Salin Artikel

Balai Arkeologi Sumsel: Ridwan Saidi yang Ngelantur

Arkeolog dari Balai Arkelogi (Balar) Sumatera Selatan Retno Purwati mengatakan, seluruh prasasti peninggalan Sriwijaya bukan ditulis dengan menggunakan bahasa Armenia, melainkan menggunakan aksara atau huruf Pallawa dan berbahasa Melayu kuno.

"Ridwan Saidi yang ngelantur. Memang (dia) bisa baca aksara Pallawa dan paham bahasa Melayu Kuno?" kata Retno, Rabu (28/8/2019).

Retno menerangkan, prasasti pertama yang ditemukan dan menyebutkan nama Sriwijaya adalah prasasti Kota Kapur ditemukan pada tahun 1892 oleh seorang peneliti bernama Kern.

Nama Sriwijaya mulanya diidentifikasi sebagai nama raja.

Tulisannya yang mengulas soal itu terbit tahun 1913. Setelah itu, pada 1918 George Coedes juga menerbitkan tulisan dengan judul "Le Royueme Sriwijaya" yang mengidentifikasi nama Sriwijaya sebagai nama kerajaan.

Hal itu didukung dengan penemuan prasasti Kedukan Bukit yang di situ ada tiga pertanggalan.

Di dalam pertanggalan itu membuat vanua Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 682 (konversi masehi). Selain itu, ada prasasti Telaga Batu yang menyebut struktur wilayah dan struktur birokrasi Sriwijaya.


Ditambah lagi ditemukannya prasasti Talang Tuo berangka tahun 686 Masehi tentang Taman Sriksetra.

Selanjutnya, prasasti Bukit Siguntang, Boom Baru, Sabokingking, Kambangunglen, dan lain sebagainya.

"Temuan terbaru adalah prasasti Kota Kapur II, Baturaja, dan Prasasti Siddhayatra yang ditemukan di Palembang," jelasnya.

Selain penemuan prasasti di Palembang, para peneliti juga menemukan 19 situs yang beberapa di antaranya sudah didating dengan carbon (carbon dating) atau C14, dan diperoleh pertanggalan 650-686.

"Di sana ada satu zaman dengan prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo. Ada banyak temuan arca yang gaya seninya dari abad ke-9. Kalau arca yang dari abad ke-7 itu, arca Buddha dari Bukit Siguntang. Masih banyak bukti lainnya yang mendukung bahwa pada abad ke-7-10 M Kedatuan Sriwijaya ada di Palembang," ungkapnya.

Sebelumnya, Ridwan Saidi mengklaim telah 30 tahun mempelajari bahasa kuno guna menelisik jejak keberadaan Kerajaan Sriwijaya.

Hasil penelusuran itu membawanya pada satu hipotesis, yakni kerajaan tersebut fiktif belaka.

"Saya sudah 30 tahun mempelajari bahasa-bahasa kuno. Banyak kesalahan mereka (arkeolog), prasasti di Jawa dan Sumatera adalah bahasa Melayu, tapi sebenarnya bahasa Armenia," ujar Ridwan ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (28/8/2019).


"Bahasa Armenia memberi pengaruh besar pada bahasa Melayu. Jangan dibalik," lanjutnya.

Pria 77 tahun yang memberi pengantar pada buku kontroversial Garut Kota Illuminati itu menganggap, prasasti-prasasti yang selama ini dijadikan dasar bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya ditafsirkan secara keliru.

Menurut dia, apabila dibaca dengan bahasa Armenia, prasasti-prasasti itu bukan sedang menjelaskan adanya Kerajaan Sriwijaya.

"Oleh arkeolog dipukul rata itu bahasa Sanskerta, itu yang harus dikoreksi. Masa enggak boleh dikoreksi. Bantahlah argumentasi saya bahwa menggunakan prasasti Kedukan Bukit (sebagai bukti adanya Kerajaan Sriwijaya) salah karena yang mereka (arkeolog) andalkan itu. Maka saya katakan Kerajaan Sriwijaya itu fiktif," kata Ridwan.

Dia juga mengaku sudah menelusuri langsung jejak-jejak keberadaan Kerajaan Sriwijaya. Semua penelusuran itu ia lakukan seorang diri, tanpa guru, tanpa kolega.

"Iya betul sekitar 1988-1989 saya sudah mulai (belajar bahasa kuno). Saya sendiri saja. Gurunya siapa, kan enggak ada kursusnya. Saya juga ngecek dong, saya sudah ke Palembang, ke prasasti Kedukan Bukit, situs-situs sudah saya kunjungi semua kok," katanya.

https://regional.kompas.com/read/2019/08/28/19320811/balai-arkeologi-sumsel-ridwan-saidi-yang-ngelantur

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke