Salin Artikel

Batik Ciprat Langitan, Ladang Rezeki bagi Penyandang Disabilitas Desa Simbatan

Sedikit kaku, tangan tersebut terus memenuhi kain yang berukuran 1,5 meter X 2,15 meter yang dibentangkan pada paralon yang dibentuk segi empat dengan pola spiralnya.

Sesekali tangannya kembali mencelupkan kuas kecil pada cairan lilin yang mulai menguap di wajan kecil di atas tunggu listrik disampingnya.

Sementara Marsini, salah satu siswa di shelter workshop kampung peduli disabilitas Desa Simbatan, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Magetan, Jawa Timur dengan tuna grahita dan tuna wicara terlihat serius mengamati hasil kerja Endang.

Dengan cekatan Marsini akan memindahkan hasil goresan lilin Endang bersama dengan Sunardi (44), Bei Mursito (42) dan Danang Eko Murtanto (29) untuk dijemur di bawah terik matahari di halaman belakang rumah yang dijadikan ruang kerja jika sudah selesai.

Menjelang siang, tiba-tiba gerimis turun membuat enam pekerja di shelter workshop cepat-cepat menyelamatkan kain-kain mori yang telah memiliki motif tersebut ke dalam ruangan kerja mereka yang luasnya hanya 3 x 9 meter.

Sambil menunggu hujan reda, mereka bersama sama menyantap makan siang yang telah mereka siapkan. Sambil menyuap nasi berlauk tempe, Sunardi mengaku bersyukur bisa berkarya melalui batik ciprat langitan.

“Hanya ini yang bisa kami lakukan. Kamis senang bisa kemana-mana dengan membatik,” ujarnya Rabu (23/01/2019).

Seminggu terkahir belasan siswa pelatihan di shelter workshop kampung peduli disabilitas simbatan sibuk mengerjakan kegiatan membatik untuk memenuhi pesanan sejumlah instansi pemerintah Kabupaten Magetan.

Saat ini batik ciprat langitan karya para siswa pelatihan di workshop kampung peduli disabilitas Desa Simbatan sudah menjadi busana wajib pagi Aparatur Sipi Negara (ASN) sesuai dengan imbauan Bupati Magetan Suprawoto.

“Dalam sehari siswa bisa menghasilkan 20 sampai 25 lembar batik ciprat langitan,” ujar pengelola workshop kampung peduli disabilitas Desa Simbatan Maryani.

ke halaman selanjutnya

Adalah Maryani, guru SLB di Kecamatan Kawedaan yang pertama kali melihat potensi tersembunyi puluhan anak anak dengan disabilitas di Desa Simbatan.

Pada tahun 2015, anak anak dengan disabilitas di Desa Simbatan masih terpinggirkan karena mereka dianggap sama dengan anak-anak yang menderita kelainan jiwa.

Hampir seluruh warga yang memiliki anak dengan disabilitas memilih menyembunyikan mereka. Hanya sebagian kecil warga yang membiarkan anak mereka beraktifitas diluar karena faktor ekonomi.

“Saya pernah mengikuti anak dengan disabilitas mencari rumput. Dari berangkat sampai pulang lagi, tak satupun ada warga yang mengajaknya bicara,” kata Maryani.

Pada awalnya meyakinkan warga bahwa anak anak mereka dengan disabilitas bisa memiliki kemampuan layaknya warga yang lain agar bisa mandiri menurut Maryani lebih sulit dibandingkan mengajari anak dengan disabilitas menguasi sebuah ketrampilan.

Untuk meyakinkan warga agar anaknya bisa mengikuti pelatihan, dia mengaku bisa belasan kali mengunjungi rumah mereka dengan segala macam penolakan.

“Prinsipnya kalau pintu depan ditutup, kami lewat pintu samping. Kalau pintu samping ditutup, masih ada pintu belakang yang kami masuki,” ucapnya.

Gagal dengan cara pendekatan biasa, Maryani melakukan pendekatan secara psikologis. Maryani datang ke rumah rumah orang tua yang anaknya dengan disabilitas dengan mengenakan seragam sekolah.

Dengan memahamkan pentingnya anak anak mereka harus memiliki keahlian untuk bisa mandiri membuat warga di Desa Simbatan mulai mengijinkan anak anak mereka mendapat pelatihan.

“Dari 27 anak dengan disabilitas kita berhasil mengikutsertakan 21 anak untuk mengikuti pelatihan,” katanya.

Untuk membiasakan warga dengan disabilitas bisa berbaur dengan warga, kepada Kepala Desa Simbatan Sugianto membantu pelan pelan dengan memberi ruang bagi warganya dengan disabilitas untuk sosialisasi.

Salah satunya cara adalah dengan memberi tempat khusus orang orang dengan disabilitas di dalam setiap hajatan selamatan warga.

“Setiap selamatan diundang dan diberi tempat khusus agar mereka membiasakan diri bersosialisasi dan membiasakan warga dengan kehadiran mereka, ” katanya.

Dengan berjalannya waktu, warga Desa Simbatan dengan disabillitas sedikit banyak kemudian mengusai sejumlah ketrampilan yang diajakran di shelter workshop seperti membatik, menjahit, membuat keset dan beberap ketrampilan lainnya.

Dengan ketrampilan yang mereka miliki, warga dengan disailitas akhirnya berani membuka diri berkomunikasi dengan warga lainnya. “Kita juga libatkan kegiatan seperti kerja bakti dan kegiatan lainnya, akhirnya masyarakat bisa berbaur dengan mereka,” imbuh Sugianto.

Ke halaman selanjutnya

Mendapatkan 21 siswa untuk diberi pelatihan membatik tidak lantas permasalahan berhenti. Lamanya anak anak dengan disabilitas terpinggirkan dari kehidupan masyarakat mempengaruhi emosional dan mereka cepat patah semangat.

Pun oleh hal kecil seperti warga yang ikut menonton dan mentertawakan mereka saat ikut proses pelatihan membuat batik, membuat sebagian siswa merasa terganggu dan enggan kembali datang ke tempat pelatihan.

Pada bulan pertama kesulitan paling besar yang dihadapi Maryati dalam melatih anak anak dengan disabilitas adalah soal penampilan para siswa yang kotor dan bau.

Selama terpinggirkan, mayoritas anak anak dengan disabilitas jarang sekali mendapat perawatan kebersihan seperti mandi, sehingga pelajaran pertama yang diwajibkan dalam pelatihan adalah kebersihan dan penampilan.

“Kita berikan sikat gigi agar mereka terbiasa menyikat gigi. Setiap masuk kita tanya apakah sudah mandi, apakah sudah pakai minyak wangi dan sebagainya,” ujar Maryani.

Kemampuan menyerap ilmu dalam pelatihan membatik membuat pendamping siswa membagi tugas kepada mereka.

Orang dengan disabilitas intelektual ringan biasanya diberi tugas ketrampilan membentuk pola pada batik ciprat.

Sementara yang tuna wicara dan tuna grahita akan diberi tugas menjemur atau memberi warna pada kain atau memberi pekerjaan yang tidak terlalu rumit.

“Kadang disuruh menutup warna merah, yang diambil cat warnna hitam. Tapi di sini yang salah pun menjadi benar, karena kadang hasil mereka jadi lebih bagus,” terang Maryani.

Ke halaman selanjutnya

Hasil karya batik ciprat langitan kampung peduli disabilitas Simbatan biasanya dijual dengan harga dibawah harga batik biasa. Satu lembar biasanya dijual hanya Rp 150.000 per lembar.

Selain dititipkan pada sejumlah toko yang dikelola oleh Bumdes, Maryani juga mempromosikan kepada instansi pemerintah desa hingga instansi kecamatan serta instansi pemerintah kabupaten.

Bukan perkara mudah meyakinkan konsumen dengan batik karya kampung peduli disabilitas karena motifnya tidak pernah sama.

“Makanya kita menyebutnya batik limited edition. Butuh waktu untuk meyakinkan warga bahwa proses batik ini dihaslkan oleh siswa dengan disabilitas. Alhamdulillh Bupati Magetan mensuport dengan mewajibkan ASN pakai batik ciprat langitan,” kata Maryani.

Batik ciprat langitan karya kampung disabilitas Simbatan memiliki beberapa motif diantaran motif meteor, motif gepyok, motif jumput, motif rainbow cake, motif lurikan dan motif ciprat sendiri.

Dinamakan batik ciprat langitan menurut Maryani karena saat pertama kali batik karya kampung peduli disabilitas Simbatan dipamerkan, sebanyak 100 lembar laku semua.

“Harapan karya batik kampung disabilitas Simbatan melangit dan pembeli batik membeli bukan karena kasihan kepada pembuatnya tetapi karena batik yang dihasilkan mereka berkualitas,” ujar Maryani.

Dapat bantuan kambing hingga pergi ke Thailand

Ketekunan Maryani membekali para disabilitas dengan ketrampilan membatik sejak tahun 2015 mulai membuahkan hasil.

Selain telah berhasil menghasilkan batik yang berkualitas, pada siswa pelatihan juga mendapatkan bantuan berupa kambing.

Sebagian Kambing bantuan yang diberikan kepada siswa bahkan telah berkembang menjadi sapi.

Beberapa siswa pelatihan bahkan bisa berkorban di hari raya Idul Adha dengan kambing milik mereka yang sudah berkembang menjadi banyak.

“Mereka yang menerima kambing bantuan juga ngangon seperti yang lainnya, saya tanamkan kalau menerima bantuan mereka juga bertanggung jawab memelihara,” ucap Maryani.

Saat ini Maryani berusaha mengembangkan kemampuan siswa pelatihan di Kampung peduli disabilitas Simbatan dengan membuat sepatu, tempat tisu, keset, mukeno dan tas, agar ke depan mereka memiliki lebih banyak ketrampilan dan menghasilkan lebih banyak produk.

Rencananya batik hasil karya mereka akan ditampilkan pada ajang kreatifitas penyandang disabilitas ditingkat Asean di Thailand.

https://regional.kompas.com/read/2019/01/24/07120981/batik-ciprat-langitan-ladang-rezeki-bagi-penyandang-disabilitas-desa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke