Salin Artikel

Kisah Pengungsi Nduga Papua, Tak Punya apa-apa dan Ingin TNI Ditarik Agar Bisa Kembali ke Desa

Para tersangka diduga anggota Organisasi Papua Merdeka.

Pengungsi-pengungsi tersebut terjepit di tengah krisis berkepanjangan akibat kontak senjata antara TNI/Polri dan kelompok yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).

Salah seorang pengungsi, Angelina Gwijangge, warga dari distrik Yigi di Kabupaten Nduga, termasuk yang melarikan diri karena konflik senjata yang terus berkecamuk di tempat tinggalnya.

Ia mengatakan sempat berada di hutan selama dua hari dua malam, sampai akhirnya tinggal menumpang di rumah kerabatnya di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

Selama tiga bulan terakhir, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia bergantung pada uluran tangan kerabatnya.

"Tidak ada apa-apa di noken, di tangan, tidak ada punya apa-apa. Tuhan yang kasih makan ke saya, menjamin saya. Tuhan yang kasih, jadi anak-anak yang menjamin makanan saya," tutur Angelina kepada BBC Indonesia, Rabu (31/7/2019).

Suami Angelina, Sandra Kogoya, ikut mengungsi tiga pekan lalu bersama dengan beberapa kelompok pengungsi lain. Kini, mereka tersebar di beberapa lokasi.

"Tersebar di kota. Tujuh kelompok yang datang dengan saya itu ada yang tinggal di masyarakat yang tinggal di situ," ungkap Sandra.

Mereka termasuk bagian dari sekitar 2.000an warga Nduga yang kini mengungsi di Wamena.

Esmond menjelaskan, penyakit yang paling banyak ditemukan adalah infeksi saluran pernafasan atas, yang disebabkan akibat penggunaan kayu bakar di dalam rumah atau honai sehingga asap dari kayu itu terhirup ke paru-paru.

"Selain ISPA, ada penyakit anemia, diare, dan disentri. Ini bisa disebabkan karena beberapa hal, salah satunya kurangnya asupan makan yang bergizi," ujar Esmond.

Kementerian Sosial mencatat setidaknya ada 2.000 pengungsi yang tersebar di beberapa titik di Wamena, Lanijaya, dan Asmat. Di antara pengungsi ini, tercatat 53 orang dilaporkan meninggal.Angka ini jauh di bawah data yang dihimpun oleh Tim Solidaritas untuk Nduga, yang mencatat sedikitnya 5.000 warga Nduga kini mengungsi dan 139 di antara mereka meninggal dunia.

Data relawan menyebut pengungsi di Wamena tersebar di sekitar 40 titik. Kebanyakan dari mereka tinggal menumpang di rumah kerabat.

Akibat banyaknya pengungsi yang berdatangan, di dalam satu rumah atau honai bisa berisi antara 30-50 orang.

Menurut peneliti Marthinus Academy, Hipolitus Wangge, sebagian besar dari pengungsi menumpang di rumah kerabat karena mereka tidak memiliki tempat penampungan.

"Dari awal pemerintah Kabupaten Nduga dan Kabupaten Jayawijaya tidak menyiapkan tempat khusus untuk para pengungsi yang berjumlah sekitar 5.200-an ini," ujarnya.

"Pengungsi internal ini tidak direlokasi di tempat yang khusus sehingga mereka harus tinggal di rumah warga. Beberapa di antara mereka membangun rumah semi permanen karena mereka tidak bisa tinggal di rumah yang sama dan dalam satu rumah itu tinggal beberapa kepala keluarga," kata dia.

Theo Hasegem, selaku Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) yang mendampingi para pengungsi, mengungkapkan saat ini masih banyak pengungsi yang bertahan di hutan guna menghindari konflik yang terjadi di daerah asal.

Sandra Kogoya adalah salah satu pengungsi yang menolak bantuan. Dia menuding adanya keterlibatan militer dalam pendistribusian bantuan.

"Kalau pemerintah yang langsung bawa ke sini, kami bisa dapat. Tapi karena melalui Kodim, sementara Kodim menghabiskan rumah dan segala macam di sana, jadi kami tidak setuju, suka, menerima makanan dari mereka".

Theo Hasegem mengungkapkan, para pengungsi menuntut agar operasi militer di Nduga dihentikan sehingga mereka bisa kembali ke daerah asalnya.

"Kami minta pasukannya ditarik dari Nduga sehingga kalau itu ditarik, berarti kami kembali ke sana kemudian bisa lakukan pemulihan total," tegas Theo.

"Masyarakat pengungsi yang ada di mana-mana kita kembalikan. Kondisi rumah yang rusak segala macam bisa dibangun kembali," sambungnya.

Pejabat Kementerian Sosial yang mendistribusikan bantuan di Wamena, Victor Siahaan, menyayangkan aksi penolakan ini. Dia memandang penolakan akan semakin membebani pengungsi Nduga yang menjadi korban konflik bersenjata antara militer dan kelompok pro-kemerdekaan.

"Kami tidak menghiraukan masalah-masalah politik. Kami Kementerian Sosial, hanya terkonsentrasi pada masalah-masalah kemanusiaan. Pengungsi Nduga yang ada di Wamena, Lanijaya, dan Asmat itu terlantar, artinya kurang makan, pakaiannya tidak layak, dan lain sebagainya, yang terkait dengan kurang terpenuhinya kebutuhan dasar mereka."

"Kami bawa barang tersebut ke lokasi yang mereka berada, itu kok ada pihak yang membatasi, menghalangi, bahkan menghambat? Ini kan kita menjadi kasihan kepada masyarakat yang sebenarnya memang terpapar," jelas Victor.

Hal ini, menurutnya, tak lepas dari trauma pengungsi atas keberadaan militer yang melakukan pengejaran terhadap kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya.

Selain itu, kepercayaan adat mereka bahwa mereka tidak bisa menerima bantuan dari 'pihak musuh'.

"Budaya orang di sini kalau baku perang dengan musuh itu kita tidak bisa ambil, secara adat itu susah. Nanti mereka akan sakit dan mati semua."

Koordinator Sinode Gereja Jaya Wijaya, Pendeta Esmond Walilo, menjelaskan para pangungsi yang sudah dijanjikan untuk penyaluran bantuan sosial telah menunggu sejak pagi hingga sore hari di area gereja Weneroma.

Pengungsi marah ketika mendapati Kementerian Sosial melakukan rapat koordinasi di Kodim Jayawijaya sehingga muncul tudingan adanya pelibatan militer dalam penyaluran bantuan.

Namun, keterlibatan militer dalam pendistibusian bantuan, ditepis oleh Komandan Kodim 1702/Jayawijaya Letkol Inf Chandra Dianto.

Dia menyebut, pengerahan militer di Nduga adalah untuk pengamanan pembangunan proyek jalan Trans Papua dari gangguan kelompok bersenjata.

"Tentunya, terjadi eskalasi atau terjadi kontak tembak itu adalah salah satu tugas dalam rangka mengamankan pekerja."

"Terjadinya kontak tembak itu karena munculnya gangguan-gangguan. Sehingga untuk mengurangi bantuan, mau tidak mau tugas TNI adalah untuk mengamankan, sehingga kontak tembak tidak bisa dihindarkan," tutur Chandra.

Pengerahan pasukan gabungan TNI/Polri ke Kabupaten Nduga dilakukan sejak insiden penembakan yang menewaskan belasan pekerja konstruksi jalan Trans Papua Desember lalu. Sejak saat itu, eskalasi kontak senjata terus meningkat dan gelombang pengungsi melarikan diri dari Nduga.

Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Bencana Ekonomi dari Kementerian Sosia, Victor Siahaan, menyadari kelemahan pihak kementerian yang tidak memahami dengan baik kondisi di lapangan yang masih kental dengan kearifan lokal.

Ke depan, Kementerian Sosial berkoordinasi dengan dinas sosial Nduga yang ada di Wamena untuk pendistribusian bantuan.

"Mereka ada liaison officer, petugas penghubungnya di sini. Dan hasil dari konsultasi dengan beliau diminta kita cooling down dulu selama dua minggu untuk selanjutnya mereka sendiri yang akan mendistribusikannya," ujarnya.

Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat, mengatakan bantuan yang dikirimkan itu meliputi perlengkapan keluarga sebanyak 1.350 paket, perlengkapan sekolah sebanyak 370 paket. Ada pula perlengkapan ibadah dan perlengkapan kesenian dan olah raga sebanyak 150 paket.

Kini, ratusan paket bantuan mulai dari bahan makanan, perlengkapan sekolah dan kebutuhan sehari-hari itu, kini teronggok di gudang logistik Dinas Sosial Nduga di Wamena.

https://regional.kompas.com/read/2019/08/02/05500001/kisah-pengungsi-nduga-papua-tak-punya-apa-apa-dan-ingin-tni-ditarik-agar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke