Salin Artikel

Tim Aksantara ITB Raih Juara 2 Kompetisi Pesawat Tanpa Awak di Turki

BANDUNG, KOMPAS.com - Tim Aksantara Institut Teknologi Bandung (ITB) berhasil meraih juara kedua dalam kompetisi pesawat tanpa awak di Tubitak International UAV (Unmaned Aerial Vehicle) Competition 2018 kategori fixed wing (FW).

Tubitak UAV Competition merupakan kompetisi pesawat tanpa awak berskala internasional yang diadakan setiap tahun oleh Badan Riset Sains dan Teknologi Turki.

Pada tahun ini, Aksantara ITB, salah satu unit kegiatan mahasiswa yang bertugas mengembangkan pesawat untuk kepentingan kompetisi ini, berhasil lolos proses seleksi proposal bersama 85 tim yang berasal dari Pakistan, Mesir, dan Turki.

Aksantara sendiri mengirimkan 2 timnya untuk mengikuti kompetisi internasional di Turki ini yakni pada kategori fixed wing dan rotary wing.

Untuk mengikuti kompetisi internasional ini tidak mudah. Di tengah kesibukan kuliah, para mahasiswa mencoba membuat riset desain, bentuk geometri, hingga analisis pesawat.

Mereka membutuhkan waktu 8 bulan persiapan, mulai dari persiapan anggota tim, riset, hingga produksi pesawat yang akan dikompetisikan.

Semua riset itu ditumpahkan dalam sebuah proposal yang dikirimkan untuk mengikuti Tubitak.

Setelah melalui proses seleksi yang ketat, akhirnya tim Aksantara terpilih mengikuti kompetisi internasional ini.

"Persiapannya sejak Februari 2018 selama 8 bulan. Persiapan mulai dari anggota timnya, kemudian desain pesawat, sehingga keluar bentuk geometri pesawat, hingga membuat analisisnya," kata dosen pembimbing tim fixed wing, M Agoes Moelyadi ketika ditemui di ITB, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (3/9/2018).

Menurut Agoes, setiap kategori memiliki misi tersendiri yang harus diselesaikan masing-masing tim.

Seperti dalam kategori fixed wing, terdapat 3 misi yang harus diselesaikan, yakni menerbangkan UAV FW melalui lintasan yang telah dibuat dengan tambahan looping 360 derajat.

"Pada misi ini kemampuan pilot untuk menerbangkan pesawat dengan cara terbang visual atau dengan first person view (FPV) sampai landing," katanya. 

Misi kedua, pesawat harus mampu melakukan payload dropping atau melepaskan beban atau barang yang dibawanya yang dilakukan secara otomatis (tanpa dikendalikan pilot).

"Dia terbang mengikuti lintasan dan melepaskan barang," jelasnya.

Misi ketiga, pesawat dapat terbang secara otomatis dan landing dengan jarak target yang ditentukan dengan garis finish.

"Ini terbangnya otomatis dan landing tepat di garis finish. Kalau melewati garis finish dapat skor tinggi," jelasnya.

Dalam kompetisi ini, lanjutnya, tim Aksantara ITB melakukan misi dengan baik. Hanya saja, pada misi kedua, pesawat sempat keluar lintasan saat landing.

"Pas keluar lintasan itu kami harus handle, itu yang menyebabkan diskualifikasi. Tapi hanya kami sebenarnya yang bisa melakukan misi dengan baik, tim yang lain malah tidak ada yang bisa," jelasnya.

"Dari ketiga misi ini kami mendapatkan posisi kedua. Itu patut kami syukuri kalau melihat kesiapan tim persiapan delapan bulan," imbuhnya.



Ketua tim Fixed Wing Raynaldi Masli menambahkan, proses desain pesawat buatan timnya ini berlangsung selama tiga bulan yakni sejak Februari hingga April 2018.

Namun, panitia Tubitak sendiri meminta konseptual desain itu diterjemahkan dalam bentuk proposal, bagaimana misi tersebut bisa dijalankan pesawatnya dengan baik.

Dikatakan, kelebihan dari pesawat tanpa awak milik timnya ini yakni mampu terbang rendah dengan kecepatan tertentu.

"Pesawat bisa terbang selama mungkin, lima meter per detik, seperti orang yang sedang berjalan," terangnya.

Selain itu, pesawat tanpa awak itu pun memiliki modular yang bisa dibongkar pasang tergantung dari kebutuhan misi yang diminta.

"Misalmya, misi seringan dan secepat mungkin sehingga kita bisa melepas bagian belakang untuk menjatuhkan bola dan mengatur posisi sayap terhadap badan pesawatnya itu. Kita bisa mengubah kebutuhan itu untuk misi pendaratan atau pendaratan bola," tuturnya.

Selain bisa bermanuver, pesawat ini pun bisa dikendalikan dengan menggunakan remote control.

"Dari segi aero dinamika pesawat diuji komputasional. lalu untuk di tahap detail desain melakukan manufaktur pesawat. Pesawat ini murni dibuat menggunakan tangan, (pembuatan) tidak menggunakan mesin sama sekali," tuturnya.

Pesawat sendiri terbuat dari bahan ringan, butuh satu minggu untuk membuat pesawat tersebut. Dalam kompetisi Tubitak ini, pihaknya membawa tiga unit pesawat tanpa awak yang bisa dibongkar pasang.

"Sistemnya, sistem tunggal bongkar pasang bisa dipindahkan ke frame pesawat lainnya," katanya.


Dosen pembimbing tim rotary wing, Widyawardhana Adiprawita menambahkan, lokasi kompetisi acara yang digelar pada tanggal 28 September 2018 ini dilakukan di IGA (Istambul Gran Airport).

Dalam penyelenggaraannya, Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan bahkan datang langsung menyaksikan kompetisi internasional ini.

Sementara itu Tim Rotary Wing Rhenetou Virginio mengatakan bahwa proses seleksi yang dilakukan panitia Tubitak dinilainya sangat detil.

"Proses analisis sangat diperhatikan dengan detail, jadi kami menerapkan proses enginering baik sebagai latihan kami maupun sebagai mahasiswa. Ilmu kami terapkan secara detail dan terstruktur dan analisa ini kami masukkan dalam laporan pada panitia lomba," tuturnya.

Hasilnya dua laporan pun lolos dan tim Aksantara pun dapat berlomba dalam kompetisi internasional itu.

"Laporan pertama konseptual desain, analisis awal, apa saja yang digunakan dan diterapkan. laporan kedua analisis lebih lanjut dari laporan pertama, implementasi dan bagaimana hasil dari misi tersebut," jelasnya.

Dalam misi kategori rotary wing (RW) ada tiga misi yang harus dijalankan, yakni pertama, menerbangkan UAV RW melalu lintasan yang telah dibuat dengan tambahan looping 360 derajat.

Pada misi ini, wahana RW harus diterbangkan langsung oleh seorang pilot baik dengan cara terbang visual atau FPW.

Kedua, membawa payload dan memasukannya ke dalam kotak payload dropping mechanism (PDM).

Pada misi ini, wahana UAV harus terbang otomatis tanpa dikendalikan pilot. Mekanismenya yaitu menentukan waypoint dan posisi GPS sebelum wahana terbang.

Ketiga, mengambil kotak PDM dengan terbang mekanisme otomatis tanpa pilot untuk meletakan suatu benda ke lokasi target yang sama dengan misi kedua.

"Tim kami mendapatkan peringkat kesembilan," terangnya.

Pembuatan dua pesawat tanpa awak ini menghabiskan biaya hingga puluhan juta rupiah.

"Untuk rotary wing sekitar 23 juta, untuk fixed wing 16 juta, total keseluruhan dana yang dikeluarkan sekitar Rp.39 juta. Ini memang mahal di komponen sistem," jelasnya.

https://regional.kompas.com/read/2018/10/03/22171681/tim-aksantara-itb-raih-juara-2-kompetisi-pesawat-tanpa-awak-di-turki

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke