Salin Artikel

Kisah Petugas Pos Pengamatan Gunung Merapi yang Sering Lewatkan Lebaran

Suara HT (handy talky) lirih terdengar dari salah satu bangunan di kawasan wisata Kaliurang. Terpasang di samping bangunan tersebut sebuah pelakat bertuliskan Pos Pengamatan Gunung Merapi (PGM).

Di salah satu ruangan, tampak seorang pria mengenakan baju batik duduk dikursi. Matanya memperhatikan beberapa layar monitor dan jari-jarinya memegang mouse komputer untuk melihat lebih detail data-data yang muncul.

Gambar dilayar monitor hasil kamera CCTV di puncak Merapi pun tak pernah luput dari pengamatannya.

Pria tersebut bernama Heru Suparwaka. Ia adalah salah satu pengamat senior yang bertugas di Pos Pengamatan Gunung Merapi (PGM) Kaliurang.

Warga Bintaran, Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta ini mulai bertugas menjadi pengamat Gunung Merapi di Pos Pengamatan pada tahun 1990.

"Saya dari dulu memang suka dengan alam. Kebetulan ada informasi dibutuhkan pengamat Gunung Api, lalu saya mencoba mengirimkan lamaran dan diterima," ujar Heru, saat ditemui Kompas.com, di Pos Pengamatan Gunung Merapi (PGM) Kaliurang, Selasa (28/5/2019).

Setelah diterima, dirinya langsung ditempatkan di pos pengamatan Gunung Merapi sektor utara, tepatnya di Pos Pengamatan Gunung Merapi (PGM) Jrakah.

Heru sempat bertugas di beberapa pos pengamatan, sebelum ditempatkan di Pos Pengamatan Gunung Merapi (PGM) Kaliurang hingga saat ini.

Selama menjadi seorang pengamat Gunung Merapi yang bertugas di pos pengamatan, Heru merasakan beberapa kali erupsi Gunung yang berada diperbatasan Kabupaten Sleman-Jawa Tengah ini.

"Awal krisis Merapi tahun 94, kemudian diikuti dengan pengalaman-pengalaman periode selanjutnya, termasuk 2006, 2010," ungkap dia.

Di Pos pengamatan Kaliurang, Heru bertugas bersama dua orang lainya yakni Sunarta (Kepala Pos Pengamatan) dan Lasiman.

Ketiga pengamat di pos Kaliurang ini harus bergiliran untuk menjalankan tugas mengamati aktivitas Gunung Merapi. Sebab, pos pengamatan tetap harus berjalan selama 24 jam non stop.

Setiap hari, pengamat harus membuat laporan aktivitas Gunung Merapi. Saat aktivitas di atas normal seperti sekarang ini, Heru dan petugas lainya membuat laporan setiap enam jam.

"Alat-alat ini kan beroperasi selama 24 jam, kami terus amati data yang masuk, jadi kalau tidak tidur sudah biasa. Sakarang ini saja saya belum tidur dua hari," urai dia.

Jarang pulang rumah

Selama sebagai pengamat, separuh waktunya dihabiskan di pos pengamatan untuk mengamati aktivitas Gunung Merapi. Aktivitasnya ini membuat Heru jarang pulang ke rumah.

Apalagi pada saat aktivitas Gunung Merapi sedang meningkat, ia bisa berhari-hari tidak pulang ke rumah. Kalau pun pulang, hanya mengambil baju ganti lantas berangkat lagi ke pos lagi.

Heru menceritakan, pada saat erupsi tahun 2010, ia cukup lama tidak pulang ke rumah. Ia berpesan kepada istri dan anaknya agar tidak menghubunginya ketika kangen atau hanya sekadar untuk menanyakan kabar.

Sebab, hal itu akan menganggu konsentrasinya dalam melakukan pengamatan. Heru menyampaikan ke istrinya, jika dirinya lah yang akan menghubungi ketika ada waktu luang.

"Ya berat memang, karena saya tidak bisa menghalangi rasa kangen mereka atau keinginan mereka mengetahui kabar bapaknya. Tapi, itu sudah komitmen saya, karena melakukan pengamatan butuh fokus, agar tidak salah," ujar dia.

Heru menarik nafas panjang, matanya memandang langit-langit ruangan. Kedua tangannya mendadak bergetar seiring mulutnya mulai merangkai kata.

Ia menceritakan musibah yang dialami anaknya ketika dirinya sedang bertugas.

Suatu ketika, saat sedang bertugas di pos pengamatan, tiba-tiba istrinya menelepon dan memberitahukan jika anaknya yang masih berusia 3 tahun mengalami kecelakaan terkena air panas. 

Mendapat informasi, serentak Heru kaget dan sangat mengkhawatirkan kondisi putrinya. Namun, ia tidak bisa langsung pulang ke rumah karena sedang piket.

Waktu itu, Heru hanya bisa berpesan agar putrinya segera dibawa kerumah sakit untuk mendapat pertolongan.

"Saya tidak seketika pulang, walau pun kehadiran saya sebagai bapak tentu sangat dibutuhkan. Ya sebagai manusia dan seorang bapak, hati saya berontak waktu itu," ungkap dia.

Ia pun hanya bisa menelepon istrinya setiap jam untuk mengetahui kondisi putrinya itu. Baru setelah selesai piket, Heru bergegas pulang untuk melihat kondisi buah hatinya.

Tak Lebaran dengan keluarga

Pria kelahiran 19 Juni 1964 ini pun sering melewatkan merayakan hari-hari besar bersama keluarga. Di saat masyarakat bergembira, berkumpul bersama keluarga merayakan Lebaran, Heru harus berada di pos pengamatan.

Meski tak bisa bersama keluarga, namun ia tetap menjalankan tugasnya dengan iklas dan profesional.

Sebab, ia tahu begitu penting dan besarnya tanggung jawab seorang pengamat di pos pengamatan. Selain itu, profesi sebagai seorang pengamat di pos pengamatan sudah menjadi pilihan hidupnya.

"Yang menyentuh jiwa saya itu pada saat hari besar seperti Lebaran, pasti keluarga merasa ada yang kurang utuh tanpa kehadiran bapak. Tapi, meski tidak bisa bertemu, saya, istri, anak saling mendoakan satu sama lain," ujar dia.

Meski tidak bisa bersama keluarga, namun saat ini sudah ada teknologi video call. Ia bisa mengucapkan selamat hari Raya Idul Fitri sekaligus memandang wajah istri dan anaknya.

Sejak membangun rumah tangga, Heru sudah memberikan pemahaman kepada istrinya. Bahwa pekerjaanya berhubungan dengan keselamatan banyak orang sehingga menyita banyak waktu dan akan jarang pulang ke rumah.

"Saya berikan pemahaman, prinsipnya saya ini bekerja dalam bidang kemanusian, untuk menyelamatkan nyawa manusia. Saya juga sampaikan, tidak setiap saat bisa bertemu tergantung kondisi alam," ujar dia.

https://regional.kompas.com/read/2019/05/31/09162231/kisah-petugas-pos-pengamatan-gunung-merapi-yang-sering-lewatkan-lebaran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke