Salin Artikel

Atasi Trauma, Korban Gempa Lombok Perlu Bantuan Psikolog


Meski telah kembali ke kampungnya, Delfina masih belum mau mendekat ke rumahnya yang telah rata dengan tanah.

Karena di rumah tersebut, Delfina dan ibunya sempat tertimpa reruntuhan rumah saat gempa magnitudo 7,0 mengguncang daerahnya.

Untungnya, Minggu (19/8/2018), psikolog dari kantor Biro Psikologi Westaria Bandung datang ke kampung tersebut.

Delfina pun langsung mendapat penanganan psikolog. Kurang dari satu jam, Delfina sudah berani mendatangi rumahnya yang telah rata dengan tanah.

"Di tempat ini anak saya tertimbun puing-puing rumah," jelas Fadli sambil menunjukkan bagian rumah tempat dirinya menemukan anak dan istrinya tertimbun tanah sambil menggandeng anaknya.

Meski sempat tertimbun reruntuhan rumah, Delfina dan sang ibu masih terselamatkan reruntuhan kuda-kuda atap rumah yang ikut roboh.

Hingga tembok dan kayu kusen pintu rumah yang roboh tidak sampai menimpa langsung.

Namun tetap saja, Baiq Kartina (38), istri Fadli mengalami luka-luka di bagian kepala dan tangannya karena tertimpa reruntuhan tembok dan kayu hingga sempat dirawat di rumah sakit di Lombok Timur.

Karena rumahnya telah rata dengan tanah, saat ini ia bersama istri dan anaknya tinggal di tenda pemberian relawan di belakang rumahnya.

"Semua rumah di sini rata dengan tanah, ada sekitar 500 rumah di sini," tuturnya.

Karliade Aji Putra (19), anak pertama Fadli mengungkapkan, saat gempa pertama yang membuat rumahnya rata dengan tanah, ia tengah kuliah di Mataram.

Keesokan harinya, ia pulang ke kampungnya dengan menumpang kendaraan pengangkut bantuan dari Mataram.

"Tidak ada kendaraan umum untuk pulang, akhirnya saya numpang truk yang bawa tenda dari Mataram," bebernya.

Perasaan Aji pun hnacur saat melihat rumah tempat ia dibesarkan rata dengan tanah. Apalagi saat ia mendengar, ibunya yang tengah hamil muda bersama adik bungsunya sempat tertimpa reruntuhan rumah.

Makanya, adik lelakinya yang saat ini duduk di kursi SMP di Mataram, dilarang orangtuanya untuk pulang.

"Kalau saya harus pulang walau tidak libur, kasihan bapak di sini sendirian bereskan rumah," bebernya.

Bantuan Psikolog

Yuli Sulisdiawati, psikolog dari Biro Psikologi Westaria Bandung yang datang bersama timnya ke Lombok Utara mengungkapkan, para korban gempa saat ini mengalami trauma berbagai bentuk.

Karena itu, ia memilih memberikan teknik Deep Pshycology Technique With Tapping (DEPTH) untuk terapi korban gempa.

Teknik yang dikembangkannya ini, diklaimnya berhasil membantu korban bencana di beberapa daerah dari mulai tsunami di Aceh, gempa di Padang Sumatera Barat, Yogyakarta, banjir bandang Garut, dan tempat-tempat bencana lain.

"Metoda ini bisa disebut shortcut untuk menghilangkan trauma," katanya.

Gejala trauma sendiri, bisa terlihat pada kasus Delfina, anak yang tak berani pulang ke rumahnya setelah gempa.

Bentuknya, bisa berbeda-beda pada tiap orang. Ada korban yang anggota keluarganya meninggal atau mereka mengalami luka-luka akibat gempa.

Fadli, orangtua dari Delfina sendiri mengakui, setelah mengikuti terapi psikologi dengan metoda DEPTH, dirinya bisa merasa lebih tenang dan seolah telah melepas berbagai beban pikiran yang selama ini ada di benaknya.

"Alhamdulillah, lebih tenang sudah terasa lebih plong," kata guru mengaji di Desa Dangiang tersebut.

Selain mengikuti terapi, Fadli menjadi peserta pelatihan agar dirinya bisa mempraktikkan terapi sederhana ini kepada tetangganya.

Terapi DEPTH

Metoda terapi psikologi DEPTH, menurut Yuli, merupakan salah satu cara membongkar trauma yang tertanam di alam bawah sadar manusia dan membuangnya.

Caranya, dengan melakukan tapping (pengetukan) pada titik-titik emosi yang ada pada tubuh manusia.

"Ada lebih dari 12 titik emosi dalam tubuh yang bisa diketuk agar trauma dalam diri seseorang bisa keluar," katanya.

Terapi sendiri bisa dilakukan secara personal, hingga massal. Namun untuk terapi massal, dibutuhkan banyak tenaga terapis. Mereka yang telah mengikuti pelatihan, nantinya bisa melakukan terapi secara personal.

"Biasanya saat diterapi reaksinya mulai dari menangis, hingga muntah, dan histeris. Ini luapan ketakutan mereka, tapi setelah itu tuntas. Trauma mereka berkurang dan emosi mereka jadi relatif stabil," tuturnya.

Setelah itu, menurut Yuli, para peserta terapi bisa melakukan self healing (terapi sendiri) dengan menggunakan teknik yang dilakukan saat ikut terapi massal.

Menurut Yuli, tantangan penanganan trauma pada korban gempa Lombok yang paling besar adalah hingga kini gempa masih terus terjadi.

Padahal, banyak korban belum benar-benar bisa keluar dari rasa traumanya.

Yuli memastikan, para korban mengalami trauma yang mendalam dan perlu penanganan psycological trauma yang baik. Agar, trauma yang ada tidak membekas dan membawa pengaruh negatif dalam kehidupan sehari-hari.

"Bukan hanya sekedar trauma healing nyanyi-nyanyi dan bermain, para korban perlu penanganan psikolog ahli," jelasnya.

https://regional.kompas.com/read/2018/08/20/21031121/atasi-trauma-korban-gempa-lombok-perlu-bantuan-psikolog

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke