Salin Artikel

Bisnis Cuci Film Bertahan di Zaman Digital, Pelanggan Mayoritas Anak Muda yang Penasaran

Namun, berkembangnya teknologi membuat film jarang terlihat. Orang lebih banyak membawa kamera digital bahkan ponsel pintar yang super canggih.

Era disrupsi ini pun membuat produsen roll film mengurangi produksi, bahkan ada pula yang tutup. Lantas, apakah bisnis tersebut mati? Jawabannya tidak.

Seperti yang terjadi pada Hipercat Lab. Hingga kini, perusahaan cuci film ini tetap bertahan dan digemari.

Setidaknya itulah yang tampak dari kantornya di Jalan Jendral Sudirman, Gang Madniah 12A/75 Bandung. Meski berada di dalam gang dan mendekati jam tutup, Rabu (26/6/2019), pelanggan berdatangan.

Ada yang mengambil pesanan, membeli roll film, mencuci film, atau sekadar bertanya soal kamera analog.

“Tren kamera analog 2-3 tahun belakangan ini makin besar. Ada yang hobi, serius, atau kerjaan (profesional) di analog,” ujar pemilik Hipercat Lab, Muhammad Fajar Hidayat (33), kepada Kompas.com.

Kembali trennya kamera analog berimbas positif pada bisnisnya. Dalam sehari, ia bisa menjual 20-an roll film jika sepi. Namun jika sedang ramai seperti mau Lebaran, tahun baru, ataupun liburan sekolah, penjualan lebih dari 50 roll sehari.

Begitupun dengan cuci pindai film. Seusai Lebaran dan liburan, biasanya pelanggan yang datang ke tempatnya lebih ramai.

Mereka yang datang kebanyakan anak muda berusia 15-25 tahun. Rasa penasaran anak muda terhadap analog inilah yang membuat bisnis ini kembali menggeliat. Itu pula yang membuat bisnis lab cuci scan saat ini bermunculan.

“Ada sensasi yang beda saat menggunakan kamera analog, berbeda dengan kamera digital. Nah, generasi sekarang, belum mengenal analog dan penasaran. Makanya pasar tertinggi berusia 15-25 tahun, kemudian 25-35 tahun,” tuturnya.

Alasan analog digemari

Pria kelahiran Hulu Sungai Utara, 31 Januari 1986, ini menceritakan, ada beberapa alasan analog kembali digemari.

Pertama, kamera analog ataupun roll film banyak macamnya dan unik-unik sehingga menghasilkan warna dan tone yang berbeda.

Kedua, ada sensasi unik, karena hasil gambar tidak bisa langsung dilihat. Ketiga, faktor sosial media terutama artis dan influencer yang kerap memosting soal analog.

“Untuk roll film, konsumen biasanya beli via online. Sedangkan cuci film langsung datang ke sini,” ucapnya.

Namun berbeda dengan yang zaman dulu yang dikenal dengan cuci cetak. Kali ini lab-lab yang ada di Bandung lebih ke cuci scan, sehingga hasilnya tetap digital.

Hobi yang Dibayar

Pertumbuhan bisnisnya yang positif tidak diraihnya dengan mudah. Awal-awal Hipercat Lab didirikan, ia harus jatuh bangun.

Fajar menceritakan, bisnisnya bermula dari rasa cintanya pada dunia fotografi yang dimulai tahun 2009 saat lulus dari Universitas Hassanudin (Unhas) Makassar.

Tahun 2010, ia kemudian membangun bisnisnya dengan menggunakan nama sendiri. Ia lalu banyak berlajar dari forum kaskus mengenai kamera, film, hingga proses.

Dari kaskus juga ia mendapatkan job-job pertamanya untuk jasa cuci film. Tak lama kemudian ia pindah ke Bandung dan membangun Hipercat Lab.

Nama Hipercat Lab diambil dari kondisi sekeliling labnya yang banyak kucing liar. Di awal-awal, bisnisnya belum terlalu menjanjikan.

Namun karena hobi dan bisnisnya bukan semata-mata karena uang, ia tetap menjalankannya. Hingga akhirnya 3 tahun terakhir ini analog kembali booming, pelanggannya pun semakin meningkat, terutama dari luar Bandung.

“Kunci sukses usaha saya, kerjakan apa yang menjadi passion kita. Kalau soal harga, itu bersaing di kisaran Rp 45.000-50.000 per roll,” ucap suami dari Nia Purnamasari ini menjelaskan.

Untuk mengembangkan bisnisnya, ia pun membebaskan pelanggannya untuk konsultasi atau pun belajar soal kamera analog.

“Itu kelebihan dari Hipercat Lab, akun IG, WA, semua dipegang saya. Jadi kalau ada yang ingin konsultasi bisa langsung saya balas,” tuturnya.

Caranya tersebut efektif. Dari beberapa pelanggan yang datang, mereka belajar cara memasukkan film, memaksimalkan kamera analog, dan laonnya.

Ke depan ia berharap bisa memiliki toko yang lebih representatif seperti di Braga. Ia pun kini tengah mengembangkan bisnis merchandise yang berhubungan dengan fotografi. Harganya berkisar antara Rp 15.000-150.000. 

https://regional.kompas.com/read/2019/07/10/07374311/bisnis-cuci-film-bertahan-di-zaman-digital-pelanggan-mayoritas-anak-muda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke