Salin Artikel

Kisah Suratmo, Penjual Angkringan yang Bayar Sekolah Anaknya dengan Uang Koin

Tak hanya itu, beberapa anak juga membeli makan maupun cemilan. Tampak dua orang pria dan perempuan mengenakan kaos, sibuk melayani anak-anak tersebut. Dengan ramah dan sabar, keduanya melayani satu per satu pesanan.

Pria ini adalah Suratmo (67) dan istrinya, Wartinah (52). Pasangan suami istri ini sudah cukup lama berjualan angkringan di depan rumahnya.

Berjualan angkringan inilah satu-satunya sumber pendapatan bagi pasangan suami istri ini untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pasangan suami istri ini dianugerahi tiga orang anak.

Dua anaknya saat ini sudah lulus sekolah dan bekerja. Sementara anak nomor tiga masih sekolah di SMK Negeri di Yogyakarta.

Pendapatan dari warung angkringan yang tidak menentu, membuat Suratmo harus mempunyai cara untuk bisa membiayai anaknya sekolah. Cara yang dilakukan oleh Suratmo adalah dengan rajin mengumpulkan uang koin.

Bahkan beberapa waktu lalu, dengan uang koin yang dikumpulkannya itu, Suratmo membayar uang sekolah anaknya sebesar Rp 1,2 juta.

Suratmo menceritakan awalnya, ia bekerja di pembuat kancing anting-anting. Sembari bekerja itu, ia juga berjualan gorengan di pinggir Lapangan Karang, Kotagede, Kota Yogyakarta.

"Terus kan ada krismon (krisis moneter) itu, terus sepi order yang kancing suweng (anting-anting)," ujar Suratmo saat ditemui di warung angkringanya, di Prenggan Utara, Kotagede, Kota Yogyakarta, Jumat (27/09/2019).

Suratmo lantas memutuskan untuk berjualan bubur dan nasi di depan rumahnya. Hal itu dilakukannya seiring dengan lahirnya anak ketiga. Sementara saat itu, anak pertamanya masih duduk di SMK dan anak kedua SMP.

"Anak pertama (lahir tahun) 84, anak kedua 88 anak ketiga itu 2001," ungkapnya.

Penghasilanya berjualan bubur dan nasi yang tidak menentu membuat Suratmo ikut bekerja sebagai tukang bangunan. Saat menjadi tukang bangunan itu, ia kepikiran untuk membuka warung angkringan.

Uang hasil bekerja sebagai tukang bangunan itulah yang digunakannya sebagai modal awal membuka angkringan.

"Saya beberapa hari jadi tukang itu dapat uang Rp 20.000. Terus saya bilang ke istri, tolong ke pasar beli bahan-bahan, nanti sore saya mau buka angkringan," urainya.

Keterbatasan ekonomi membuat Suratmo harus berpikir panjang ke depan. Terutama untuk kelangsungan anak-anaknya dalam menempuh pendidikan.

Sebab Suratmo menyadari biaya sekolah terhitung tinggi, sementara pendapatanya dari warung angkringan tidak menentu. Bapak tiga orang anak ini mulai menyisihkan penghasilannya.

Awal-awal Suratmo menyimpan uang kertas yang dimasukan di antara koran. Namun di luar dugaan, uang yang ia kumpulkan itu justru dimakan rayap.

"Waktu itu menabung uang kertas. Uang saya taruh di antara koran, tiga bulan tidak dibuka, waktu saya buka itu uang Rp 5.000 tinggal angkanya," katanya.

Dari pengalaman itulah, Suratmo mulai mengumpulkan uang koin. Uang koin yang ia kumpulkan mulai dari Rp 100, Rp 500 hingga Rp 1.000.

Uang koin itu ia kumpulkan di dalam kaleng bekas oli.

"Saya mengumpulkan koin karena mampunya itu. Ya, kalau jualan laris Rp 1.000, kalau lagi sepi Rp 500, yang penting setiap hari," ungkapnya.

Menurut Suratmo, dilihat dari nominalnya, memang itu hanya uang koin Rp 100 atau Rp 500. Tetapi kalau rajin dikumpulkan setiap hari, maka bisa untuk membayar sekolah.

Diceritakannya, saat anak keduanya bersekolah di SMK, ia juga membayar biaya sekolah dengan uang koin yang dikumpulkan. Uang koin itu juga tidak ditukarkan dengan uang kertas.

"Tidak saya tukarkan, ya apa adanya, tapi saya lupa berapa waktu itu. Uang koin ini kan uang resmi, jadi ya diterima," ungkapnya.

Beberapa waktu lalu Suratmo membuka uang koin yang dikumpulkannya untuk membayar uang biaya sekolah anaknya nomor tiga, Tri Ratna Handayani Pamungkas.

Ratna saat ini duduk dibangku sekolah menengah kejuruan (SMK) di Yogyakarta.

Uang koin yang digunakan untuk membayar waktu itu sebanyak Rp 1,2 juta.

"Uang koin itu saya masukan ke plastik, terus saya serahkan ke sekolah. Dulu waktu daftar masuk pertama juga saya bayarnya dengan uang koin," bebernya.

Menurutnya, uang koin untuk membayar sekolah tidak ditukarkan dalam bentuk uang kertas. Ia membawa uang koin tersebut dalam sebuah plastik. Bahkan pernah Suratmo membawa uang koin ke sekolah dengan kardus.

"Tidak saya tukarkan, ya apa adanya, tapi saya lupa berapa jumlahnya waktu itu. Uang koin ini kan uang resmi, jadi ya diterima," katanya.

Baginya, pendidikan adalah sesuatu yang penting. Karenanya, ia dan istrinya selalu berusaha keras agar anak-anaknya tetap bisa sekolah.

"Agar pandai, masa depanya lebih baik, hidupnya lebih baik. Jadi sesulit apa pun, saya berusaha agar anak tetap sekolah," katanya.

Selama ini, lanjutnya, Suratmo dan istrinya tidak pernah memaksa agar anak-anaknya membantu berjualan. Ia menginginkan anak-anaknya fokus belajar.

"Mereka juga tidak pernah rewel minta ini, minta itu. Sekarang dua anak saya sudah kerja, saya tidak pernah meminta tapi mereka sering membantu," tuturnya.

Suratmo mengatakan, sampai saat ini ia masih rutin mengumpulkan uang koin. Sebab, anaknya nomor tiga masih sekolah.

"Saya akan tanya apakah mau lanjut kuliah atau kerja. Kalau mau kuliah, ya akan saya biayai demi masa depan anak," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2019/09/29/10041481/kisah-suratmo-penjual-angkringan-yang-bayar-sekolah-anaknya-dengan-uang-koin

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke