Salin Artikel

Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (2)

Saat itu, grup wayang satu-satunya di Madura itu banyak ditonton masyarakat Madura. Bahkan wisatawan mancanegara juga ikut menonton. Banyak orang heran karena ada pentas wayang berbahasa Madura.

"Ternyata di Madura ada wayang juga. Ini pertama saya melihatnya," tutur Kosala menirukan ucapan salah satu penonton waktu itu.

Namun semenjak itu, tak pernah ada lagi pementasan wayang di Madura.

(Baca selengkapnya: Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (1))


Pendapa pemujaan Dewi Kwan Im di Vihara Avalokitesva di Dusun Candi Utara, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, hampir tiap malam dipenuhi penduduk untuk menonton pementasan wayang kulit.

Mereka berasal dari beberapa desa yang berdekatan dengan lokasi vihara. Pementasan wayang kulit menjadi salah satu hiburan rakyat, selain kesenian ludruk dan saronen di Madura.

Warga yang menonton tidak hanya orang tua. Anak-anak juga biasanya ikut bersama dengan orangtuanya. Tontonan berlangsung hingga larut malam untuk menuntaskan satu episode cerita wayang.

Namun keramaian ini sekitar 30 tahun lalu. Kini tak ada lagi pemandangan serupa di vihara.

Setiap malam, vihara sepi tak ada kegiatan. Hanya suara bel kecil terbuat dari kuningan karena ditiup angin. Suara gonggongan anjing bersahutan yang dipelihara untuk menjaga keamanan vihara.

Sekitar 30 tahun silam, belum ada televisi di kampung-kampung. Pentas wayang kulit sebagai hiburan rakyat semua kawula.

Penjaga Vihara Avalokitesvara Kosala Mahinda menuturkan, pentas wayang kulit sekarang hanya dilakukan tiga bulan sekali. Yang menontonpun sangat sedikit. Bahkan hanya golongan tua. Yang muda-muda sudah tidak peduli dengan kebudayaan warisan leluhurnya.

“Paling hanya puluhan yang menonton. Itu pun semua yang sudah tua-tua,” ujar Kosala Mahinda saat ditemui, Jumat (2/3/2018).

Ciri khas wayang Madura

Menurut Kosala, kesenian wayang kulit Madura hanya disenangi dan dikagumi orang luar Madura. Bahkan turis mancanegara berdecak kagum. Sebab, wayang Madura memiliki ciri khas dan karakter sendiri.

Wayang kulit Madura tidak sama dengan wayang Jawa. Wayang kulit Madura menggambarkan karakter orang Madura.

“Wayang kulit Madura itu representasi dari sifat dan karakter orang Madura. Keras, kuat dan pemberani,” imbuh Kosala.

Kosala membeberkan, perbedaan wayang kulit Madura dengan wayang daerah lainnya, seperti di Jawa. Biasanya dalam hal pewarnaan.

Wayang kulit Madura berkarakter warna merah pada wajah setiap tokoh wayang. Di daerah lainnya, rata-rata wajah wayang berwarna hitam.

“Kalau wayang Madura, pada bagian wajahnya semuanya merah. Namun ada warna yang kombinasi hitam, disesuaikan dengan tokoh wayang itu sendiri,” kata pria penjaga empat tempat ibadah berbeda ini.

Ratusan wayang milik Kosala, ketika ada festival wayang nusantara, selalu memikat hati. Termasuk dalang kondang, Ki Entus dan dalang-dalang lainnya.

Banyak orang yang ingin mengoleksi wayang kulit khas Madura. Namun Kosala enggan untuk menjualnya. Dia memegang prinsip bahwa warisan budaya dan hasil karya para leluhur tidak boleh dijual kepada siapa pun. Apalagi kepada orang asing.

“Saya pernah melihat replika wayang di museum wayang di Jakarta. Setelah dilihat, wujud asli wayang tersebut ada di Leiden, Belanda,” tuturnya.

Sebagian keunikan wayang kulit Madura antara lain karena cerita yang disajikan menggunakan bahasa Madura.

Selain itu, nama-nama tokoh wayang, disesuaikan dengan nama yang mudah dikenali orang Madura. Seperti tokoh Dasamoko berubah menjadi Dasmuka, Bolodewo menjadi Baladiba, Kresno menjadi Kresna.

“Kalau pakem pewayangan semuanya sama. Ceritanya juga tentang Ramayana dan Mahabarata. Cuma di Madura diterjemahkan menjadi bahasa Madura,” ungkapnya.

Wayang Madura sendiri belum diketahui kapan tumbuh dan berkembang bahkan sekarang sudah kurang diminati. Yang diketahui Kosala, hanya warisan dari leluhurnya yang sudah lima turunan yang diprediksi sudah 300 tahun lebih.

Pada tahun 70-an, masih banyak orang di Madura yang mengoleksi wayang di rumahnya. Namun setelah turun temurun, sudah tidak ada lagi.

Anak keturunan pemilik wayang sudah tidak mengerti tentang wayang sehingga ada yang dijual dan ada pula yang rusak karena tidak tahu bagaimana merawat wayang.

“Warisan wayang milik buyut saya ada yang berusia 300 tahun lebih. Sampai sekarang masih bagus dan tersimpan rapi serta istimewa,” katanya.

Kosala masih memendam impian suatu saat wayang kulit Madura bisa kembali digandrungi masyarakat Madura lagi. Meskipun impian itu sulit terwujud di tengah gempuran budaya asing.

Butuh kebulatan tekad semua pihak untuk mengenalkan warisan kebudayaan para leluhur, terutama peran pemerintah melalui jalur pendidikan.

“Semoga pemerintah bisa mengenalkan kesenian wayang kulit Madura. Kalau hanya komunitas kecil masyarakat, sulit untuk mewujudkannya. Buktinya, 30 tahun lebih saya melakukannya, namun hasilnya nihil,” tandasnya.

BERSAMBUNG

 

 

https://regional.kompas.com/read/2018/03/04/14151141/wayang-kulit-madura-hidup-segan-mati-tak-mau-2

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke