Salin Artikel

Gelas Bambu dan Wati, Kearifan Lokal Nagekeo untuk Kurangi Sampah Plastik

Produk-produk hasil olahan pabrik yang berbahan plastik mampu merusakan keberlangsungan dan keberlanjutan lingkungan hidup. Indonesia termasuk salah satu Negara di dunia yang memiliki masalah sampah plastik terbesar.

Perabot rumah tangga yang berbahan plastik dapat merusak lingkungan hidup. Bahan-bahan plastik merusakan tanah. Dan ini menjadi masalah terbesar dialami Bangsa Indonesia.

Para pemerhati dan pekerja lembaga swadaya masyarakat (LSM) selalu menyoroti pemerintah terhadap masalah sampah plastik.

Banyak cara yang dilakukan pemerintah bersama dengan lembaga swasta untuk mengatasi masalah sampah plastik serta bahan plastik. Kawasan darat dan laut selalu bertumpuk masalah sampah plastik yang sulit diatasi.

Botol, gelas air minum kemasan yang berbahan plastik harus didaur ulang oleh berbagai pihak yang fokus mengatasi sampah plastik. Lembaga-lembaga Internasil dan wisatawan asing dan nusantara selalu memperbincangkan sampah plasti di obyek wisata yang merusak lingkungan.

Mendaur ulang sampah plastik belum bisa mengatasi sampah plastik. Dan kebiasaan warga yang membuang sampah plastik di sembarangan tempat, baik pinggir jalan raya, lingkungan rumah dan alam terbuka mampu merusak lingkungan.

Berangkat dari sulit mengatasi sampah plastik di Pulau Flores umumnya dan di Kabupaten Nagekeo khususnya, maka Bupati Nagekeo, dr. Johanes Don Bosco Do dan Wakil Bupatinya, Marianus Waja yang dilantik Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat, Minggu (23/12/2018) memiliki konsep dan program untuk mengatasi masalah sampah plastik.

Gerakan kebangkitan produksi lokal selama lima tahun ke depan.

Salah satu yang dikembangkan oleh pemimpin baru Nagekeo itu dengan memakai produk-produk lokal yang dianyam oleh rakyatnya dan bahannya berasal dari alam Nagekeo.

Bahan-bahan yang bersumber dari alam Nagekeo sangat ramah lingkungan. Bahannya berasal daun lontar serta bambu yang dianyam oleh kaum perempuan dan laki-laki yang bersumber dari alam Nagekeo.

Dimulai dari wadah untuk makan yang disebut “wati” dan tempat minum dari bambu. Ini menggantikan pemakaian piring plastik yang berasal pabrik.

Selama ini apabila rakyat Nagekeo membeli gelas plastik, piring plastik dan mangkok kaca dan alumenium untuk tempat makan serta minuman kemasan yang berbahan plastik maka uang rakyat Nagekeo kembali ke pemilik pabrik dan rakyat Nagekeo hanya memperoleh tumpukan sampah plastiknya.

Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo di era kepemimpinan selama lima tahun kedepan, maka uang rakyat dan uang pemerintah harus berputar di seluruh kampung dengan membeli bahan-bahan yang ramah lingkungan yang berasal dari alam Nagekeo.


Wawancana khusus Kompas.com di Rumah Tenun Sa’o Pipi Tolo di Kecamatan Nangaroro, Jumat (28/12/2018) lalu, Bupati Nagekeo, dr. Don menjelaskan, gerakan kebangkitan produksi lokal Nagekeo akan mengurangi pemakaian berbahan plastik dan keperluan dan kebutuhan rumah tangga penduduk Nagekeo.

Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo tidak kuatir dengan perlawanan dan persaingan dari produk-produk dari pabrik yang berbahan plastik.

Kedua-duanya tetap mengambil peran masing-masing. Pemilik modal yang mengolah bahan kebutuhan rumah tangga tidak terganggu dengan program yang direncanakan pemerintah, bahkan, kedua-duanya memiliki peran masing-masing.

“Saat ini tidak bisa dibendung produk-produk dari olah pabrik yang berbahan plastik karena setiap orang memiliki pilihan masing-masing dalam menggunakan bahan kebutuhan rumah tangga. Namun, Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo juga mengambil peran dalam meningkatkan perekonomian rakyat serta pemberdayaan rakyat lokal dengan memakai bahan-bahan yang ramah lingkungan,” jelasnya.

Bupati Nagekeo, dr Don menjelaskan, Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekoe tidak mengambil peran dari produk-produk pabrik, melainkan pemerintah memiliki tugas dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui program-program yang baru sesuai dengan kearifan lokal yang diwariskan leluhur orang Nagekeo yang ramah lingkungan.

“Saya mulai dari diri sendiri untuk memakai produk lokal hasil olahan rakyat Nagekeo. Selama ini kesulitannya adalah pasar untuk menjual anyam lokal rakyat Nagekeo yang tidak merusak lingkungan hidup. Dan juga aparat sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo wajib memberi produk lokal yang dihasilkan oleh rakyat Nagekeo," katanya. 

Wadah “wati” dan gelas bambu apabila sudah rusak maka bisa dibuang di belakang rumah dan akan lapuk yang menyuburkan tanah. Muncul humus tanah karena daun lontar dan bambu itu bisa lapuk. Tidak keras.

Beda dengan piring plastik dan kaca, gelas plastik dan kaca harus membuat lubang sampah sebagai tempat pembuangannya. Butuh waktu bertahun-tahun bahan-bahan itu lapuk dan tidak menimbulkan kesuburan tanah. "Di situ letak perbedaannya," lanjutnya. 

Bupati Nagekeo, dr Don menjelaskan, keberlangsungan dan keberlanjutan produk lokal yang berasal dari alam Nagekeo sebagai bahan dasarnya makan padang savana di seluruh Nagekeo harus dihijaukan dengan menanam pohon lontar serta terus menanam bambu, baik secara pribadi maupun melalui program pemerintah.

“Saya ajak seluruh masyarakat Nagekeo dan pihak wiraswasta untuk mendukung program pemerintah yang ramah lingkungan. Jikalau lingkungan tidak sehat karena penuh dengan sampah plastik akan berdampak pada kesehatan masyarakat itu sendiri. Saya ini berlatarbelakang dokter mengetahui semuanya. Saya mengetahui bagaimana menjaga wadah “wati” itu bersih dan higienes sesuai standar kesehatan serta gelas bambu. Program ini tidak merugikan pihak wiraswasta, melainknan menguntungkan berbagai pihak,” jelasnya.

Rektor Unwira Kupang, Pater Philiphus Tule, SVD kepada Kompas.com di rumah tenun Sa’o Pipi Tolo, Jumat (28/12/2018) menjelaskan, program kebangkitan produksi lokal di Nagekeo akan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat.

Ini juga mengembalikan kepercayaan rakyat Nagekeo bahwa keterampilan mereka sebagai warisan leluhur diperhatikan pemerintah setempat. Wadah “wati” dan gelas bambu sebagai identitas dari masyarakat adat di seluruh Nagekeo.

Mengapa sebagai identitas masyarakat lokal, lanjut Pater Tule, karena ini merupakan warisan turun temurun oleh para leluhur orang Nagekeo. Selain itu, wadah “wati” dan gelas bambu dipakai saat hidangan pada pesta adat, pesta perkawinan adat dan lain sebagainya.

“Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo dibawah kendali pemimpin baru ini sudah mempelajari dan mengetahui suara rakyat Nagekeo. Salah satu produk yang ramah lingkungan selain kain tenun adalah anyaman wadah “wati” dan gelas bambu yang diambil alam Nagekeo. Sesungguhnya alam Nagekeo dapat meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga melalui olahan tangan manusia Nagekeo yang tidak merusak alam. Saya berharap program kebangkitan produksi lokal Nagekeo ini harus didukung penuh oleh rakyat dan semua pihak,” harapnya.

Pater Tule menjelaskan, produk hasil olahan pabrik berbahan plastik mudah dibeli oleh rakyat Nagekeo karena ada pasarnya. Untuk itu, pemerintah menyediakan pasarnya dan juga aparat sipil negara (ASN) Nagekeo bisa menjadi pasar dari produk lokal orang Nagekeo itu sendiri.

“Kita kadang-kadang bangga dengan produk berbahan plastik yang tidak ramah lingkungan sementara produk lokal yang ramah lingkungan dilupakan. Dan bukan menjadi kebanggaan orang lokal Nagekeo,” jelasnya.

Staf Khusus Presiden Republik Indonesia Komjen Gories Mere kepada Kompas.com, Jumat (28/12/2018) menjelaskan, rumah tenun Sa’o Pipi Tolo bagian dari pemberdayaan bagi para penenun lintas agama di Kabupaten Nagekeo.

Ini juga mendukung program Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo untuk mengangkat seni karya kaum perempuan Nagekeo yang berbahan dasar alamiah dari hutan Nagekeo.

“Pewarna kain tenun bermotif Nagekeo bukan hasil olahan pabrik melainkan dari olahan daun-daun dan akar kayu yang bersumber dari alam Nagekeo. Sebelum Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo merencanakan kebangkitan produksi lokal, saya sudah lebih dulu memikirkan dan mewujudkannya dengan mendirikan rumah tenun lintas agama di Sa’o Pipi Tolo,” jelasnya.

Mere menjelaskan, selama ini kain tenun bermotif Nagekeo khususnya dan Flores pada umumnya dijual dengan harga murah berkisar Rp 250.000 sampai Rp 300.000 sementara proses menenunnya membutuhkan waktu satu bulan atau lebih. Walaupun hasil tenunnya sangat berkualitas tinggi.

Untuk itu, rumah tenun Sa’o Pipi Tolo sebagai pusat pemberdayaan penenun lokal dengan menghasilkan kain tenun berkualitas dan dijual dengan harga yang layak sesuai dengan standar kualitasnya.

Orang Eropa sangat suka dengan kain tenun Flores karena tebal dan cocok di daerah dingin atau saat musim dingin disana. Kain tenun Flores dipakai saat musim dingin memberikankehangatan dalam tubuh karena bahan-bahannya berasal dari alam, bukan hasil olahan pabrik.

“Rumah tenun atau sanggar tenun Sa’o Pipi Tolo Nangaroro, Kabupaten Nagekeo sebagai pusat pemberdayaan para penun di sekitar Nagekeo maupun seluruh Pulau Flores,” jelasnya. 

https://regional.kompas.com/read/2018/12/31/08351361/gelas-bambu-dan-wati-kearifan-lokal-nagekeo-untuk-kurangi-sampah-plastik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke