," ucapnya.

Tekad Suparjiyem sudah bulat menjadi seorang wanita petani. Dirinya pun mulai menanam umbi-umbian, seperti singkong, gembili, uwi, dan garut.

Umbi-umbian, menurut dia, bisa diolah menjadi makanan sehat seperti nasi, hingga dibuat camilan.

"Makanan dari umbi-umbian itu sejak ada padi tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Padahal, itu merupakan makanan sehat dan tanpa dibudidayaakn secara khusus sudah tumbuh dengan sendirinya," katanya. 

Saat ini, bersama 31 anggota Kelompok Tani Wanita (KWT) Menur, dirinya terus memperkenalkan makanan lokal tersebut. Tanaman lokal itu saat ini sudah ditanam ribuan batang oleh anggotanya, dan hasilnya diolah menjadi makanan.

Dirinya tak mau mengubah makanan dari umbi-umbian itu menjadi penganan yang lebih modern.

"Menanam singkong, uwi, suweg tidak perlu bahan kimia dan pestisida. Selain itu, tahan kekeringan," ucapnya. 

Kegigihan ibu dua orang anak itu untuk memperkenalkan potensi pangan lokal membawanya ke kancah nasional hingga sering menjadi pembicara. Tak hanya itu, dirinya juga pergi ke beberapa negara.

Beberapa tahun terakhir, dirinya sudah tiga kali diundang ke sejumlah negara, seperti Thailand, Sri Lanka, dan Australia.

"Di Australia, saya mengajari memasak sayuran dan umbi-umbian. Di sana banyak tumbuh sayuran. Orang di sana itu banyak yang tidak makan daging, jadi saya ajari mengolah makanan, seperti terong balado," ujarnya. 

Dia berharap, ke depan pemerintah bisa membuat aturan untuk meningkatkan pamor makanan lokal, seperti menyediakan makanan lokal jika ada tamu yang datang.

"Pada event tertentu sebaiknya pemerintah menyediakan nasi jagung atau nasi sorgum," katanya. 

Potensi di Gunung Kidul tinggi 

Salah seorang pembicara seminar, Kolonel Tugiman menambahkan, potensi di Gunung Kidul untuk pertanian tinggi, tetapi minim inovasi. Selain itu, belum ada pemberdayaan maksimal bagi para petani.

"Petani kita masih mengelola secara tradisional sehingga perlu adanya kreasi dan inovasi. Potensi kita itu luas," katanya.

"Itu (petani berani berinovasi) butuh waktu dan proses panjang," katanya. 

Menurut dia, hasil pertanian menyesuaikan kebutuhan pasar, seperti petani sudah bisa mengembangkan buah yang disukai masyarakat, antara lain durian dan alpukat. 

Akademisi Universitas Pasundan ini menilai, tanah di Gunung Kidul sebagian cocok untuk budidaya buah.

"Petani harus berani berinovasi, produk pertanian juga menyesuaikan pasar," katanya. 

https://regional.kompas.com/read/2019/10/28/10511411/suparjiyem-kampanyekan-umbi-umbian-agar-eksis-di-tengah-gempuran-beras

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke