Salin Artikel

Belajar Filosofi Satu Tungku Tiga Batu, Penguat Toleransi di Fakfak Papua Barat

Kalimat tersebut diucapkan Abbas Bahambah (61), budayawan Fakfak saat menceritakan kuatnya toleransi di Papua Barat, tepatnya di Kabupaten Fak-fak.

Ia menceritakan masyarakat Fakfak Papua Barat memiliki filosofi satu tunggu tiga batu yang dikenalkan nenek moyang mereka sejak zaman dulu.

Satu tungku tiga batu adalah dasar kerukunan di Fak-fak, Papua Barat. Tungku adalah simbol dari kehidupan, sedangkan tiga batu adalah simbol dari "kau", "saya" dan "dia" yang membuhul perbedaan baik agama, suku, status sosial dalam satu wadah persaudaraan.

Abbas menjelaskan pada zaman dahulu, orang Mbaham Matta Wuh memasak di atas tungku unik yang terdiri dari tiga batu besar yang berukuran sama lalu disusun dalam satu lingkaran dengan jarak yang sama sehingga bisa menopang kuali untuk memasak.

“Batunya harus kuat, kokoh dan tahan panas serta tidak mudah pecah. Kayu bakar diletakkan di sela-sela batu untuk memasak. Lalu kuali diletakkan di atasnya untuk memasak. Harus imbang, tidak boleh timpang. Kalau tidak, kuali akan jatuh dan pecah.

Itulah simbol. Satu tungku tiga batu itu kemudian menjadi pegangan hidup masyarakat Fakfak. Dulu hanya diwariskan secara turun temurun di keluarga baru sekitar tahun 1990-an dirumuskan secara resmi oleh pemerintah kabupaten,” jelas Abbas.

Ia bercerita sejak lama Fakfak dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, salah satunya adalah pala.

Hal tersebut yang membuat banyak pedagang yang singgah ke Fakfak, termasuk pedagang dari Tidore dan Ternate yang memeluk agama Islam untuk berniaga.

Filosofi ini mengarah kepada adat, agama dan pemerintah.

Etnis Mbaham Matta Wuh adalah masyarakat adat tertua yang ada di Kabupaten Fakfak Provinsi Papua. Fakfak juga menjadi salah satu kota tertua di provinsi tersebut.

Di buku itu, Lefaan dan Lelapary juga menjelaskan, Ko, on, kno mi mbi du Qpona atau yang dikenal satu tungku tiga batu mengandung arti yang sama, tiga posisi penting dalam kekerabatan etnis Mbaham Matta Wuh.

Ko, on, kno mi mbi du Qpona atau satu tungku tiga batu artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak.

Jika satu dari kaki rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat.

Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Ketiga batu yang sama kuat itu, dilambangkan sebagai tiga pihak yang sama kuat dan menjadi kesatuan yang seimbang.

Fakfak kemudian menjadi identifikasi diri warga asli yang bermukim sejak masa nenek moyang yang ditandai dengan nama marga sebagai identitas dan digunakan hingga saat ini.

Lalu mereka disebut "anak negeri" untuk membedakan dengan pendatang dari luar wilayah Fakfak, baik dari dalam maupun luar Papua.

Perniagaan dengan Tidore dan Ternate yang kuat menjadi salah satu alasan Islam berkembang pesat di wilayah Fakfak.

“Penduduk Fakfak mayoritas beragama Islam, berbeda dengan wilayah lain di Papua. Bahkan ada yang menyebut bahwa Fakfak adalah serambi Mekkahnya Indonesia, tapi toleransi di sini sangat tinggi,” jelas Abas.

Ia mencontohkan saat perayaan hari raya Idul Fitri, umat Nasrani yang akan menjadi panitianya. Demikian juga sebaliknya, saat Natal, maka umat Islam akan ikut mengurus acara perayaannya.

Termasuk saat pemberangkatan jamaah haji asal Fakfak atau upacara pentahbisan di gereja, Abbas mengatakan semua umat lintas agama akan ikut terlibat.

“Yang membedakan adalah ritual keagamaan. Yang agamanya beda tentu tidak akan terlibat pada ritualnya. Setiap hari raya kita juga pelesiran, berkunjung atau bersilaturhami karena dalam satu marga keluarga ada beberapa agama di dalamnya. Ini adalah bentuk kerukunan,” jelas Abbas.

Kerukunan antar-umat beragama juga terlihat saat masuk bulan Safar dalam kalender Islam. Semua umat lintas agama mengikuti tradisi mandi safar dengan saling menyiram air serta menggelar makan bersama.

Selain itu, jika ada masalah atau konflik yang terjadi di masyarakat, maka akan diselesaikan secara adat.

Fauzhya (26), warga kompleks Pantai Raja Fakfak menjelaskan, filosofi satu tungku tiga batu secara spontan mengajarkan bahwa perbedaan justru menjadi sarana untuk menyatukan.

”Nyaris kami tidak pernah bahkan tidak ada waktu untuk membeda-bedakan agama satu dengan yang lain. Satu tungku tiga batu ini senafas dengan Bhineka Tunggal Ika,” jelasnya.

Namun, menurut Fauzhya, filosofi satu tungku tiga batu bukan hanya dipraktikkan dalam kehidupan sosial, tetapi juga di lingkungan keluarga, yaitu dalam anggota keluarga dalam satu nama marga memeluk agama yang berbeda.

“Marga saya Uswanas beragama Islam, tapi ada saudara saya yang beragama lain tetapi juga menggunakan marga Uswanas. Hal ini sangat tidak jadi masalah. Kalaupun ada yang berpindah agama, nama marga masih bisa tetap digunakan. Inilah yang disebut satu tungku tiga batu, ada beberapa agama dalam satu marga keluarga,” jelas Fauzhya.

SUMBER: KOMPAS.com (Ira Rachmawati)

https://regional.kompas.com/read/2019/08/20/06230011/belajar-filosofi-satu-tungku-tiga-batu-penguat-toleransi-di-fakfak-papua

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke