Salin Artikel

Kisah di Balik Genteng Anti Gempa, Bobot Ringan hingga Diklaim Cocok di Wilayah Gempa

KOMPAS.com - Inovasi genteng anti gempa karya mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang meraih medali emas di kontes International Trade Fair of Ideas Invention and New Product di Jerman beberapa waktu lalu.

Para mahasiswa tersebut membuat genteng dari adonan pasir, semen, air dan limbah styrofoam.

Kelebihan genteng tersebut adalah lebih ringan dan diklaim cocok untuk dipakai di daerah rawan gempa.

Berikut ini fakta terkait inovasi genteng anti gempa.

Salah satu keunggulan genteng styrofoam karya mahasiswa Undip adalah lebih ringan dari genteng pada umumnya.

Dengan sifat ringan itu, genteng ini diklaim tidak membahayakan warga yang berada di daerah rawan gempa.

Ketua tim Genteng Styrofoam Yunnia Rahmadani menjelaskan, genteng itu dibuat khusus di daerah tempat tinggalnya di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Yunnia mengaku membutuhkan beberapa kali percobaan agar genteng yang dibuat sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan.

Yunnia mengatakan, proses menemukan komposisi yang pas ternyata tidak mudah. Namun, belajar dari proses pembuatan genteng di tempat asalnya, Grobogan, Yunnia akhirnya berhasil menemukan komposisi yang tepat.

“Ini gentengnya dibuat di Grobogan, langsung di daerah sentra kerajinan. Genteng ini berbeda karena ada tambahan limbah styrofoam,” ujar Yunnia, saat ditemui di kampus Undip, Senin (26/11/2018).

Yunnia menjelaskan perbedaan genteng karyanya dengan genteng pada umumnya adalah material styrofoam.

“Pembedanya cuma itu dibanding genteng lainnya. Hasilnya, genteng lebih ringan, karena ada styrofoam. Kalau unsur kimia, styrofoam bahan yang tidak bisa didaur ulang, dan memudarnya sangat lama sekali,” katanya.

Genteng styrofoam milik Yunnia disebut ramah lingkungan karena mampu mendaur ulang limbah styrofoam.

Yunnia memanfaatkan limbah dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Undip lalu dihaluskan, dicampur dengan adonan pasir dan semen, kemudian masuk dalam cetakan.

Berdasar data laboratorium, kekuatan genteng anti gempa rata-rata kuat, dengan berat per genteng mencapai 760 gram.

“Genteng ini ramah lingkungan. Kami manfaatkan limbah styrofoam dari TPA Undip yang banyak. Styrofoam dipilih karena limbah itu sulit diurai,” kata mahasiswi semester 7 ini.

Bersama timnya, Yunnia kemudian mencoba mengikutsertakan karya itu ke dalam ajang perlombaan di Jerman.

Ide dan gagasan itu bersaing dengan 800 peneliti negara lain, di mana dua diantaranya dari Indonesia. Inovasi Yunnia dan timnya berhasil meraih medali emas. 

Menurut dosen pembimbing tim Genteng Styrofoam, M Nur Sholeh, tambahan zat adiktif berupa limbah styrofoam menjadi ciri pembeda.

“Pembedanya cuma itu dibanding genteng lainnya. hasilnya, genteng lebih ringan, karena ada styrofoam. Kalau unsur kimia, styrofoam bahan yang tidak bisa didaur ulang, dan memudar ya sangat lama sekali,” katanya.

Dalam tiap genteng, ukuran limbah styrofoam dalam adonan tidak boleh lebih dari 20 persen. Lalu, ide tersebut muncul karena banyaknya bencana gempa yang merenggut korban jiwa di beberapa daerah di Indonesia.

“Ide membuat genteng itu dilatarbelakangi karena banyaknya gempa di negeri ini. Banyak korban meninggal karena kejatuhan bangunan, terutama atap. Itu dasar kami, mungkin ini ikhtiar kami untuk mengurangi korban,” katanya.

Sumber: KOMPAS.com (Nazar Nurdin)

https://regional.kompas.com/read/2018/11/27/20571001/kisah-di-balik-genteng-anti-gempa-bobot-ringan-hingga-diklaim-cocok-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke