Sejumlah mahasiswa terlihat menikmati makanan di warung itu. Ada juga yang memilih membungkus untuk dibawa pulang. Rata-rata, yang pulang bawa bungkusan, ya anak kosan.
Weci, tempe goreng, telur, ayam goreng dan tongkol, menu khas warung ini yang tersaji di meja, terus berkurang dalam hitungan menit karena mahasiswa terus berdatangan.
Sukirman (57), pemilik Warung Lengko, mengatakan, lengko sebenarnya adalah makanan khas Tegal, Jawa Tengah.
Meski demikian, makanan itu banyak disukai oleh mahasiswa lintas daerah yang belajar di kampus biru ini.
Jualannya bangkrut saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998. Harga buah-buahan melejit sehingga dia harus gulung tikar.
"1998 krisis moneter, buah harganya naik tajam," katanya.
Berhenti berjualan buah tidak membuat Sukirman menyerah di tanah rantau. Setahun berikutnya, pada tahun 1999, Sukirman mulai berjualan nasi lengko, makanan khas daerah asalnya.
Dia berjualan di pelataran Masjid Raden Patah, masjid yang berada di dalam komplek kampus Universitas Brawijaya. Sukirman memanfaatkan momen wisuda untuk memulai usaha baru.
Karena banyak yang menyukai makanan dagangannya, Sukirman lantas berjualan nasi lengko setiap hari hingga menjadi langganan mahasiswa.
"Saya (dari awal) niatnya jual nasi lengko, khas dari Tegal. Ternyata sampai sekarang lancar," ungkapnya.
Saat Masjid Raden Patah direnovasi pada 2008, Sukirman memindahkan warungnya ke gedung Student Center. Dia berada di bawah binaan Lembaga Pengabdian Masyarakat UB.
Kemudian pada tahun 2011, Sukirman terpaksa keluar dari komplek itu karena akan dibangun gedung Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
"Memang ada surat perjanjian, bilamana tempatnya dibangun harus pindah," katanya.
Saat itu, Sukirman tidak memiliki tempat untuk berjualan. Hingga akhirnya dia ditawari tempat di depan sebuah kontrakan oleh sejumlah mahasiswa. Hingga saat ini, Sukirman masih berjualan di rumah kontrakan itu.
"Saya diajak berjualan di sini oleh mahasiswa. Dulu yang kontrak di sini adalah mahasiswa. Saya berjualan di depannya," katanya.
"Enam bulan kemudian, mahasiswa itu tidak nerusin kontrak karena sudah lulus, saya yang meneruskan kontrak di sini sampai sekarang," ungkapnya.
Lokasi kontrakan itu cukup strategis untuk mahasiswa UB. Berada di depan pintu gang keluar kampus UB bagian timur.
Pintu gang yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki itu menjadi tempat perlintasan mahasiswa UB yang ingin menuju ke kompleks perkampungan di Jalan Mayjen Panjaitan RT 9 RW 6 Kelurahan Penanggungan, Kecamatan Klojen, Kota Malang.
Sukirman konsisten hanya menjual nasi lengko, menu khas Tegal yang membuatnya bertahan hingga saat ini meskipun dia sempat menambahkan dengan menu Nasi Ketoprak.
Nasi Lengko merupakan nasi dengan bumbu kacang dengan sayuran berupa irisan mentimun, kecambah dan gubis serta kerupuk. Meski sama-sama bumbu kacang, Nasi Lengko berbeda dengan Nasi Pecel. Cita rasanya juga berbeda.
Sementara untuk lauk, Sukirman membebaskan pelanggan untuk mengambil sendiri. Pada sebuah meja memanjang, Sukirman menaruh berbagai aneka lauk, mulai dari weci, tahu isi, tempe, tongkol, telur dadar, ayam goreng dan ayam kecap.
"Menunya memang gini. Ikannya (lauk) yang tambah. Dulu tidak ada ayam, sekarang ada," katanya.
Setiap porsi Nasi Lengko dijual dengan harga Rp 5.000. Sedangkan harga lauknya bervariasi. Tongkol Rp 4.000, ayam Rp 5.000, tahun isi Rp 1.000 dan telor dadar Rp 1.000.
Selain rasanya yang enak, harganya yang terjangkau menjadi alasan banyak mahasiswa datang ke warung yang buka sejak pukul 04.00 WIB dan tutup pada pukul 14.30 WIB itu.
Sukirman pun mengatakan, tidak jarang menjumpai wajah-wajah lama mahasiswa Universitas Brawijaya tiba-tiba muncul di warungnya.
Mereka, para alumni Brawijaya yang datang ke Malang, lanjut dia, mengaku sengaja meluangkan waktunya untuk merasakan kembali Nasi Lengko.
"Banyak yang kangen. Telepon sama teman-temannya, Lengko masih ada nggak. Banyak yang masih cari," ungkapnya sambil tersenyum.
https://regional.kompas.com/read/2019/09/03/07352431/jangan-ngaku-anak-universitas-brawijaya-kalau-tak-kenal-warung-lengko-yang