Salin Artikel

Untuk Mempertahankan Tradisi Lisan Harus Disokong Anggaran Memadai

Tradisi lisan adalah satu dari sepuluh obyek pemajuan kebudayaan yang termaktub di dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi semua pihak, utamanya pemerintah, untuk menyokong pemertahanan tradisi lisan melalui anggaran yang memadai agar tidak musnah dilahap zaman.

Demikian dikatakan Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadjamuddin Ramly sebagai pembicara kunci acara Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan XI (Lisan XI) di Aula Prof Mattulada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (26/10/2019).

Selain tradisi lisan, sembilan obyek pemajuan kebudayaan lainnya meliputi manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisonal.

Nadjamuddin mengatakan, kebudayaan adalah semacam tenda besar dari seluruh elemen kepentingan kita sebagai manusia.

Di dalamnya ada banyak sektor, termasuk kesehatan hingga pariwisata. Oleh karena itu, keberpihakan kepada kebudayaan adalah sebuah keharusan.

"Pemerintah daerah yang peduli kebudayaan bisa dilihat dari seberapa besar APBD untuk kebudayaannya. Selama ini kebudayaan menjadi pelengkap penderita. Dalam urusan seni, misalnya, seniman itu cuma dikasih uang transportasi kecil, padahal sudah menari dan menyanyi untuk acara penyambutan. Itu sewa kostumnya berapa, sudah pakai riasan wajah. Bagaimana kita menghargai semua itu," kata Nadjamuddin.

Dalam hal tradisi lisan, selama ini Asosiasi Tradisi Lisan tidak pernah lelah bergiat untuk bertahan.

Bagaimana pewarisan tradisi bisa terus berlanjut ketika para penutur asli sudah banyak yang meninggal.

Selain itu, ATL juga telah bermitra dengan pemerintah dalam pencatatan warisan budaya Nusantara, yang di dalamnya tercakup sepuluh obyek pemajuan kebudayaan.

Berdasarkan data WDB Ditjen Kemdikbud, saat ini telah tercatat 8920 karya budaya, yang dihimpun sejak tahun 2010 hingga 2018 (per 2 September 2018). Perinciannya, 1.108 karya budaya (2010), 1.000 (tahun 2011), 906 (tahun 2012), 1.142 (tahun 2013), 814 (tahun 2014), 1.268 (tahun 2015), 1.003 (tahun 2016), 844 (tahun 2017), dan 835 (tahun 2018).

Menyesuaikan zaman

Pembicara kunci lain yang juga Dewan Pembina ATL, Mukhlis PaEni mengatakan, tradisi lisan selalu menyesuaikan dengan irama zaman setiap ia lahir kembali dan setiap kali dipentaskan.

Mungkin ada penambahan dan pengurangan dalam setiap pertunjukan, tergantung pada kondisi lingkungan dan persoalan yang terjadi di masyarakat. Ia selalu berubah tanpa mengubah filosofi dan makna.

Namun, tradisi lisan mungkin bisa berubah jika terjadi peristiwa yang mengubah tatanan besar masyarakat.

Mukhlis mencontohkan, tradisi Bissu di Wajo, Sulsel, yang sempat mati suri karena mendapat tekanan besar dari kalangan organisasi Islam.

"Bissu di Wajo seperti hidup di dalam kepompong. Ia kemudian muncul kembali dengan atribut berbeda. Bissu yang dulu memakai kostum khas dengan busana adat, kini muncul dengan berjilbab. Kontennya sama, nyanyiannya sama, tapi ada yang berubah. Nama Lapattoko menjadi Hajjah Jannah. Ini satu contoh," kata Mukhlis.

Sementara itu, Ketua Umum ATL Pudentia MPSS menekankan pentingnya kode etik dalam kajian tradisi lisan.

Perlindungan tradisi lisan seperti tercantum dalam Konvensi UNESCO 2003 merupakan general interest to humanity.

Deklarasi itu bisa dimanifestikan dalam segala bidang, dan untuk itu kode etik harus dijalankan.

Hal lain adalah soal pemajuan kebudayaan, bahwa kebudayaan adalah investasi. Kerja kebudayaan tidak akan mengambil uang pemerintah belaka.

Untuk masa depan bangsa, kita semua tidak lain harus memajukan kebudayaan. Kita menjadi motor penggerak.

Dari Tambua Gendang hingga Sawakka

Lisan XI mempresentasikan 64 makalah dari 26 perguruan tinggi dan sepuluh pemakalah dari luar negeri, yakni dari Swedia, Belanda, Malaysia, Jepang, Perancis, Singapura, dan Vietnam.

Oleh karena itu, masing-masing pemakalah menyajikan tema yang sangat variatif.

Dari Sumatera Barat, misalnya, muncul tema ekspresi budaya tradisional melalui pertunjukan musik Gandang Tambua Maninjau.

Sementara dari Talaud, Sulawesi Utara, hadir tema tradisi lisan Sawakka bagi kehidupan masyatakat Talud.

Tema-tema lain di antaranya tetang Ritual Burdah Keliling di Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo yang dipercaya mampu menangkal radikalisasi agama.

Tema yang juga menarik adalah Bebeto, yakni teks lisan milik masyarakat Gura Bunga Kota Tidore Kepulauan, yang digunakan untuk ritual Salai Jin untuk melawan daya gaib negatif yang ditujukan kepada seseorang.

Dari Banyuwangi, ada tema tradisi Keboan Aliyan yang berubah dari ritual menjadi festival.

https://regional.kompas.com/read/2019/10/26/19580671/untuk-mempertahankan-tradisi-lisan-harus-disokong-anggaran-memadai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke