Salin Artikel

Upaya Cirebon Membangun Desa Wisata Gerabah ala Kasongan

KOMPAS.com - Produk gerabah Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Cirebon, sampai sekarang masih didominasi pasar untuk kebutuhan sehari hari.

Produk kendil ari-ari, tempayan tempat empal gentong, pendaringan (tempayan tempat beras) tungku kecil untuk memasak kue basah serabi, dan tungku tungku besar lainnya, seperti disampaikan pedagang Nurwati (38) dan suaminya, Jayadi (38), Senin 19/11/2018), masih menjadi andalan keuntungan mereka.

“Peringkat kedua terbanyak pembelinya adalah memolo (ornamen khas Jawa Barat yang dipasang di atas bangunan), dan topeng Cirebon. Topeng topeng ini sebagai bahan prakarya kalangan siswa SD dan SMP, untuk selanjutnya di warnai atau dilukis,” tutur Nurwati (38), saat ditemui dirumahnya di Blok Sentul, Sitiwinangun.

Beberapa tahun terakhir ini, lanjut Jayadi, produk memolo bertambah.

“Biasanya untuk cukup makam atau gapura makam, rumah, mushola, dan beberapa balai pertemuan desa,” ujar Jayadi.

Menurut Nurwati, dalam sepekan bibinya yang juga berdagang gerabah di depan rumahnya, bisa menjual kendil ari ari sampai 2000 kendil, sementara tempayan tempat empal gentong terjual sampai 200 tempayan setiap bulan.

“Kalau pendaringan, kami bisa melepas 1000 tempayan setiap dua pekan. Dari tangan pengrajin, mereka bisa membuat 200 tempayan setiap dua pekan,” papar Nurwati.

Apa yang disampaikan keduanya mencerminkan, pasar gerabah di Sitiwinangun masih mengandalkan masyarakat tradisional.

“Pembeli produk produk ini bukan cuma berasal dari Cirebon, tetapi juga datang dari Tasikmalaya, Bandung, Indramayu, Majalengka, dan Sumedang. Beberapa sentra gerabah di Cirebon seperti sentra gerabah di Harjawinangun, Sindang Laut, Kedondong, dan Cebor bahkan sering nitip jual ke sini,” ungkap Nurwati.

Untuk produk gerabah halusan, gerabah hiasan, pot pot besar, kursi dan meja taman, tambah Jayadi, ia membelinya dari Kasongan, Jogjakarta.

“Harus kami akui, produk kasongan lebih unggul karena para pengrajinnya terus berinovasi dengan bermacam bahan non tanah,” ungkap Jayadi sambil menunjukkan satu set meja dan kursi taman gerabah yang dihilasi pecahan kaca.

Pengembangan desain para pengrajin Kasongan pun terus dilakukan.

Ia kemudian menunjukkan gentong gentong oval vas bunga yang dibalut anyaman rotan.

“Yang datang ke sini kebanyakan memang pembeli dari masyarakat tradisional, tetapi saat wisatawan dari luar Cirebon datang, mereka lebih banyak membeli produk gerabah dari Kasongan,” ujar Jayadi.

Menurut Nurwati, sentra gerabah tertua awalnya ada di Panjunan, tetapi setelah kawasan tersebut menjadi kota dengan pemukiman yang padat penduduk, pembakaran terbuka gerabah, dilarang.

Setelah Panjunan gulung tikar, sentra gerabah Sitiwinangun mulai berkibar. Sayang, tak lama. Sebab, produk plastik berkembang di tahun 90-an, menyingkirkan produk produk gerabah di Sitiwinangun.

Kaya ornamen, tahan api

Kadmiya (50), salah seorang pengrajin handal di Sitiwinangun yang ditemui terpisah, Senin, mengakui apa yang disampaikan pasangan suami istri tadi.

“Kasongan unggul di hampir semua lini, kecuali soal kekuatan produk. Sitiwinangun paling unggul karena bahan tanahnya paling baik. Melihat hal itu, para pengrajin Kasongan tidak membuat produk kebutuhan sehari sehari yang bersentuhan dengan api seperti kebanyakan produk produk para pengrajin di Sitiwinangun. Cerdas mereka,” puji Kadmiya.

Produk gerabah di Plered, Purwakarta, Jawa Barat, lanjutnya, unggul di pewarnaan. Pengrajin di sana dan pengrajin gerabah di Pagar Jurang, Mbayat, Klaten, Jawa tengah, unggul dalam soal finishing.

Menurut Kadmiya, sebenarnya para pengrajin di Sitiwinangun mampu melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan para pengrajin gerabah di Kasongan, Plered, Pagar Jurang, maupun para pengrajin gerabah di Bali.

“Yang masih menjadi kesulitan besar para pengrajin di Sitiwinangun adalah pasar. Kami belum mampu melakukan riset pasar, pengembangan pasar, pengembangan desain untuk pasar menengah ke atas. Padahal kami sudah beberapa kali melakukan studi banding ke sana. Sejumlah pameran dan pendampingan dari kementerian dan dinas terkait pun sudah dilakukan,” ungkap Kadmiya.

Padahal di sisi lain, lanjut Kadmiya, Sitiwinangun memiliki banyak ornamen keraton pada gerabah yang berpotensi mengungguli sentra sentra kerajinan gerabah di daerah lain.

Selain itu, Cirebon memiliki bahan tanah yang bagus untuk produk gerabah.

“Kalau sudah menyangkut pasar menengah ke atas, biaya produksi kan lebih tinggi. Kalau gagal, kami rugi,” ujar Kadmiya.

Ia berharap, kerjasama membangun Desa Wisata Gerabah Sitiwinangun antara Kuwu Sitiwinangun, Brata Menggala, dengan Sultan Keraton Kasepuhan, Cirebon, PRA Arief Natadiningrat, Kamis (22/11/2018), bisa memecahkan masalah ini.

“Saya berharap jaringan bisnis sultan dengan kalangan pengelola hotel, dan restoran, properti, dan sejumlah pengusaha lainnya di Cirebon mampu meningkatkan dan menciptakan pasar bagi para pengrajin gerabah di Sitiwinangun. Apalagi beliau kan ‘pemilik’ ornamen ornamen keraton. Dengan demikian kami, para pengrajin, bisa belajar lebih banyak dari beliau,” ujar Kadmiya.

Sebelumnya, Arief menjelaskan, di Sitiwinangun pernah bekerja 1000 pengrajin. Tetapi tahun 2016 tinggal 30 pengrajin.

Melihat kemerosotan produksi dan tenaga pengrajin, Arief berinisiatif menjalin kerjasama dengan Kuwu Sitiwinangun sejak tahun 2016.

“Sekarang sudah ada 70 pengrajin dengan produksi yang meningkat 100 persen,” ucap Arief.

Pada Kamis nanti, Brata Menggala dan Arief akan meresmikan ruang pamer gerabah, gapura, dan balai pertemuan (pancaniti).

“Semoga apa yang diharapkan Pak Kadmiya, bisa terealisir asal semua pemangku kepentingannya mau peduli. Kalau hanya pihak keraton saja, kurang maksimal,” ujar Arief, Rabu (21/11/2018).

https://regional.kompas.com/read/2018/11/21/12570091/upaya-cirebon-membangun-desa-wisata-gerabah-ala-kasongan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke