Salin Artikel

Anna Wardiyati, Pejuang Emansipasi dari Lereng Dieng

WONOSOBO, KOMPAS.com - "Titik balik saya berawal saat melihat jasad ibu dimasukkan ke liang lahat. Saya terhenyak, ternyata harta yang kita miliki di dunia tak akan dibawa serta saat dipanggil Sang Pencipta," kata Anna Wardiyati (34).

Mata perempuan ayu itu berkaca, suaranya tersendat mengenang masa lalu. Penampilannya bersahaja, tutur katanya lembut tak dibuat-buat. Demikianlah sosok Anna.

Dia merupakan Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Cemerlang, Wonosobo, yang lahir dan dibesarkan di Wonosobo, sebuah kota berhawa dingin di wilayah selatan Jawa Tengah.

PKBM adalah lembaga di bawah pengawasan dan bimbingan Dinas Pendidikan, yang dibentuk oleh masyarakat untuk masyarakat, yang bergerak dalam bidang pendidikan.

Sebelumnya, bertahun-tahun ia bekerja di sebuah perusahaan swasta yang cukup bonafide, dengan penghasilan yang tinggi.

Bersama sang suami yang seorang anggota polisi, ia terus mengumpulkan pundi-pundi untuk kehidupan pribadi.

Kematian ibu terkasihlah yang menyadarkannya bahwa ternyata bekal ke alam baka bukan harta, tetapi amal ibadah semasa hidup manusia.

"Pada akhirnya, saya keluar dari pekerjaan dan segera mendapat ilham untuk berjuang di jalur non-profit, untuk saudara-saudara yang kurang beruntung dalam hidupnya," kata Anna, saat ditemui Kompas.com, seusai menerima rombongan study banding dari PKBM Mukti Utama, Desa Karangsari, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Demak Jateng, belum lama ini.

Perjuangannya dimulai dari rasa prihatin terhadap nasib sesama perempuan di Lereng Dieng yang kurang beruntung.

"Saya amati, di wilayah Kecamatan Mojotengah Wonosobo, sebelum tahun 2010 banyak kasus pernikahan dini dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tentunya para perempuan rawan menjadi korban," ungkap perempuan tiga anak, yang mengaku tak punya dasar pendidikan sarjana.

Usut punya usut, masalah sosial yang terjadi di Lereng Dieng tersebut bukan karena kenakalan remaja atau pun moralitas masyarakat yang minus.

Dia menilai, adanya pernikahan dini dan kurangnya pendidikan kesetaraan gender disebabkan karena belum ada dukungan pemerhati masyarakat yang betul-betul konsen di bidang pendidikan masyarakat. 

"Di sini, masyarakatnya religius, jadi ketika anak sudah beranjak remaja langsung dinikahkan oleh orangtuanya tanpa menunggu kesiapan mental dari mempelai, alhasil banyak masalah yang terjadi dalam rumah tangga pasangan pernikahan dini tersebut," tutur dia.

Kasus-kasus KDRT yang mencuat jika ada korban yang dirawat di rumah sakit atau pun menjadi kasus di kepolisian.

"Biasanya, pasutri nikah dini rawan melakukan KDRT, sehingga ada korban yang harus sampai dirawat di RS Wonosobo," ucap Anna.

Akibat ketidaksiapan mental dalam berumah tangga, akhirnya angka perceraianpun makin meningkat.

Empati Anna diwujudkan dalam misinya mengentaskan kemiskinan, kebodohan, dan bias gender di lingkungannya.

Maka mulailah melalui pintu ke pintu, ia membujuk korban perceraian untuk diajak berlatih keterampilan bersama di sebuah petak beratap seng yang dipinjamkan seorang tokoh di daerahnya.

Bukan jalan yang mulus, pada awalnya orangtua para korban perceraian ini tidak mengizinkan anak-anaknya untuk diajak belajar sambil berkarya.

"Orangtuanya banyak yang menolak kedatangan saya, mereka curiga kalau anak-anaknya makin terjerumus ke hal-hal yang tidak benar," kenangnya sembari tersenyum tipis.

Dengan gigih, Anna terus berusaha menggandeng warga agar mau belajar keterampilan. Alhasil terkumpullah 10 warga yang setiap hari mau belajar untuk menuju masa depan yang lebih baik.

Semula, sepuluh orang tersebut diajarkan keterampilan dan pelajaran setara SMP dan SMA. Keterampilan yang diajarkan berupa kerajinan tangan sulam kerudung dan anyaman dari bahan limbah.

"Hasil keterampilan dijual dan hasilnya dibawa pulang untuk menambah uang belanja warga belajar," ujar dia.

Makin lama, animo masyarakat semakin bagus sehingga warga yang belajar keterampilan makin banyak.

Singkat cerita, 1 Januari 2010, Anna pun menaungi warga belajarnya dalam sebuah lembaga pendidikan non-formal dengan sebutan PKBM Cemerlang, yang beralamat di Jalan Dieng Kilometer 4, RT 005 RW 004, Sibunderan, Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

Warga belajar pun makin banyak, mulai dari jenjang Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C Setara SMA. Semua program gratis, malah ketika ada penjualan produk hasil keterampilan, warga belajar ikut merasakan hasilnya.

Anna pun semakin terpacu semangatnya untuk maju dan berkembang. "Satu hal yang membuat saya terus konsisten di pendidikan masyarakat adalah dukungan dari suami, beliau sampai merelakan SK-nya dan digunakan sebagai agunan pinjaman guna membeli lahan yang sekarang kami tempati ini," ujar dia.

Sedikit demi sedikit, tempat belajar mulai layak ditempati. Anna pun tak segan-segan terus menggali potensi SDA dan SDM lokal untuk meningkatkan mutu warga belajarnya.

Kini, segala ketekunannya berbuah manis. PKBM Cemerlang sudah memiliki produk unggulan berupa minuman Carica yang pemasarannya sudah tersebar di seluruh pulau Jawa.

Berkat kerja kerasnya itu, Anna mendapatkan berbagai penghargaan baik di tingkar provinsi maupun nasional.

"Produk Carica ini dikelola oleh warga binaan, tak sepenuhnya prioritas profit, hanya pemasarannya saja. Warga belajar yang sudah mahir mengolah Carica kami lepas untuk memiliki usaha sendiri," tutur dia, serius.

Rintangan

Bukan berarti, program yang dibangun sejak sepuluh tahun lalu ini selalu mulus. Banyak sekali rintangan yang menghadang langkahnya.

Mulai dari kesulitan untuk membayar tenaga pendidik maupun karyawan, hingga gerai Carica yang omzetnya sudah puluhan juta rupiah hangus dilalap si jago merah.

"Saya sempat terpuruk, setelah gerai utama Carica Cemerlang ludes kebakaran, berbulan-bulan saya loyo, hingga sebuah mimpi membangunkan saya untuk kembali bersemangat," ujar dia.

Mimpi yang membuatnya kembali bangkit adalah begitu banyak warga pinggiran yang bergantung nasib pada usaha keterampilan yang dipimpinnya.

Jika tak segera memulai dari awal, maka ia merasa menelantarkan ratusan orang yang menjadi tanggung jawabnya.

Maka dari titik nol, ia mulai berusaha bangkit untuk membawa masyarakat sekitar kepada kehidupan yang layak.

"Semoga, jika apa yang saya lakukan ini mendapat pahala, biarkan pahala itu mengalir kepada almarhumah Ibu. Penyesalan yang tak putus adalah saat saya dulu sibuk bekerja di saat keluarga membutuhkan kehadiran saya," ujar dia.

https://regional.kompas.com/read/2019/02/15/13152641/anna-wardiyati-pejuang-emansipasi-dari-lereng-dieng

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke