Salin Artikel

Kegigihan Mujimin Menganyam Bambu hingga Karyanya Rambah Eropa

Kesalahan konsentrasi akan merusak motif, meski kesalahan itu pada akhirnya juga bisa mencipta motif baru berikutnya.

"Membuat anyaman bambu satu meter persegi bisa semalaman. Saya biasa bekerja saat malam tanpa menghasilkan suara apa-apa (suara keributan pabrik)," kata Mujimin, pemilik usaha anyaman bambu di Desa Sidomulyo, Kecamatan Pengasih, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (29/1/2019).

Mujiono, 43 tahun, kelahiran Sidomulyo. Ia hidup di dunia kerajinan bambu anyam sampai kini. Ia mengembangkan lebih 165 motif anyaman bambu demi menghasilkan gedek.

Gedek itu sebutan pada anyaman bambu yang jamak dipakai untuk dinding rumah, pelapis dinding, hingga langit-langit rumah dan bangunan. Dalam perkembangannya, gedek juga dibikin menjadi tas, sandal hingga peci.

Bekerja di dunia kerajinan anyaman bambu membawa berkah tersendiri. Harganya terus meningkat seiring tumbuhnya permintaan. Belum lagi, bambu memang tidak mati gaya. Selalu banyak penggemar dan pasarnya terus ada.

Bisnis ini terus berkembang. Ia mengawali dari harga jual Rp 12.000 per m2 di 2003 hingga kini bisa rentang Rp 60.000-80.000 per m2 untuk anyaman sederhana dan jenis bilah bukan kulit bambu. Gedek bisa mencapai Rp 70.000-250.000 m2 dengan kerumitan motif dari bilah kulit bambu.

"Selalu ada permintaan. Kemarin kirim ke Provinsi Batam 180 meter gedek anyaman sederhana pakai jasa Pos Indonesia," kata Mujimin.

Ke halaman selanjutnya

Mujimin mengawali dengan menjual bambu gelondongan pada tahun 2000. Jualannya demi mendukung pasar kerajinan bambu Yogyakarta yang sedang naik daun saat itu. Bisnis bambu gelondongan hanya sambilan di tengah kegiatan sehari-hari sebagai buruh tani.

Bisnis bahan baku bambu gelondongan resikonya besar. Harganya pun juga murah Rp 500 per batang sepanjang 4 meter.

Mujimin menceritakan, hidupnya pas-pasan ketika itu. Rumah terbangun dari kayu dan dinding gedek seluas 5x8 m. Lantainya tanah. Anak masih sekolah menengah pertama.

Dalam kekurangan, Mujimin sempat tertipu dan nyaris bangkrut pada tahun ke-3 usaha bambu gelondong di 2003. Ia tertekan karena ribuan batang bambu yang tidak jadi dibeli itu.

Dalam tekanan, ia membuat 9 lembar anyaman gedek dengan motif "menyan kobar" yang bentuknya kotak-kotak. Masing-masing lembar anyaman 2x3 m atau 3x3 m. Bambu berasal dari batang bambu yang tak jadi terjual itu.

Semula, Mujimin hendak memakai gedek hanya untuk memperbaiki rumah orang tuanya. Gedek belum terpasang, malah ada saja orang yang mau membeli dengan harga Rp 12.000 per meter. Kerugiannya pun segera susut.

Momen ini menjadi titik balik bagi hidup keluarganya. Ia putuskan beranikan diri menjual anyaman bambu di 2003. Kerja di dunia kerajinan ini sampai menggerus kegiatan bertani. Gedek tadinya sebagai sambilan kini jadi pekerjaan pokok, sampai sekarang.

"Tapi ada saja orang yang mengomentari sinis. Tetangga ada yang komentar 'apa anak istri mau dikasih makan gedek'. Saya semakin termotivasi. Saya akan tunjukkan harus bisa makan dari gedek ini," katanya.

Ke halaman selanjutnya


Memanfaatkan media sosial

Menjual karya gedek tidak semulus yang dikira. Ada saat sepi juga ramai. Awal menjual gedek masih manual, promosi dari mulut ke mulut. Hasilnya memang lumayan, di antaranya: ia bisa menjual keahlian ini membuat gedek hingga ke Sumatera.

Karyanya melesat ketika Mujimin bersentuhan dengan media sosial mulai 2009. Sambil terus bikin gedek, Mujimin nyambi jadi satgas bentukan Badan Pertanahan Nasional di Kulon Progo.

Gaji selama 3 tahun menjadi satgas cukup untuk mendukung usaha kerajinannya. Ia juga mulai mengenal bisnis via internet dan memanfaatkan media sosial.

Dunia maya kian membuka lebar peluang bisnis bambu. Ia dikenal orang-orang hebat bisnis bambu dan terhubung dengan berbagai industri bambu.

Bekerja sama dengan para praktisi dan desainer arsitektur, karyanya juga dikirim ke berbagai daerah di Indonesia, hingga Eropa, seperti: Denmark, Swedia hingga Spanyol.

Mujimin terlahir di Dusun Nabin, Sidomulyo. Desa ini mayoritas dihuni petani. Tempatnya tinggal berada sekitar 36 km dari kota Yogyakarta.

Rumahnya berada di balik medan yang berliku, turun bukit, dan melintas jalan tanah yang licin dan becek. Mujimin mengaku tidak mengenyam pendidikan tinggi. Ia bahkan sempat putus sekolah dan meneruskan dengan persamaan.

Bisnis berkembang, hingga jadi dosen tamu 

Namun, kegigihan dirinya menunjukkan pada dunia luar, bahwa orang desa yang tinggal di pelosok juga bisa merambah dunia dengan karya.

Rumahnya tak lagi beralaskan tanah dan nyaris ambruk. Rumahnya dinding seluas 5x8m, lantai keramik, dan ia punya workshop membuat kerajinan bambu 7x8m.

Kini, Mujimin merambah konstruksi bangunan dengan bahan baku bambu. Ia sudah banyak rumah makan dari bahan bambu, gapura, gazebo hingga homestay. Marjin dalam tiap proyek bisa 20 persen.

"Gedek jalan terus. Bisnis berkembang ke konstruksi," kata Mujimin.

Konstruksi memerlukan banyak tenaga kerja. Ia pun melibatkan warga desa baik untuk membangun maupun menebang bambu.

Bisnisnya terus berkembang dengan menjual sisa gelondongan bambu menjadi sumpit, tusuk sate maupun gelas dari bambu hingga furniture.

Kini, dengan keahliannya, ia bahkan kerap jadi mentor kerajinan bambu pada beberapa pelatihan.

Atau menjadi narasumber bertemakan seputar bisnis kerajinan bambu dan perlakuannya maupun diundang jadi "dosen tamu" yang bicara tentang usaha mandiri di kuliah mahasiswa semester awal pada beberapa kampus di Yogyakarta.

https://regional.kompas.com/read/2019/02/01/06252531/kegigihan-mujimin-menganyam-bambu-hingga-karyanya-rambah-eropa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke