Salin Artikel

Sukijan, Sang Penjaga Mata Air di Bukit Menoreh

Air berasal dari jauh, yakni dari balik sebuah tanggul batu bata di sungai ini di batas dusun Clapar 3 dengan Clapar 1, Kokap.

Debitnya memang tidak besar di tengah musim kemarau dan kekeringan yang sedang melanda sebagian wilayah Kulon Progo.

Sukijan, pria separuh baya asal Clapar 3, tampak membersihkan salah satu bak kecil pada tanggul. Ia membuang daun-daun kering dan ranting dari sekitaran tanggul dan bak kecil penampung. Sesekali ia memperhatikan ke dalam bak itu riak pelan air yang masuk ke dalam sebuah pipa.

"Ini debitnya kecil sekali. Sudah sangat berkurang. Dulu, kita masukkan tangan saja ke bak, tangan tersedot ke dalam pipa karena debit besar. Sekarang tidak," kata Sukijan. Raut mukanya datar.

Entah kali ke berapa di minggu ini Sukijan mampir ke tanggul yang dibangun warga dan pemerintah desa pada 2014 silam.

Bangunan itu sebenarnya penampungan melintang setinggi pinggang untuk menyaring air yang muncul dari beberapa mata air yang tidak jauh dari sana, menyaringnya, lantas mengalirkannya melalui sebuah pipa hingga sejauh 1.500 meter ke bak kapasitas 25m3 di pinggir pemukiman.

Bak ini penampungan utama air baku bagi warga Clapar 3. Melalui program Penyediaan Air Minum Desa (Pamdes), mereka memompa air ke lima penampungan di tengah warga dengan jejaring pipa sampai 6 km. Bak utama ini selalu penuh tiap 6 jam.

Tapi debit air sekarang semakin kecil. Satu bulan belakangan, bak utama baru terisi penuh setelah 24 jam.

"Jumlah air yang dikonsumsi lebih besar dari pasokan air. Biasanya tiap 6 jam terisi, belakangan 24 jam," kata Sukijan.

Debit menurun sebagai dampak kekeringan yang melanda Kulon Progo. Banyak sumur dan mata air mengering. Musim ini juga mengancam mata air bagi warga Clapar 3.

Sukijan khawatir kalau kemarau masih akan berlangsung lebih lama lagi, mata air di batas dusun ini bisa jadi berhenti muncul. Dusun pun bisa mengalami kekeringan dan kesulitan air seperti desa-desa lain.

Sukijan menceritakan, warga Clapar sendiri punya pengalaman kesulitan air di musim kemarau sebelum tahun 2014. "Warga menggendong air sampai ke sini," kata Sukijan.

Suatu kali kekeringan datang, sejumlah mata air di sungai menjadi andalan. Mata air dengan debit besar ada di perbatasan dua dusun. Di tempat itulah mereka membuat penampungan.

Perjalanan waktu banyak mata air yang mati di sungai ini. Mata air sumber Pamdes saja yang bertahan hingga kini. Selebihnya, sekitar 5 mata air lagi yang masih bertahan dan dikelola perorangan.

Bahkan mata air Pamdes bisa dipakai oleh 3 dusun, yakni selain Clapar 3, Gondangan, dan sebagian Desa Karangasem di Desa Sidomulyo di Kecamatan Pengasih.

Mata air

Kecamatan Kokap mayoritas berada di dataran tinggi di pegunungan Menoreh. Pegunungan ini memiliki kemiringan ekstrem. Dusun Clapar 3 salah satunya. Karena kontur itu maka kekeringan mudah melanda kawasan di bagian paling atas dari bukit.

Kesulitan air akibat kemarau melanda desa di 2006. Sungai Salam sampai kering. Warga menemukan mata air yang muncul di antara batu sungai di batas dusun Clapar 1 dan Clapar 3 ini. Batas desa ini berupa kebun pohon kayu yang sepi, terpencil, dan serasa hutan. Debitnya besar, menurut Sukijan.

Sebenarnya saat itu banyak mata air sepanjang sungai. Mata air diperbatasan Clapar 1 dan Clapar 3 itulah yang paling besar dan berada di posisi tertinggi dari dusun. Atas inisiatif bersama di 2014, mereka membangun tanggul, penyaring, dan penampungan untuk mengelola mata air ini.

Warga mengalirkan air ke dusun dengan cara gravitasi. Permintaannya cukup tinggi. Pamdes sampai melayani 72 kepala keluarga Clapar 3. Warga membayar sekitar Rp 10.000-13.000 per bulan untuk pemakaian 3m2.

Itulah mengapa Sukijan terus berupaya mempertahankan mata air ini. Ia masih sering inspeksi sendiri ke mata air ini. Ia membersihkan air di bak dari daun kering. Kadang, kalau ada kerusakan, ia sendiri yang memperbaiki.

Termasuk kebocoran bak, membuang udara dalam pipa, hingga membersihkan pusat masuk air ke pipa dari daun dan ranting di tengah perkebunan warga yang seperti hutan itu.

"Semua masih swadaya sendiri. Ini murni sosial. Belum kuat kalau menggunakan pendanaan dari iuran Pamdes," kata Sukijan.

Lokasinya sulit, ekstrem, dan terkesan jauh. Sukijan harus selalu membawa parang sepanjang lengan saat menuju ke sana. Ia harus melewati beberapa petak lahan warga yang ditumbuhi pohon kayu usia muda.

Banyak sekali semak, pohon palawija tak terurus, dan batu-batu padas. Jalanan naik turun mengikuti kemiringan bukit dan sepanjang pinggir jurang. Kadang ada saja jalan di pinggir jurang yang nyaris tanpa pijakan. Jauh di bawah adalah batu kali yang besar-besar.

Perjalanan dari rumahnya menuju mata air itu ditempuh lebih setengah jam dengan jalan kaki. "Ini juga jalan paling dekat," katanya.

Ayah 2 anak ini sudah terjun di Pamdes sejak 2008. Ia sering terlibat pembangunan pipa dan penyaluran air minum bagi warga di beberapa paguyuban pendamping di DIY.

Sukijan sendiri merupakan rekanan kerja PU dan punya kegiatan perkayuan. Pengalaman inilah yang membuat Sukijan akhirnya fokus memperhatikan pengairan di dusunnya.

Beberapa warga Clapar 3 merasa air masih lancar selama kemarau belakangan ini. Hanya saja, air lebih keruh. Namun mereka bersyukur, warga di lereng tidak lagi sulit air.

"Kalau musim kemarau memang keruh. Karena dari kali maka biasanya (mata air) rajin dibersihkan. Air biasanya dipakai untuk cuci dan masak. Kalau minum dari beli galon (air mineral). Tidak bikin sumur karena tdk ada," kata Sanijem, warga Clapar 3.

12 desa kesulitan air

Selain Clapar 3, warga dusun lain di Kokap sudah mulai merasakan kesulitan. Di antaranya Clapar 1 dan Clapar 2 di Hargowilis. Kemudian Gunung Ijo, Plampang 1, Plampang 3, Sangon 1, Sangon 2 di Desa Kalirejo.

"Warga saat ini nlateni belik kecil (sendang) sebagai mata air yang ada. Itupun sudah surut airnya dan warga harus mengambil dengan sabar mengantri," kata Camat Kokap, Warsidi pada kesempatan berbeda.

Warga Gunung Ijo bahkan sudah mengajukan permohonan pengiriman air bersih saat ini.

Kesulitan air di beberapa desa itu menunjukkan kalau kekeringan masih meluas di Kulon Progo. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kulonprogo sebelumnya mencatat kekeringan dan kesjlitan air bersih di 12 desa. 

Ke-12 desa tersebut yakni Desa Banjaroya, Banjarharjo, Banjararum, Banjarasri di Kalibawang. Desa di Girimulyo, yakni: Giripurwo, Purwosari, Jatimulyo, dan Pendoworejo. Desa Salamrejo di Kecamatan Sentolo, Sidoharjo dan Purwoharjo di Samigaluh, dan Desa Tanjungharjo di Nanggulan.

Dinas Sosial Kulon Progo meningkatkan kerja sama dengan BPBD dan Tagana untuk mengatasi kekeringan ini. Mereka mengelola bantuan air dengan ratusan truk tangki dari program tangungjawab sosial perusahaan (CSR) serta pendanaan APBD DIY.

https://regional.kompas.com/read/2018/07/17/13260311/sukijan-sang-penjaga-mata-air-di-bukit-menoreh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke