Salin Artikel

Harapan Pemilih Difabel Gunakan Hak Pilih di Pemilu Tanpa Diskriminasi

Saat masuk TPS, Indra dibantu petugas karena permukaan tanah TPS lebih rendah dari jalan. Dia harus menunggu, karena petugas sedang mempersiapkan pencoblosan. Selang beberapa menit, Arum Sari, ibunya juga tiba di TPS untuk mendampingi Indra masuk ke ke bilik suara,

Saat pencoblosan dimulai, Indra mendapatkan urutan pertama. Namun Indra sempat menegur petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) karena petugas tidak memberikan templat braille kepadanya.

“Tadi saya menanyakan untuk templatnya, dan dari sana (petugas KPPS) pun bingung. Ini untuk apa fungsinya? Saya jelaskan, ini fungsi untuk pemilih difabel netra. Dan mereka bingung kok kenapa cuman dua? Ya saya jelaskan, (templat) ini hanya pemilihan presiden dan anggota DPD RI, sedangkan DPR Provinsi, DPRD kabupaten-Kota, dan DPR RI tidak ada templat braillenya,” kata Indra kepada Kompas.com Rabu (17/4/2019).

Juhri Ketua KPPS 10 Desa Sindang Laut, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, menjelaskan tidak ada fasilitas pembeda antara difabel dengan warga lainnya. Hanya saja, petugas KPPS memprioritaskan difabel saat menyalurkan hak suara, sehingga tidak perlu mengantri.

“Untuk ini (fasilitas) semuanya sama. Tidak ada yang beda. Difabel diutamakan, jadi kalo misalkan posisi mengantre, langsung menuju ke bilik suara,” kata Juhri. Dia menyebut ada empat orang difabel dari total 280 daftar pemilih tetap di TPS setempat.

Imam Syafi’i (30), difabel netra yang mencoblos di TPS 20 Desa Mertapada Wetan, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon mengalami hal sebaliknya. Meski datang sebelum aktivitas pencoblosan dimulai, dia tetap harus mengantre. Dia tidak mendapatkan prioritas  ntuk didahulukan, sehingga ia harus menunggu giliran sesuai nomor urut ke 35.

“Saya mengingatkan petugas dua sampai tiga kali. Saya kan difabel perlu didahulukan. Tapi mereka selalu jawab, sabar nanti juga dipanggil,” kata Imam kepada Kompas.com saat dihubungi melalui selular (18/4/2019).

Setelah mengantri satu setengah jam, Imam hanya mendapatkan satu buah templat braille, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden. Dia tidak mendapatkan templat braille DPD RI.

Imam sempat menanyakan templat braille DPD yang menjadi haknya, namun petugas tidak menemukan. Akhirnya, Imam menuju bilik suara didampingi adiknya Anis Sofiudin (28) yang membantu pencoblosan surat suara DPD yang biasa.

Imam menilai sosialisasi dan distribusi templat braille tidak maksimal sehingga informasi bahwa KPU RI hanya menyediakan dua buah templat yaitu pemilihan presiden-wakil presiden dan pemilihan anggota DPD RI tidak diketahui oleh KPPS.

“Saya sekarang ngajar di SLB. Sempat diadakan sosiasliasi, tapi tidak sampai pada tahap simulasi. Itupun secara umum secara global, sifatnya tidak mengkhususkan untuk SLB (difabel). Menurut saya, sosiasliasi di SLB ini, kurang pas atau nggak tepat,” ungkap Imam.

Dia kemudian membandingkan upaya KPU Kabupaten Cirebon untuk melayani difabel saat Pemilihan Bupati dan Gubernur Jawa Barat tahun 2018. Ketika itu, KPU bekerjasama dengan ITMI memberikan sosialisasi sekaligus simulasi untuk difabel bagaimana caranya menyalurkan hak pilihnya.

Berbeda dengan Pemilu Presiden dan Legislatif tahun 2019, Imam mengaku tidak mendapatkan simulasi khusus difabel.

Indra Rukmana, Bidang Keorganisasian ITMI Cirebon Raya juga menyampaikan hal sama. Saat ditemui Kompas.com di Yayasan Beringin Bhakti dua hari jelang pencoblosan, (15/4/2019), Indra menyebut sosialisasi KPU untuk difabel tidak tepat. KPU hanya menjelaskan materi pengenalan jenis surat suara, tata cara pindah memilih, tapi tidak mekanisme pencoblosan khusus difabel.

Pemuda yang sedang menyelesaikan Pendidikan Luar Biasa di Uninus Bandung ini tidak mendapatkan informasi lengkap tentang templat braille dari KPU, maupun dari  relawan demokrasi (relasi) basis difabel. Mereka bahkan mendapatkan informasi dari jaringan organisasi luar Cirebon jika saat pencoblosan, difabel mengandalkan pendamping. Beruntung apabila pendamping berasal dari keluarga, namun bila berasal dari pihak lain dapat mengurangi asas kerahasiaan.

“Jadi kita tenang, nyaman. Kalau ada template enak. Kalau sekedar pendamping, kita ga yakin, ketika kita milih calon dari partai A, ternyata diarahkannya di partai lain. Berarti itu tidak sesuai dengan hati nurani kita. Itu yang dikhawatirkan tunanetra,” jelas Indra.

Gerak Relawan Demokrasi Yang Terbatas

KPU Kabupaten Cirebon berupaya memperluas daya sosialisasi dengan berbagai program, salah satunya membentuk Relawan Demokrasi (relasi). Januari 2015, mereka meresmikan 80 orang untuk membantu sosialisasi pada 11 segmen: keluarga, perempuan, difabel, berkebutuhan khusus, marjinal, komunitas, keagamaan, netizen, muda, pemula, dan lainnya.

Tiga orang yang diangkat menjadi relasi basis difabel adalah Rudianto (36) dari Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Cirebon, Zahoni dari Forum Komunikasi Difabel Cirebon (FKDC), dan Husin dari Aliansi Perempuan Disabilitas dan Lansia (APDL) Cirebon.

Rudianto mengakui sosialisasi kepada difabel sangat terbata karena jumlah relasi yang dibentuk KPU untuk difabel sangat minim yaitu hanya tiga orang. Sementara jumlah difabel di Cirebon lebih dari 5000 orang yang tersebar di 40 kecamatan.

“Saya dan temen-temen relasi memang sangat kurang untuk mensosialisasikan tentang kepemiluan. Yang menjadi kendala saya adalah jauh (jangkauan), dan alat sosialisasinya hanya untuk difabel yang bisa melihat. Untuk difabel netra tidak. Alat simulasi yang saya terima umum, tidak ada yang disebut tamplat,” kata Rudi Senin (15/1/2019).

Pria yang pernah meraih emas pada even Asian Para Games Myanmar 2014 ini mengaku sudah dua kali membuat laporan evaluasi kepada KPU periode Februari dan Maret. Isinya adalah permohonan penambahan relasi untuk basis difabel.



Ketua KPU Kabupaten Cirebon, Sopidi mengatakan ada 1.736 difabel yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap. Jumlah tersebut terdiri dari tunadaksa sebanyak 411, tunanetra 328, tunarungu 338, tunagrahita 265, dan 394 disabilitas lainnya 394. Meski demikian, dia meragukan data yang berasal dari Dinas Sosial tersebut, dan menduga masih banyak yang belum terdata karena faktor psikologis keluarga yang malu untuk mendaftarkan.

Sopidi menjelaskan, KPU RI hanya menyediakan templat braille untuk jenis surat suara pilpres dan DPD RI. Templat braille tidak untuk surat suara DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, dan DPR RI.

Dua jenis templat itu disebar ke 6.750 Tempat Pemungutan Suara (TPS) Kabupaten Cirebon.

“Ini harus dilakukan praktik, dan kita sudah empat kali praktik di Kenanga, Lemahabang, Panguragan, dan Beringin. Tekniknya adalah KPU menggunakan guru di tiap komunitas. Mereka yang mengajarkan para difabel khususnya netra,” kata Sopidi, Sabtu (13/4/2019).

Meski demikian, Sopidi mengakui, tingkat efektifitas masih sangat kurang.

Dia juga mengakui jumlah anggota relasi basis difabel masih sangat minim. Ini terjadi karena alasan administrasi dan akomodasi semisal tranportasi, alat peraga, narasumber, dan lainnya.

Untuk mengantisipasi minimnya sosialisasi dan sarana untuk difabel, KPU menggunakan pola dampingan. Pihak keluarga atau pihak tertentu menjadi pendamping dengan syarat melampirkan formulir A3 yang berisi pernyataan.

Husnul Komisioner KPU Kabupaten Cirebon menyebutkan, pembentukan anggota relasi dari difabel adalah bukti KPU tidak hanya menjadikan difabel sebagai sasaran pemilih, melainkan juga pembantu pelaksana.

Bahkan KPU juga menyediakan ruang kepada rekan-rekan difabel menjadi pelaksana di tingkat PPK atau PPS selama syarat terpenuhi.

KPU juga sudah menyediakan templat braille untuk difabel netra. Namun Husnul menyebutkan jika kemampuan membaca braille tidak dimiliki semua tunanetra kecuali yang sekolah.

“Kalau braille itu biasanya teman-teman netra yang bersekolah. Mereka yang mempunyai kesempatan sekolah, tentu bisa membaca braille. Sekalipun dari data kami memang lebih banyak yang tidak mengerti soal braille. Tapi itu bagi kami tidak soal, terpenting ketersediaan itu sudah ada di tiap TPS,” kata Husnul kepada Kompas.com, Senin (15/4/2019).

Berharap Pemilu Setara

Ketua Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Cirebon Raya, Imam Syafi’i berharap penyelenggara pemilu lebih memperhatikan lagi DPT difabel. Mereka memiliki hak suara, sehingga perlu memikirkan aksesibilitasnya atau keterjangkauannya.

“Tahun sekarang menurut saya sangat tidak baik. Bahkan di TPS lain, tidak memerhatikan medan di TPS,” kata Imam. Imam juga berharap siapapun pemimpin terpilih harus lebih peka dan perhatian serta merangkul dan mendengarkan aspirasi difabel.

Senada dengan Imam, Indra juga mendorong agar penyandang difabel lainya tidak malu dan tidak takut bertanya apabila menemui kesulitan saat hendak menyalurkan hak suaranya sehingga petugas KPPS memahami bagaimana membantu dan menghadapi DPT difabel.

“Mudah-mudahan siapapun yang terpilih bisa mewakili aspirasi teman-teman difabel karena sudah waktunya Indonesia bisa ramah terhadap difabel, bisa mengaplikasikan dan mengimplementasikan undang-undang nomor 8 tentang difabel,” harap Indra.

https://regional.kompas.com/read/2019/04/25/12471711/harapan-pemilih-difabel-gunakan-hak-pilih-di-pemilu-tanpa-diskriminasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke