Salin Artikel

Ramadhan dan Citra Politik dalam Pertarungan Pilkada Serentak 2018

Harapan besar ini tidak berlebihan, mengingat luka Pilkada DKI 2017 yang kental dengan nuansa politik identitas yang intimidatif belumlah kering.

Doa dan harapan untuk kedamaian didaraskan akibat cobaan yang menimpa bangsa ini karena aksi terorisme beruntun di sejumlah wilayah. Tidak hanya menyasar aparat keamanan, aksi keji yang melibatkan anak-anak tersebut menyasar kegiatan ibadah.

Pada sisi lain, Ramadhan dalam pelaksanaan Pilkada 2018 secara skeptis dapat dilihat sebagai kesempatan para pemburu kekuasaan yang bertarung sebagai ajang menjual diri. Apalagi kalau bukan menunjukkan tingkat kesalehan masing-masing.

Menonjolkan citra yang berintegritas agama, selalu menjadi salah satu strategi komunikasi politik penting di Indonesia. Kesalehan dalam bungkus ritus dan semiotika beragama melalui pakaian dan atribut menjadi hal penting.

Karena agama masih dianggap hal serius, agama merupakan senjata yang ampuh dalam hal mengail dukungan. Integritas agama menjadi penting dalam setiap kegiatan politik di Indonesia karena agama menjadi kecenderungan mayoritas masyarakat Indonesia.

Alhasil pembentukan citra dari aspek agama selalu dilakukan dengan harapan akan relevan bagi pemilih.

Dalam hal candidate-oriented campaigns atau kampanye yang berorietasi pada kandidat di Indonesia, bukan hal aneh bila musim kampanye tiba maka mendadak kabar tentang rajinnya kesalehan para calon pemimpin, melalui ritus agama dan penampilan, yang seharusnya menjadi kesalehan pesonal, ditunjukkan secara terbuka dan masif melalui berbagai saluran (channel).

Harapannya tentu saja adalah respons positif dari para pemilik suara yang diharapkan berkeyakinan dengan citra kesalehan tersebut maka para calon pemimpin mampu menjalankan amanat rakyat: tidak saja melakukan perubahan sosial dan ekonomi, namun juga takut menjalankan keputusan yang menyimpang dari ajaran agama.

Dalam komunikasi politik, terutama paradigma mekanistik terdapat unsur komunikator, pesan, media, khalayak, dan efek. Pusat kajiannya terletak pada efek dengan keyakinan bahwa efek yang positif dapat diciptakan, direkayasa, dibina, dan diperkuat oleh komunikator.

Itulah sebabnya citra politik dipandang sebagai efek dari komunikasi politik, baik secara langsung maupun melalui media, terutama media massa dan, media sosial. Untuk kasus di Indonesia, media massa yang paling dikonsumsi adalah televisi dan media sosial.

Sebagaimana kita ketahui, televisi dengan aspek audio-visual masih merupakan salah satu media terkuat dalam membentuk opini publik. Artinya, televisi akan selalu digunakan secara luas sebagai saluran komunikasi kampanye dalam melakukan pencitraan atau pembentuk opini publik.

Namun dalam kasus Pilkada saat ini, upaya penggunaan televisi sebagai alat pembentuk opini publik sulit dilakukan mengingat ketatnya peraturan penyelenggaraan pemilu yang kini berlaku yakni Peraturan KPU-RI Nomor 7 Tahun 2015 dan Keputusan KPU-RI Nomor 123/Ktps/KPU/ Tahun 2016.

Saleh di medsos

Satu aturan yang sulit membuat para calon pemimpin peserta dan partai pendukung dalam Pilkada 2018 adalah hal pemasangan iklan di media cetak dan elektronik berada di tangan KPU. Artinya, para pemburu kemenangan itu sulit untuk membentuk citra mereka secara mendadak.

Bagaimana dengan media sosial? KPU dan Bawaslu memang melakukan pengawasan yang cukup ketat.

Persoalannya, seberapa efektif kedua lembaga tersebut mengawasi peredaran informasi yang dilakukan pendukung para calon melalui media sosial dan aplikasi tukar pesan (chatting)?

Data Survei Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2017 yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 menunjukkan pola pengguna internet didominasi kedua hal tersebut: media sosial (87,13 persen) sementara chatting (89,35 persen).

Boleh saja jika kita menghibur diri pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo dan Polri melakukan patroli siber. Pada kenyataannya, pesan-pesan politis terkait Pilkada diam-diam marak menyebar melalui medsos dan chatting. 

Soal penanganan? Sudah dilakukan, namun menurut saya belum efektif.

Indikasinya mudah dan jika cukup sabar bisa dilakukan pelacakan isu yang beredar menggunakan social media analytic tools. Dengan alat tersebut, bisa dilihat dan dipetakan hal apa yang sedang terjadi di media sosial maupun media arus utama (mainstream) berbasis online.

Sebagai contoh, dengan menggunakan dua platform berbeda, dengan mudah bisa dilihat pergerakan isu ‘2019 Ganti Presiden’ yang mulai digulirkan pada 5 Maret 2018 dengan mayoritas tone negatif mulai memuncak pada 2 April dan terus didorong oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan isu tersebut menjadi narasi utama.

Kembali tentang citra kesalehan yang saya bahas di awal, sejak awal masa kampanye, perebutan citra saleh personal bahkan sudah menjadi jualan utama. Simak saja bagaimana dukungan para pemimpin keagamaan diperebutkan contohnya tokoh agama tertentu diklaim mendukung paslon tertentu.

Saking sibuknya urusan klaim, di Pilkada Jawa Tengah (Jateng), keluarga seorang kiai dari wilayah Pantai Utara (Pantura) sampai perlu melakukan klarifikasi ke media massa karena klaim yang dilakukan salah satu paslon.

Sejumlah calon bahkan mendadak mengenakan pakaian yang identik dengan kesalehan. Dalam pilkada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tim sukses salah satu paslon bahkan terang-terangan mengulang jargon saleh yang pernah laku di Pilkada DKI: Coblos Pecinya dengan mengubahnya menjadi coblos kerudung!

Repotnya, kedua paslon yang bertarung pun kini sama-sama berkerudung!

Menariknya, narasi besar ‘2019 Ganti Presiden’ yang beredar secara nasional tersebut rupa-rupanya juga ikut turun ke Pilkada, khususnya di daerah yang didukung kelompok yang berkepentingan tersebut yaitu di Jateng dan Jawa Barat (Jabar).

Sebaliknya di Pilkada Jatim dan Sumatra Utara, narasi ‘2019 Ganti Presiden’ tidak muncul. Maklum saja, partai pendukung isu ‘2019 Ganti Presiden’ bukan dari pendukung calon yang berasal dari partai Presiden petahana.

Dalam kasus Jatim, salah satu calon wakil Gubernur malah keluarga dari Ketua Umum PDI Perjuangan yang didukung partai pengusung narasi ‘2019 Ganti Presiden’ sementara di Sumut, paslon mantan tentara didukung Partai Golkar dan Nasdem yang mendukung Presiden petahana.

Dengan peta dukungan partai di Pilkada yang rumit tersebut, maka pada Ramadan kali ini, akan menarik menyaksikan bagaimana kesalehan personal yang ditunjukkan oleh setiap paslon yang bertarung, untuk kemudian diamplifikasi melalui media sosial dan tentu saja via chatting.

https://regional.kompas.com/read/2018/05/18/11423811/ramadhan-dan-citra-politik-dalam-pertarungan-pilkada-serentak-2018

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke