Salin Artikel

Melaras Musik Tongling di Senyapnya Kaki Gunung Lawu

Para petani terlihat pulang dari kebun dengan membawa hasil kebun berupa sayuran jenis daun sop maupun wortel atau rumput untuk pakan ternak di boncengan motor mereka.

Ditengah kabut putih turun perlahan ke bumi, sayup terdengar suara berat dari barung, sebuah alat musik yang terbuat dari bambu dari dalam ruang serbaguna vihara yang terletak di ujung desa.

Suara barung kemudian ditingkahi dengan ketukan kentong membentuk harmonisasi yang cukup syahdu.

Suasana bertambah syahdu ketika suara seruling dengan nada rendah memainkan sebuah melodi tentang Desa Wono Mulyo dengan aktivitas warganya yang bertani di kesunyian lereng Gunung Lawu. Awan turun bergunpal semakin menebal menyelimuti Dukuh Wono Mulyo.

Sayangnya musik tongling (dari kata kentongan dan seruling) tidak bisa dimainkan utuh sore itu karena personil untuk memainkan peralatan tidak lengkap. Untuk mendengarkan musik tongling secara utuh setidaknya dibutuhkan 10 pemain.

“Kalau musim tanam begini memang tidak lengkap karena semua warga yang menjadi personil musik tongling sibuk di kebun,“ ujar pimpinan musik sekaligus penemu musik tongling Jono (65) alias Harjono, Senin (28/01/2019).

Berawal dari ronda keliling kampung

Musik tongling menurut Jono berawal dari rutinitas ronda keliling yang wajib dilakukan warga untuk menjaga keamanan lingkungan pada tahun 1966 pascapemberontakan PKI. Sambil memainkan dua hingga empat kentongan, warga keliling kampung menjaga keamanan.

Kepiawaian megharmonisasi gong karawitan saat masih bersekolah membuat Jono melakukan eksperimen dengan menambah alat seruling pada kentongan yang dimainkan. Dengan seruling Harjono mampu memainkan lagu dalam permainan kentongnya saat keliling kampung.

ke halaman selanjutnya


Merasa ada yang masih kurang dalam harmonisasi kentongan dan serulingnya, Harjono kemudian bereksperimen dengan penambahan pelaratan musik seperti gendang, angklung, ret ret (sebuah alat musik dari bambu yang memiliki gear dari bambu dimana setiap diaminkan berbunyi ret). 

Kemudian bas bambu (sebuah alat musik yang menghaslkan bunyi bernada rendah seperi bunyi bas gitar dimana untuk memainkan dengan cara ditiup), kentong barung, dan kentong penerus.

Dengan semakin lengkapnya alat pada musik tongling, Jono mampu mengharmonisasi lagu.

“Ada satu lagu yang saya buat tentang suasan dan keseharian penduduk disini. Lagu ini sering kita mainkan setiap tampil,” imbuhnya.

Kepiawaian mengharmonisasi musik menurut Jono berasal dari elajaran kesenian karawitan yang diikutinya saat bersekolah dulu. Namun mahalnya peralatan kesenian membuat keinginnan Jono memainkan karawitan kandas.

Di tengah kesunyian Dusun Wono Mulyo membuat Jono bertekat menemukan musik pengganti karawitan dengan peralatan musik dari bambu yang banyak terdapat di dusunnya.

“Dari situ awalnya kemudian saya mencoba satu satu membuat alat musik yang bisa menghasilkan nada dari bambu. Kayak kentong barung, ini kalau di karawitan namanya memang barung,” ucap Harjono.

Sejak memiiki peralatan musik tongling lengkap, musik tongling mulai mendapat tempat di hati warga Dusun Wono Mulyo.

Jono dan gropnya setiap tahun meramaikan kegiatan bersih desa di kampungnya dengan memainkan musik tongling. Musik tongling bahkan mulai diundang untuk meramaikan hajatan kawinan warga.

"Setiap hari raya Ki Hajar Wonokoso memperingati babat Desa Njeblog, sekarang jadi Dukuh Wonomulyo di uku galungan selasa wage, kita selalu tampilkan musik tongling sampai sekarang,” katanya.

Harjono mendaftarkan grup musik tongling ke Dinas Pariwisata Kabupaten Magetan pada tahun 1992 sebagai upaya mendapat pengakuan bahwa musik tongling juga merupakan khasanah musik di Kabupaten Magetan.

ke halaman selanjutnya


Mulai saat itu musik tongling tidak saja dimainkan di kampung Wono Mulya, namun mulai merambah keluar desa dengan mengikuti berbagai event yang digelar oleh pemerintah daerah. “Setiap memperingati hari jadi Kabupaten Magetan kita juga diundang dalam kegiatan vestifal musik ledug yang diadakan,” ucapnya.

Sayangnya seiring perkembangan waktu, musik tongling yang mendapat tempat di hari warga Magetan di era tahun 1990-an, eksistensinya mulai meredup.

Tidak adanya regenerasi pemain dan mulai jarang mengikuti event yang digelar pemerintah daerah membuat musik tongling mulai dilupakan.

Generasi muda lebih cenderung menyukai musik elektronik seperti elektone dan budaya musik pop saat ini, apalagi kemudahan jaringan internet membuat pemuda di Wono Mulyo juga gampang mengakses informasi dari luar. 

Mimpi musik tongling mendunia

Beruntung dari tiga anak Harjono, dua anak diantaranya menggeluti bidang kesenian dan masih memperhatikan kelestarian musik tongling.

Sutikno Dwi Anjono (30) anak kedua dari Harjono berangan-angan musik tongling bisa dimainkan di event internasional, berkolaborasi dengan orkestra seperti yang pernah dia lihat di Bali saat perhelatan IMF beberapa waktu lalu.

Saat itu dia begiitu kagum dengan orkestrasi yang di kolaborasui dengan musik bambu yang disuguhkan kepada para tamu undangan.

Selaku salah satu panitia yang menghadirkan tarian dari seluruh Indonesia di salah satu panggung yang disaksikan delegasi IMF, Sutikno mengaku bertekat membawa musik tongling lebih dikenal khalayak luas.

“Saya jadi ingat bapak saya punya musik tongling. Kalau yang lain bisa kenapa musik tongling tidak bisa di kolaborasi dengan orkestra?” ujarnya.

Sutikno Dwi Anjono merupakan jebolan Eki Dance Company yang saat ini membuka sebuah studio tari di Pulau Bali. Untuk melestarikan seni musik tongling milik ayahnya, Sutikno mulai membentuk grop musik tongling remaja.

Mesti harus pulang balik Bali – Magetan, untuk memberi warna lain Sutikno sering menghadirkan kolaborasi seni tari yang dia geluti dengan diiringi musik tongling dalam sebuah pagelaran. 

"Ini juga salah satu cara kami untuk menjaga eksistensi musik tongling sendiri sebelum keinginginan menyandingkan musik tongling dengan orkestra,” ucapnya.

Nada rendah dari kentong barung yang dipukul Harjono mengahadirkan intonasi lagu tentang Dukuh Wono Mulyo yang diciptakannya.

Ketukan kentong penerus yang dimainkan Sutikno terdengar menimpali melody yang dimainkan oleh bapaknya dengan kentong barung.

Sayup-sayup suara seruling yang dimainkan Hery putra ketiga Sujono sdikit melengkapi harmonisasi keindahan Dukuh Wono Mulyo menjelang sore itu.

Mesti harmonisasi musik tongling tidak bisa dihadirkan utuh sore itu, namun cukup melenakan telinga untuk ikut melaras tembang yang dimainkan di kesunyian lereng Gunung Lawu.

https://regional.kompas.com/read/2019/01/29/11300051/melaras-musik-tongling-di-senyapnya-kaki-gunung-lawu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke