Salin Artikel

Pernikahan ala Adat Bugis Makassar, Cinta Kandas gara-gara Uang Panaik Tinggi (1)

Misalnya di Kabupaten Wajo, pengantin pria pingsan saat dinyanyikan lagu oleh mantan pacarnya. Lalu di Luwu Timur, seorang pengantin wanita tak sadarkan diri di pelaminan setelah dipeluk mantan pacarnya.

Baca: Viral, Video Pengantin Wanita Pingsan usai Dipeluk Mantan Pacarnya dan Viral, Pengantin Pria Pingsan Seusai Peluk Mantan yang Nyanyi di Pernikahannya

Selain dua kisah itu yang videonya viral di media sosial, masih banyak kisah serupa lainnya yang mengharukan namun tidak menyebar di publik. Sebuah percintaan yang kandas karena salah satu adat Bugis Makassar, yakni "uang panaik".

Bagi pria yang tak memiliki banyak duit, uang panaik atau uang mahar adalah sebuah momok yang menakutkan saat hendak melamar kekasihnya. Sebab, uang panaik yang merupakan salah satu syarat untuk menggelar pernikahan sesuai adat Bugis Makassar ini bernilai sangat besar hingga mencapai miliaran rupiah.

Besaran uang panaik bagi perempuan ditentukan berdasarkan kelas sosial. Perempuan lulusan SMA, sarjana, telah bekerja, berstatus pegawai negeri sipil (PNS), berprofesi dokter, hingga yang sudah berhaji memiliki, masing-masing memiliki "harga" panaik yang berbeda.

Seorang budayawan, Prof Dr Nurhayati Rahman menjelaskan, sebenarnya uang panaik mempunyai nilai leluhur yang sangat baik. Budaya uang panaik sudah ada sejak zaman Raja Luwu I La Galigo. Waktu itu, Sawerigading menikahi We Cudai dengan uang panaik berupa uang, emas, bingkisan-bingkisan atau erang-erang sebanyak satu kapal penuh.

"Itulah sejarah singkatnya uang panaik sudah ada sejak zaman I La Galigo. Uang panaik bersangkut paut dengan harkat dan martabat seorang laki-laki, supaya dia bekerja keras," kata guru besar Universitas Hasanuddin (Unhas) ini saat dimintai tanggapannya, Rabu (7/3/2018).

Jadi, kata Nurhayati, uang panaik itu adalah sebuah motivasi atau pemicu bagi laki-laki agar bekerja keras lagi untuk menghidupi keluarga yang akan dibangun.

"Tapi sekarang anak muda, bukannya bekerja keras untuk mengumpulkan uang agar bisa menikah, tetapi mereka kebanyakan menjual harta warisannya lalu menikah. Banyak yang sudah menikah jadi miskin karena sudah jual sawah dan warisannya yang lain," kata Nurhayati yang juga salah satu tokoh adat Bugis Makassar ini.

Simbol lain agar kaum laki-laki bekerja keras sebelum menikah, lanjut Nurhayati, adalah mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali. Dahulu seorang pria harus mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali jika ingin menikah. Tujuh kali mengelilingi dapur adalah simbol kemampuan seorang laki-laki memenuhi kebutuhan dapur selama 7 hari untuk menghidupi istri dan anak-anaknya.

Komersialisasi uang panaik

Nurhayati menyayangkan tradisi uang panaik kini dikomersialisasikan. Apalagi, besaran uang panaik tergantung dari strata seorang wanita, misalnya lulusan SMA, sarjana, PNS, dokter, atau telah berhaji, dan lainnya. Strata itulah yang membedakan besaran uang panaiknya. Berbeda lagi jika sang wanita keturunan bangsawan.

"Kenapa ada seperti itu. Berbeda zaman dulu dengan sekarang. Semua tradisi sudah terkikis, semuanya dinilai dengan materi. Bukan nilai luhurnya yang diambil dari tradisi uang panaik itu. Kini pesta perkawinan sebagai ajang gengsi," katanya.

"Di zaman dulu, ada istilah Sulapa Appa Wala Suji. Maksudnya utara, selatan, timur, dan barat. Artinya simbol dari laki-laki, yakni kekayaan, cerdik atau pandai, kekuasaan, dan keberanian. Harus ini, salah satunya dimiliki oleh seorang laki-laki, karena kalau tidak memiliki salah satu sudut ini dianggap sampah," lanjutnya.

Nurhayati menceritakan, zaman dahulu keturunan bangsawan kebanyakan menikah dengan sepupu sendiri agar kebangsawannya tidak hilang. Selain itu, menikah dengan sepupu berarti uang panaik yang besar tidak jatuh ke orang yang bukan keluarganya. Ada juga rakyat biasa bisa mengawini wanita keturunan bangsawan. Biasanya dia memiliki keberanian yang tinggi.

"Biasa rakyat kecil dulu, jika menyukai anak keturunan bangsawan mereka pergi merantau dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk sebagai uang panaik wanita pujaan hatinya. Itulah yang sebenarnya, bukan karena nilainya saja itu uang panaik. Tapi nilai luhurnya uang panaik yang harus diambil," katanya.

Jika zaman sekarang uang panaik tetap mahal, Nurhayati berharap jangan dijadikan beban. Sebab, besaran uang panaik bisa dinegosiasikan pihak ketiga agar tidak terlalu besar. Yang penting, sang laki-laki itu bisa bekerja keras untuk menghidupi istri dan anak-anaknya kelak.

Sistem negosiasi ini juga bisa menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti bunuh diri, kawin lari, dan sebagainya.

"Sekarang malah saya lihat uang panaik dijadikan beban. Padahal bisa dinegosiasi. Ada bahkan yang kedua pasangan kekasih itu sepakat menabung sama-sama untuk dijadikan nantinya uang panaik. Bahkan, ada juga uang panaik sampai miliaran rupiah bukan sepenuhnya uang panaik laki-laki. Tapi dibantu oleh uang pihak wanita dan dipertontonkan kepada keluarga, tapi setelah itu diambil kembali. Hanya untuk mempertontonkan saja," katanya.

Nurhayati mengatakan, ada kalanya uang panaik dipatok terlalu tinggi sebagai bentuk penolakan halus pinangan laki-laki. Penolakan itu bisa karena laki-laki calon suami adalah pemalas, pemabuk, suka berbuat kasar, dan perilaku jelek lainnya. Ada juga penolakan karena perbedaan status sosial.

"Tentunya, orang-orang tua itu meninggikan uang panaik untuk melakukan penolakan secara halus. Selain faktor karakter, biasa juga orangtua menolak laki-laki yang melamar anaknya karena statusnya lebih rendah. Itulah biasa diminta uang panaik tinggi yang disebut mengelilingi darah, dalam artian menaikkan strata rendah ke yang tinggi," jelasnya.

BERSAMBUNG

https://regional.kompas.com/read/2018/03/07/11025741/pernikahan-ala-adat-bugis-makassar-cinta-kandas-gara-gara-uang-panaik-tinggi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke