Salin Artikel

Ditinggal Suami, Seorang Ibu Bolak-balik Tempuh 100 Km Didik Anaknya yang Autis

Tak banyak penumpang di dalamnya. Di antaranya terdapat Camelia Sulandi (42) dan putranya Andri Sanputra (14).

Ini adalah perjalanan cukup melelahkan yang ditempuh ibu dan anak itu setiap pekannya.

Dari rumah mereka di Desa Keposang, Bangka Selatan, keduanya merapah rute sepanjang hampir 100 kilometer menuju Pusat Layanan Autis (PLA) di Pangkal Pinang.

Bagi Camelia, tujuannya hanya satu. Sang buah hati bisa hidup normal dan mandiri seperti anak-anak lainnya.

"Untuk terapi harus dibawa ke PLA. Kalau di rumah saja, ilmunya tidak cukup dan tidak tersusun," kata Camelia saat berbincang dengan Kompas.com di ruang istirahat PLA, Senin (16/9/2019).

Tanpa terasa sudah tiga tahun lamanya Camelia dan putranya bolak-balik Toboali-Pangkalpinang.

Tak terhitung lagi biaya dan waktu yang dikorbankan demi pengobatan anaknya itu.

"Sekali berangkat bisa Rp 140.000. Dari rumah ongkos ojek Rp 20.000. Naik bus Rp 40.000. Beruntung anak hitungannya masih sekolah sehingga kena Rp 10.000 dan biaya makan yang harus dikeluarkan," ujar dia.

Single parent

Camelia adalah potret seorang wanita single parent. Sejak sembilan tahun terakhir, Ia membesarkan anaknya seorang diri.

Suaminya pergi meninggalkan rumah karena tak kuat menanggung beban hidup yang dihadapi.

Bekerja secara serabutan dengan penghasilan tak menentu menjadi salah satu penyebab sang ayah pergi tak pernah kembali.

Tak hanya soal ekonomi. Kondisi si bungsu yang tumbuh dengan kebutuhan khusus diduga ikut menjadi penyebab retaknya rumah tangga.

Kini tinggallah Camelia menjadi seorang wanita super hero.

Apa pun dikerjakannya asal mendapat rezeki yang halal. Mulai dari pembersih ladang orang, tukang cuci piring hingga tukang petik sahang (lada) dilakoninya.

Sementara di rumah, Camelia dibantu anaknya mulai mengusahakan pembuatan makanan alami khusus untuk anak berkebutuhan khusus. Ada kemplang, abon dan tepung ubi yang dihasilkan.

'Alhamdulillah walau pas-pasan bisa untuk ongkos terapi dan biaya si sulung yang kini sedang kuliah," ujar Camelia dengan sikap tegar.

Tak menyerah demi sang anak

Raut kesedihan sesekali melintas saat Camelia mengenang masa-masa awal menjalani sendiri tanggungjawab membesarkan anak.

Namun seiring perjalanan waktu, anak-anaknya terus bersekolah. Meskipun harus banting tulang, peras keringat, Camelia tak mau menyerah.

Senyum bahagianya muncul saat melihat si bungsu bisa memotong ikan sendiri. Kemudian membantunya mengolah menjadi abon.

"Dulunya Andri sering berperilaku hiperaktif. Bahkan cenderung menyakiti diri sendiri. Sekarang mulai terkendali dan bisa merangkai kata," ujar Camelia.

Bekas luka di pergelangan tangan Andri masih terlihat jelas. Dulunya ia suka menggit tangan hingga terluka jika kehendaknya tidak terpenuhi.

Andri juga kerap berlarian tak tentu arah, bahkan hingga ke jalan raya.

Kondisi demikian semakin memperdalam kekhawatiran Camelia, sebagai seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkan anaknya itu.

Terapi wicara

Berbagai upaya pun dilakukan untuk membimbing Andri menuju kehidupan normalnya.

Salah satunya melalui terapi wicara. Camelia mendampingi anaknya dan tak bosan-bosannya terus saling berkomunikasi. 

Berbagai alat peraga seperti gambar, menjadi media komunikasi ibu dan anak itu.

Sampai suatu saat ketika berumur 10 tahun Andri bisa mengucapkan kata "mama". Selanjutnya Ia mulai mampu mengeja namanya sendiri.

"Karena memang anak berkebutuhan khusus, jadi tak bisa dilepaskan. Sehari saja tak didampingi, apa yang diketahuinya bisa hilang lagi," beber Camelia.

Dia pun berharap, Andri bisa mendapatkan kehidupan normalnya dan melakoni usaha mandiri.

"Harapannya selagi saya hidup, Andri sudah bisa hidup mandiri. Pertolongan dari saudaranya tak akan sama dengan saya sebagai ibu," ucapnya. 

Kelas transisi

Perkembangan motorik Andri yang terus membaik, membuat dirinya kini berada di kelas transisi PLA.

Materi pembelajaran yang diterimanya pun kian beragam. Mulai dari pengenalan jender, simulasi responsif hingga olahraga memanah.

"Kelas ini harus rutin diikuti. Andri pernah vakum dan mulai aktif April 2019. Sehingga dia sempat lupa perbedaan jender," ujar tenaga pengajar, Mutia Mutmainah.

Kevakuman Andri dan ibunya selama beberapa bulan tak bisa dilepaskan dari faktor ekonomi.

Ketika itu dalam waktu bersamaan, si sulung diterima kuliah di perguruan tinggi negeri.

Andri mau tak mau harus mengalah. Urusan belanja sementara waktu difokuskan untuk pendidikan sang kakak.

Koordinator Kelas Transisi, Ratna Dewi mengatakan, Andri merupakan satu dari sebelas anak yang sedang mengikuti program.

"Peserta dari usia 5 tahun sampai 14 tahun. Andri yang paling tinggi umurnya," ucapnya. 

Informasi yang dirangkum Kompas.com, anak dengan autisme cenderung kesulitan berkomunikasi dengan orang lain, termasuk berbicara, memahami pembicaraan, hingga membaca dan menulis.

Selain itu beberapa masalah komunikasi lainnya, antara lain kesulitan memulai percakapan, memahami perkataan dan mengikuti petunjuk.

Anak dengan autisme umumnya juga bermasalah dalam memahami penggunaan bahasa tubuh seperti menunjuk, melambai, atau memperlihatkan suatu objek kepada orang lain.

Ciri-ciri lain anak autis, seperti mengulang-ulang satu kata yang baru didengar atau didengar beberapa waktu lalu, mengatakan sesuatu seakan dalam nada lagu, atau melakukan tantrum untuk mengungkapkan keinginan.

https://regional.kompas.com/read/2019/09/17/07421261/ditinggal-suami-seorang-ibu-bolak-balik-tempuh-100-km-didik-anaknya-yang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke