Salin Artikel

Kisah Jarwo Susanto: Dulu Tolak Penutupan Dolly, Kini Sukses Jadi Pengusaha Tempe

Hari ini, 18 Juni 2019, merupakan tahun kelima ditutupnya kawasan Dolly. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menutup kawasan Dolly pada 18 Juni 2014 bertepatan pada Ramadhan.

Jarwo Susanto adalah salah satu warga Dolly yang menentang keras penutupan lokalisasi yang dilakukan lima tahun lalu.

Jarwo dan warga lain merasa penutupan lokalisasi Dolly telah berdampak pada berkurangnya pendapatan mereka.

Sebelum Dolly ditutup, Jarwo adalah pedagang warung kopi di eks lokalisasi Dolly. Dalam sehari, Jarwo bisa mendapatkan uang dari warung kopi itu mulai Rp 500.000 hingga Rp 800.000.

Pendapatannya per bulan berkisar Rp 45 juta hanya dengan membuka warung kopi. Berkurangnya pendapatan itu mendasari Jarwo untuk menentang kebijakan Pemerintah Kota Surabaya.

Tolak penutupan Dolly

Penulis buku Jarwo Susanto Si Arek Dolly, Mustofa Sam, mengatakan, Jarwo adalah orang yang sangat vokal untuk memperjuangkan agar Dolly tetap dibuka.

Jarwo mengambil sikap yang berlawanan dengan pemerintah, yakni menolak penutupan lokalisasi Dolly. Baginya saat itu, kebijakan pemerintah kota adalah sepihak yang tidak melibatkan para warga dalam pengambilan keputusan.

Kata Mustofa, Jarwo menganggap pemerintah telah gagal dalam melakukan normalisasi pasca-penutupan lokalisasi di tempat-tempat lain sebelum Dolly.

Keterlibatan Jarwo menolak penutupan Dolly itu dilakukan dengan demonstrasi dan cara-cara lain, seperti membakar ban, menggiring kerbau bertuliskan nama Soekarwo, Risma, dan Kepala Dinsos Surabaya Supomo, hingga bentrok dengan aparat.

"Hingga pada akhirnya Jarwo menjadi buronan kepolisian dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO)," ujar Mustofa Sam saat menggelar acara bedah buku dan seminar bisnis bertajuk "Spiritual Management in Action: Tempe Bang Jarwo" di Aula MM FEB Unair, Selasa (18/6/2019).

Saat mengetahui namanya masuk DPO, Jarwo sempat minggat dari rumah dan kabur ke Benowo, Surabaya, kemudian ke Malang dan Sidoarjo.

Dalam perjalanannya, saat kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, nama Jarwo disebut tidak terbukti atau terlibat dalam kerusuhan. Jarwo yang saat itu bersembunyi di rumah saudaranya di Sidoarjo memberanikan diri untuk pulang ke rumah asalnya di kawasan Dolly.

Sosok inspiratif

Di rumah saudaranya di Sidoarjo, Jarwo belajar cara membuat tempe dan dipraktikkan di rumah. Bisnis usaha tempe itu ia jalankan hingga sekarang.

"Dari semula hanya menghasilkan 3 kilogram tempe per hari, saat ini menjadi 25 kilogram per hari, bahkan hingga go international. Jarwo juga memberdayakan keluarga dan tetangga-tetangganya," tutur Mustofa.

Mustofa sebagai pendamping rehabilitasi pasca-penutupan Dolly mengatakan bahwa Jarwo Susanto merupakan sosok inspiratif. Sebab, Jarwo adalah salah satu tokoh perubahan yang lahir dari tanah bekas prostitusi.

Jarwo yang sebelumnya bergantung pada bisnis lokalisasi kini sukses menjadi pengusaha tempe.

"Tak bisa ditolak dan tak bisa dimungkiri bahwa perjalanan Jarwo merupakan perjalanan inspirasi perubahan," kata Mustofa.

Ia menambahkan, Jarwo dinilai mampu mengubah kondisi ketika dulu Dolly merupakan kawasan maksiat kini berubah menjadi penuh manfaat.

"Buku biografi Jarwo Susanto ini saya tulis agar dapat menginspirasi banyak orang di luar sana, terutama warga yang sebelumnya bergantung pada bisnis lokalisasi, seperti Dolly," katanya.

Kepada Kompas.com, Jarwo mengatakan, awalnya tempe itu ia beri nama Tempe Dolly. Namun, saat berkililing menjajakan tempe di kawasan Dolly menggunakan sepeda onthel, belum banyak warga yang membeli tempe Jarwo tersebut.

Hingga pada akhirnya, Jarwo melakukan re-branding produk dengan nama Tempe Bang Jarwo. Alasannya sederhana, karena saat itu sinema kartun Adit Sopo Jarwo banyak ditonton warga.

"Ini juga saran dari keluarga agar produk tempe saya ini mudah diingat. Dan ternyata benar, tempe saya mulai laris," kata Jarwo.

Ia juga mengaku bangga tempenya bisa go international. Apa yang sudah dicapainya saat ini, Jarwo berharap mampu mengangkat martabat warga Dolly menjadi lebih baik.

"Omzet saya dalam satu bulan sekitar Rp 10 juta sampai Rp 18 juta," katanya.

Jarwo menambahkan, mulai besok sampai 21 Juni 2019 ia menggelar open house bagi warga yang ingin belajar memproduksi tempe di rumah produksinya.

Brand storytelling

KPS Magister Manajemen Unair Dr Gancar C Premananto menyampaikan, storytelling for branding yang dilakukan Jarwo Susanto ini menjadi hal penting.

Karena kalau tidak ada cerita, konsumen tidak memiliki kedekatan dan konsumen tidak memiliki ikatan emosional dengan suatu produk.

"Kalau kita membuat cerita, kita akan mudah mengetahui siapa pembuatnya dan apa yang menarik di balik itu. Cerita dari Bang Jarwo juga mengangkat branding produk tempenya," ujarnya.

Jarwo Susanto, kata dia, bisa menjadi pemelajaran karena telah memunculkan manajemen spiritual TOB, yakni Tuhan, orangtua, berbagi dan belajar.

Meski saat membuka warung kopi Jarwo mampu menghasilkan omzet Rp 45 juta per bulan, pendapatan itu tidak berkah. Karena itu, urusan yang penting dalam usaha adalah urusan dengan Tuhan untuk mendapat kebahagiaan.

"Kisah Bang Jarwo juga mendapat ridho orangtua dan hubungan dengan ibunya. Doa dari ibu tadi menjadakan Bang Jarwo dapat hidayah dan insaf," ujarnya.

Selain itu, Jarwo juga rajin berbagi kepada siapa pun, terutama dalam memproduksi tempe. Kemudian Jarwo terus belajar untuk membuat inovasi baru untuk produksi tempe agar usahanya bisa terus maju dan berkembang.

https://regional.kompas.com/read/2019/06/19/07300081/kisah-jarwo-susanto-dulu-tolak-penutupan-dolly-kini-sukses-jadi-pengusaha

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke